Senin, 04 Desember 2017

'Gelayut-Galayut Akar Beringin'

Mengandai ribuan janji dalam senandung
Meski dirundung banyak kroninya dikurung
Gelayut akar beringin kokohkan wibawa
Meski tahu tahtanya sendiri diperkosa kolega

Akar beringin menggantung layaknya layu
Tak lagi rindang, daunnya gugur satu-satu
Cerminan cengkerammu, cengkeram palsu
Tahta tak tau malu, di bawah naunganmu

Napak tilas dosa berbekas
Habis rampas, belut licin elak lepas
Sebab raib moral jadi ampas
Kongkalikong junjung kelas

Dusta dimasukan hati
Taklid buta hasut tak berarti
Gema beringin dari sudut-sudut negeri
Diraba angin, bertulang maki

Gelayut-gelayut beringin tak usai mencari
Lembar-lembar pengganti mati
Sasana kuasa bak jati diri
Beringin tua keropos dikhianati konsekuensi.

AL, 4/12/2017

'Tilam Dan Lalat Memaki'

'Tilam Ini Dan Lalat Memaki'

Sayang, lelaplah, songsong esok yang katanya engkau nanti
Sayang, rebahkan mimpimu di atas bantal yang penuh kerak ini
Hingga nanti derma waktu daku harap tetap mengikuti
Kubacakan engkau dongeng, kuharap laparku ini tak buatku berhenti

Tutupkan matamu, hitung asa yang engkau tahu
Sudahi malam ini, esok mungkin tak sama lagi
Dipenuhi geliat dimana aku sendiri ingin melihat
Surat-surat dari hati yang mengaku adil dan berotak sehat
Mereka memaksaku memilih..
Memilih dari apa yang ingin mereka raih
Atau aku?
Entahlah, yang jelas lalat diatasku masih setia memaki

Terlihat mereka ramah tamah, dibusungkan di setiap atap rumah
Atau atapku?
Entahlah, yang jelas gentingku tak sekuat itu

Tilam ini dan lalat bangsat yang masih memaki
Aku harap tak menganggu anganku
Angan yang bayangkan esok tak sekedar bualan
Pelipur takhayul yang dulu sering di gaungkan
Ya.. tak sudi ku bercerita..
Ribuan tanya sudah kadung ditanyakan juta-juta kepala

Sayang, tidurlah, jangan pedulikan gerutuku
Ini juga tentangmu, tentang tanah dan suamimu
Kelak mungkin uzur yang akan habiskan kita
Setidaknya selesaikan sengsara..
Tak lagi dengar mereka..
Dan siulannya..
Dan dosa-dosanya..
Di bawah atap ini yang sudah tak terlihat bentuknya
Aku tetap sayang kamu..
Sayang kamu dan sayang percayamu
Meskipun aku berwujud kelabu
Meski aku tahu, sekedar cinta saja tak cukup bagimu
Ini penghinaan yang memang buatku malu.

AL, 4/12/2017

Jumat, 24 November 2017

'Martini'

Di atas rajutan pelataran pertiwi
Tempat lahir, tempat insan mati
Remang fajar surya menyapa pagi
Nampak gulita pekat masih menutupi
Selingi mega-mega tipis remangi mentari
Hidup seorang Martini..
Bergegas hadapi hari

Disela senandung dari bibir Ibu tua
Di dalam angkutan sesak manusia
Beserta kejam hiruk pikuk kota

Dihimpit cerca hitam asap
Melawan debu dengan harap
Harap tanpa terbalas tegap

Martini pamit pergi
Harum minyak wangi melati
Yang teringat selimuti hari
Ibu guru berseragam rapi
Telapak Martini tunjuk langkah hakiki
Menuju peraduan..
Gerbang sekolah senin pagi

Uzur usia, tanggung jiwa-jiwa
Jiwa-jiwa yang dahaga
Jiwa-jiwa muda
Jiwa-jiwa gelora berkalang cita
Martini hantar jendela
Genggam buku di lengan kirinya

Semakin lunglai terlihat dari jauh..
Martini kian nampak rapuh
Namun karena janjinya teguh
Kukuh dalam jutaan tetes peluh
Peluh-peluh hantar gemuruh
Langkah Martini amat tangguh

Selaksa cerita cukup lama Martini ajar kita
Ajari kau bercerita tentang dunia
Ajari kau membuka jendela kala kau buta
Sementara hari semakin terik menjadi
Martini pun enggan berhenti
Sebab ratusan telinga masih sigap menanti

Dari goresnya di papan tulis
Dari tegasnya Ia bubuhkan garis
Sematkan ajar ilmu pasti
Mulutnya senantiasa berkata tanpa henti

Lonceng pulang bak genderang
Raut senang para prajurit perang
Martini terhuyung, langkahnya bimbang
Pandangnya kurang, rapuh tulang
Martini kembali ke peraduan
Hadapi kembali jerih payah kehidupan
Temui hari ini, lusa hingga hari depan

Seorang Martini cerminan negeri..
Cerminan para pengabdi
Setidaknya dalam bingkai hari ini
Yang setia dalam elegi

Martini semoga sehat sepanjang hari
Agar kelak lihat senyumnya pertiwi
Mencetak masa yang kau perjuangkan
Di balik ribuan telapak tangan

Meski seadanya dalam cerita
Gigihnya abdikan pagi hingga senja
Pahlawan tanpa tanda jasa
Pahlawan di balik jutaan asa

Meski jasamu tak mungkin kami balas
Namun ada di dalam sanubari
Kini kami ada di dalam hidup yang keras
Amanahmu telapak langkah kami.

AL, 18/11/2017

Minggu, 29 Oktober 2017

'Gembur'

Gerutu beradu merdu
Seratus pandu cacahkan gemintang
Dalam wibawa kucurkan semu
Pelipur pedih enggan datang

Para lembu berpadu meski sendu
Lambung keras beringas kering kerontang
Aksara kejora menantimu
Di ufuk teruntuk yang dirindu

Langu menggebu bangunkan kalbu
Genderang datang kerucut menantang
Jiwa tuntas, rontok dari kelu
Lantang bak melintang, garang terbentang

Tak kecut, binasa sosok pengecut
Carut marut konsekuensi absolut
Zaman tak terpagar, terpampang lebarnya
Jalan suara alirkan derasnya

Gembur sudah tanah
Dipeluk mimpi khayal mahkota nirwana
Dilelang oleh harga kasta
Dihamburkan puas jiwa retorika

Ahh.. pucuk benang masih kusut
Tilam kikuk buram takut
Sampai pada ujung kemelut
Tampak guratnya berkerut

Indera mana tak gulita
Buta mana yang tak nampak adanya
Curam mana kala paceklik melanda
Di tanah yang gembur lantainya.

AL, 25/10/2017

'Balada Garong'

Malam... sunyi hempas wicara
Gembong di lorong bertopeng garong
Langkah tapak perkosa ladang dosa
Kecamuk hati kini melompong

Pelihara tengiknya watak
Pertahankan penghidupan layak
Dua mata merayap pandangi riak
Limbung langkah lamban bergerak

Peluru dari selongsong bedil bodong
Diberondong ketika korban merongrong
Gasak habis hingga kosong
Pilu tangis tak sudi ditolong

Hari ini, lusa nanti, selagi kaki sudi berlari
Balada garong puaskan ambisi

Erang sakitnya.. Hanya mampu dipendam
Hati kecilnya tertimbun, lama diredam

Betinanya di bawah rumah
Gembalakan buah cinta
Hasil rampas kali ini..
Garong tak mau peduli
Saat denting waktu kian larut
Ia beranjak pergi
Tuju WTS, menghibur diri
Tenggak tuak rebahkan pundak sampai kaki

Tergiling terpontang-panting
Wajah terpampang di polres sewaktu meeting
Ya, kini tinggal hadap genting
Garong berlari terkencing digiring menuju puing-puing

Lari berlari hindari mati
Garong terlumat jaring polisi
Timah diarahkan ke langit, garong berkelit
Belukar semak Ia coba sembunyi
Timah meletus lubangi punggung hingga tembus
Jantung direbus, garong mampus
Tergeletak pasrah tubuh kurus

Betinanya mengadu..
Gembalakan pilu
Kini hanya ujung pintu yang dia tahu
Selimut malu, diombang ambing waktu
Dan adakalanya..
Betinanya tak sanggup
Sudahi hirup redup
Racuni diri bersama si gembala..
Yang belum tuntas jalani hidup.

Balada Garong..
Tinggalah bohong.

AL, 27/10/2017

'Aku Dan Sastra :2'

Seyogyanya aku tak bicara..
Kosong dan aku harapkan pencari makna
Disetiap coret apa yang ku cipta

Setiap rasa sekedar ditabur tanda-tanda
Kemudiku hanya tentang Aku
Ya.. aku..
Kendalikan makna, bubuhkan frasa.

AL, 29/10/2017

'Aku Dan Sastra :1'

Tariannya, tentang makna berputar dalam kepala
Secuil kata, seribu bahasa
Cernaku saat netra yang bicara
Saat telinga tuliskan suara
Aku dan sastra, berbicara dalam binar cahaya
Di ruang sempit, tengkuk meringkuk
Tatap candradimuka, padukan indah retorika

Telisik retoris ketika paru-paru kembang kempis
Frasa yang nampak percuma
Tanyaku terjawab pada akhirnya
Aku dan sastra, rasa cinta dalam kata

Melingkarkan ikat supaya melekat
Kalimat setiap diksi yang menjerat
Aku dan sastra seringkali bercerita
Cinta hingga duka
Dunia dan isinya..
Aku dan sastra..
Dengarlah diriku sesungguh apa adanya.

AL, 29/10/2017

'IV: ¡Ya Basta!'

Hitam, bertopeng hitam
Bintang merah berlatar kelam
Di atas bukit terjal mustahil diredam

Singa-singa di ufuk utara
Mengaum dalam hening
Berpesta dalam kening sederhana
Terlihat petani pandangi gandum kemuning

Hingarnya tak terasa
Namun getarnya merobek jiwa
"¡Ya basta!" Ujar mereka
Di semenanjung penuh problema

Relung-relung terisi teriakan Commandante
Mendung-mendung dengarkannya
Meski gedung-gedung tampak buta
Di sebuah bukit hidup punggawa asa
Berjiwa merah, bertanduk utopia..
Geloranya seiring kencang kibar bendera
Ditanah Maya.. genderang Zapatista.

AL, 29/10/2017

'III: Hasta La Vista, Fulgencio'

Pasung Batista, di tanah surga
La Havana saksi kisruh mata, api dan manusia
Kecamuknya menujam netra
Tentang murka binarnya mahkota singgasana
Dan lekatnya darah Moncáda..
Semilir kenang tentang mereka yang mati dalam perang
Martir-martir dalam puing gerilya remang
Tambah derita diberondong timah Granmai
Dari Sierra Maestra menuju hilir kota..
Hunus pribumi dan pencerutu Argentina

Maka tuntas jalan sudahi cerita
Bidak-bidak menaiki kepala raja
Jendela dilubangi timah
Tonggak-tonggak tirani perlahan patah
Di bakar angkara murka jelata lemah

Revolusimu.. gerilyamu..
Nadi bergelut dengan tajam ujung waktu
Dan panasnya ujung peluru
Berpadu beradu ribuan pandu

Larilah! Larilah menuju terusan itu..
Gentar jiwa tak sanggup mendulang senja
Fulgencio menggerutu
Kasta tak lagi punya makna
Revolusi benderang adanya
Di tanah bernamakan surga
Santiago de Cuba.. Sierra Maestra.. Havana..
Hasta La Vista.. Batista.

AL, 29/10/2017

'II: Bolshevik 19'

Ujung tombak menari tuduh hirarki
Mulakan heroik para penari revolusi
Terpejam mahkota dilucuti
Bidak-bidak jenuhkan suci yang mengaku abadi

Gerobak datang! Gerobak menantang!
Pria berjubah lantang di tanah lapang
Ulas kenang sekarang Ia menang
Zaman hilang ditelan remang

Rindang-rindang bayonet perang
Di telapak petani garang berwajah girang
Cerca tiang-tiang istana terbentang
Birokrat tak becus kini tinggal ladang gersang

Peluh! Darahnya di lantai..
Ramai membantai!
Dua sisi genggam benteng
Mentari tak sanggup melerai

Namun bendera kini terkibar, nampak lebar
Di pucuk istana bisu tak berujar
Bubar! Bubar! Lembayung temani barbar
Kibarlah kibar, di tanah orang-orang lapar
Kejarlah kejar, setan yang hanya mampu mengakar

Vlad.. Vlad.. Vlad..
Di Oktober milik Vlad
Orasi memanjang bak deras Lena
Bangunkan jiwa-jiwa membabi buta

Sembilan belas..
Tujuh belas..
Vlad tanpa belas kasih
Dalang mereka yang tersisih
Diatas tanah yang tak lagi bersih
Alasnya darah dan peluh letih.

AL, 29/10/2017

'I: 18 Brumaire'

Jejak tapak kaki di tanah semakin menjadi
Hirau curamnya tandakan celaka
Bagai naluri tak bertuan insan
Pelana kuda sekedar alas telapak tangan

Bekas tapal kudanya dalam membekas
Retak kering diterjang panas
Perduli apa Ia pada langit nan luas
Lantas kembali dia rampas wajah tertindas

Citanya memang ungkap empedu
Berkarat kerak memang sejak dahulu
Moyangnya haru dijajah pilu
Asanya congkel semua ragu

Untuk kembali dan tuntut durjana
Durjana yang julurkan lidah hisap semua

Drakula-drakula di gorong-gorong kota
Perisai kayu di leher sang kuda
Berzirah gerilya entaskan semua
Sesampainya puncak segala euforia

Tapal ini menjadi saksi
Walau akhirnya tertiup badai
Namun nafasnya berpadu bersama angin
Membisikan jiwa-jiwa dalam pendar lilin

Rasalah.. sejuknya pemberontakan
Nikmatilah hangat mentari di ujung mata kaki
Nikmati sampai di ujung ubun terpayung awan
Dengan tangisan melawan..
Menantang tabir elegi..
Meski guntur tampak enggan 'tuk pergi

Di bawah tapal ini dia bersaksi
Di bawah tapal ini dia semakin menjadi
Di bawah tapal ini lahir pengubah jati diri
Di pelana kuda dia terus berlari tak sudi berhenti.

AL, 29/10/2017

Kamis, 26 Oktober 2017

'18:02 WIB'

Membabi buta benamkan diri
Dalam logika yang sudah kadung mati
Di redup senja, ku sempat bertanya
Di mana Nyonya kini berada

Dipasrahkan keluh, dihipnotis rindu
Mendung malam bercampur dingin beku
Dedahan ranting, gesek berdenting
Di tanah kupandangi, ya... memang tak penting

Namun ceritaku, sebuah dilema
Di ujung dunia, di angkasa raya
Dalam hidup nyata, atau dalam bayang cinta
Tak bisa dilukiskan atau diujarkan
Tak sanggup diumbar atau dipaksa keluar
Biarkan pikirku berkelana..
Mencari apa yang ada...
Berkawan gelora, dalam pendar lampu kamar

Mungkin rumit ku ungkap kata..
Dan kini sebuah cerita cinta..

Juntai-juntai rintik gerimis
Turun manis bak kapas teriris
Sejenak hibur diri, meski dalam tragis
Nyonya, engkau dimana?
Ku cari di semak belukar, di beton terselimut akar
Nyonya, kembalilah tunjuk rupa
Biar kupandangi satu-satu mata
Agar ku tak menyesal akhirnya

Nyonya?
Ingatkah dikau meja kayu itu?
Tempat dimana ku hadap selalu dirimu
Ku mainkan jari yang tak panjang berkuku
Kulihat senyum pipi di wajahmu
Namun kini kau kelabu..
Kau penuh ragu..
Kembalilah Nyonya..
Surati diriku..

AL, 26/10/2017

'90 Menit'

Bola diterjang, menyerang lawan
Gocek menggiring depan gawang
Sebelas orang, ganti menendang
Umpan kanan kiri cari kawan

Ada penyerang sibuk berlari
Di ujung, dia kosong berdiri
Sadar bek lawan, hantam tak peduli
Terjang kuat patahkan kaki

Di kotak penalti, wasit meniup peluit
Penyerang menggelepar merintih sakit
Angkat diangkat sebelah tangan
Kartu merah jadi balasan

Datang dari belakang
Bogem mentah melayang
Kalut pemain termakan berang
Lapangan rumput bak arena perang

Tribun bergetar digilas penonton sangar
Turun lapangan saling hajar
Darah segar basah keluar
Ada yang terkapar namun tak gentar

90 menit bermain
Setengah main, saling merongrong
Akhir tanding, adu bagong

90 menit disini
Tak ada yang mengerti
Sebab bola itu bundar
Pemainnya kasar
Penontonnya tak sadar.

AL, 24/10/2017

Sabtu, 21 Oktober 2017

'Gelandangan'

Atap langit lantai tanah
Didepan ruko mencari alas lelap
Tak berselimut menggigil resah
Berkawan tikus di senyapnya gelap

Rambut gimbal tubuh dekil
Hidup diatas dunia yang nampak tak adil
Tersisihkan tanpa teman
Tatap jijik pengguna jalan

Tetes air matamu malam itu
Seakan berdialog dengan waktu
Teriakanmu memekakan telinga bak benalu
Menuntut takdir diantara belenggu

Tuhan tolong dengarlah
Ratapnya berjuta masalah
Terdiam sepi di bawah lampu merah
Termenung kosong berpayung gelisah

Mereka yang terkapar
Di sisa gentar yang terbongkar
Fajar ini ada lagi yang mati
Cerita lama terulang kembali

Penguasa dengarlah kini
Saat nuranimu sedang diuji
Hatimu sedang dicaci
Pikiranmu sedang dimaki
Setiap gerakmu selalu dinanti

Teduhkan mereka
Seakan kau adalah orang tuanya
Rangkul bahu mereka
Seakan kau menjawab setiap tanya.

AL, 21/10/2017

'Dan Mereka Yang Sanggup Berdiri'

Peluhnya menetes
Telapaknya penuh luka
Dengan sederhana
Jalani pedihnya masa
Walau tahu jiwa
Tak jadi alasan terjatuh dengan mudahnya

Di atap rotan
Berlantai tanah
Dinding kapur
Dapur penuh lumpur

Meski tubuh t'lah renta
Meski usia tak lagi sanggup bicara
Dan mereka yang sanggup berdiri
Dan mereka yang sudi tertawa
Di gubug penuh duka.

AL, 21/10/2017

'Syair Rakyat'

Mata-mata memandang penuh harap
Dari desa sampai padat kota yang pengap
Telinga-telinga mendengar seksama
Tujuan jiwa yang terus berkelana
Dari buruh sampai pemegang laba
Saksikan nyata realita dunia

Pucatnya dikalang air mata
Duka diganti tawa
Atau mungkin sebaliknya
Semakin terasa keras kerak bencana

Kusamnya asa hingga cerahnya masa
Roda-roda kehidupan enggan bersuara
Nikmati cerita dibawa dalang tanpa nama
Deru mesin dan asap jadi teman sebaya
Cerutu dan sofa di dalam istana
Jadi cerita pembawa berita
Di dalam televisi berwarna

Jikalau Dia hadir
Membawa baik masa penuh nadir
Menjadikan adilnya dongeng
Memotong jeruji kerangkeng

Jika Dia bertindak
Singkirkan banyak kerak
Dan sudi bergerak
Berbedalah masa kelak.

AL, 20/10/2017

'D.N.A'

Ujung belati pembawa mati
Diantara malam yang tiba-tiba sunyi
Bintang-bintang selalu menerangi
Cahayanya bagai tak perduli

Ujarnya sama
Teduh tak lagi ramai bicara
Kini semakin percuma
Sumpahnya tinggal nama

Riak awan jingga terhimpit langit
Lolongan serigala berpadu jerit
Tajam menembus kulit
Tegak terlampau sulit

Banyaknya kicau-kicau burung
Temani ikat kayu pasung
Terpampang jelas beku relung
Halilintar tajam hantam mendung

Hujan, hujan, hujan
Basahi tegaskan kesepian
Sebab luntur banyak kepercayaan
Kalungkan kebencian

Hingar bingar iringi serak kerongkongan
Didalam hati penuh pengingkaran
Buah dusta kini mulai terasa berperan
Gelapkan malam jagal kehidupan

Rembulan tak lagi miliki kesempatan
Esok-esok sekedar gurauan
Tangisan nyawa bak ladang kepuasan
Tertanam tajam menghujam insan

AL, 19/10/2017

'Jangan Datangkan Mendung Hari Ini'

Dengarkah jemuku tentang keraguan
Makian dekap erat kucoba bertahan
Ribuan kesedihan ungkapan penyesalan
Kumohon...
Jangan datangkan mendung hari ini
Jangan hitamkan langit dengan elegi

Bukankah lihat pun engkau pahami
Harus kurangkap bagian buku ini
Dengan bekas tangis dan alibi
Menambah tebal halaman yang kujalani

Kumohon usaikan malam
Hilangkan pedihnya ruam
Keluh kesah yang menikam
Bawa mereka tenggelam

Jangan datangkan mendung hari ini
Air mata tak sanggup lagi basahi
Jangan kau gelapkan khatulistiwa
Kuharap bijaksana.

AL, 20/10/2017

'Seringai Pak Tua'

Hey, Bapak Tua berwajah garang
Tapak tangan tanggung tulang belulang
Kokang-kokang asik menyerang
Tutup mayat yang diperkosa pedang

Bapak Tua girang dan senang
Meski tanahmu bersitegang
Senyum seringai tak berkurang
Rakyat tahan bimbang meski meradang

Peluru-peluru tajam melaju
Tumpahkan darah yang tak tahu menahu
Peluru-peluru liar menyasar
Mereka yang gentar tak sanggup berujar

Tatap matamu
Buat kami kelu
Tegap badanmu
Meski penuh benalu

Hey, Bapak Tua, gerangan tak bicara
Garismu kini masih tegas bersuara
Garis yang tak lihat darah-darah amarah
Yang dulu diperah oleh lihainya kerah

Kini meski telah tiada
Hilang raga namun sakit masih terasa
Tak mudah hilang adanya
Telaah nyawa jutaan manusia

Bapak Tua semoga tenang disana
Bersama mereka yang masih bertanya.

AL, 20/10/2017

'Rancu'

Propaganda..
Di jalan-jalan..
Di dunia..
Yang nyata maupun berlantai maya
Banyak janji dijajakan
Banyak angin surga ditawarkan

Jual percaya
Asal seirama
Dituntut adil
Utopia labil

Rakyat beradu
Semangat berdebat
Penguasa bersulang
Pengadu senang

Meski jelas terlihat luka menggeliat
Meski terpampang wujud khianat
Bukankah kita sudah bisa menerka
Siapa yang ingin tampil sebagai sang juara

Terimakasih..
Atas segala omong kosong
Terimakasih..
Tanah yang entah sampai kapan berbohong
Tidurlah malam nanti
Berharaplah rencana Tuhan
Tak sama seperti hari ini.

AL, 21/10/2017

'Himne'

Negeri kaya raya ribuan daya
Di pusar bumi khatulistiwa
Paruh tajam sang garuda
Dalam naungan bermacam sila
Pandang segan mata dunia
Lihatmu gagah tegakan nama

Tanah subur, lautnya makmur
Ribuan budaya padu melebur
Permata mewah megah terkubur
Tanah mahal dengan pasrah terbujur

Kerbau gemuk gemburkan sawah
Jaring-jaring ikan tangguhkan nafkah
Gedung pencakar langit
Sungutnya tegak menjerit
Di tanah beribu asa
Di tanah berjuta problematika

Untukmu yang sandingkan harapan
Untukmu peneduh kehidupan
Didalam batu-batu nisan
Untukmu diantara tangis kematian
Dianntara penindasan..
Karatnya keadilan..
Telapak kaki mereka di jalanan..
Diantara tangis penuh tuntutan..
Mari dengarkan
Dan upayakan
Agar tak sia-sia
Himne mereka..

Sudahi benci
Cuci hirarki
Karena kita tak mau mati
Berteman sedih elegi

Berkibarlah bendera..
Diatas tiang di tanah yang terus bersuara
Cengkeramlah Garuda
Tinggi mengangkasa
Menuju peraduan
Busungkan dada kita tunjukan.

AL, 21/10/2017

'Siapa Ungkit, Dia Bangkit'

Sekutu massal penunggang sial
Tak lagi hati mampu katakan moral
Dompet pailit, teriak menjerit
Siapa ungkit, dia bangkit
Gimbal kusut telapak sakit
Tunjuk tegas para elit
Yang masih keras melilit

Manipulasi cerita
Tentang suksesnya sila-sila
Katakan baik-baik saja
Puluhan juta masih sengsara
Huru-hara di jalan raya
Lempar batu di tengah kota
Spanduk terpampang nyata
Jelas menampar penguasa

Kawat berduri dimana-mana
Disfungsi kursi tiada guna
Keruk sumber daya
Buncit kantong celana
Bisu tuli tak tanggapi
Alasan kami mencaci
Tuntut janji
Akal sehat tak lagi punya arti

Turun telapak diatas jalan
Satu genggam dalam tujuan
Suarakan harapan bersampul makian
Tentang keji pengkhianatan
Mereka yang bersuara
Bertaring drakula

Siapa ungkit, Dia bangkit
Dompet pailit, teriak menjerit
Siapa bangkit, Dia dikentit
Wakil berkelit
Rakyat jatuh sakit.

AL,1/10/2017

Senin, 09 Oktober 2017

'Rintih'

Tebing menjulang
Tangga curam
Curamnya ku hantam
Mungkin seribu langkah
Mulailah ku terengah

Adakalanya ku mulai lelah
Meski baru setengah jalan
Adakalanya ku ingin mengakhiri
Namun ku tak ingin mati
Dengan acuhkan kesempatan

Haruslah ku berlari
Tak akan berhenti
Meski hampir terjatuh
Terjatuh berulang kali
Kerana utopia mimpi
Perlahan menyelimuti

Meski rintih kian keras
Tak datang dengan belas kasih
Sebab duniapun tak perduli
Keadilan tak lagi berarti
Bagaimanapun harus tetap berdiri
Dunia tak akan sudi
Mau tak mau harus hadapi
Bagaimana akhirku di sini.

AL, 6/10/2017

'Saung Alam'

Seruling bambu
Berpadu merdu
Pinus tinggi menjulang
Seakan menjadi pasak tiang
Tutupi terik diantara rindang
Saung alam selalu terkenang

Wibawa semesta
Tunjukan bijaksana
Bagai guru manusia
Agar tingkah penuh makna
Bagaimanapun kau melihatnya
Indahnya guyurkan raya

Maka mereka titipkannya
Agar tak engkau beri luka
Saung alam tak tuntut engkau
Hanya atap langit yang memantau
Tolong jaga mereka
Agar kelak tak jadi bencana

Saung alam di dunia
Entah sampai kapan
Tergerus atap beton manusia
Buas tanpa belas kasihan

Lindungi saja
Jangan lubangi asrinya
Sebab tak bisa dibanderol harga
Jaga mereka agar berdiri
Sebelum sunyinya jadi petaka
Sebelum saung alam mulai kejam bicara.

AL, 7/10/2017

'Janjimu Dari Ujung Dermaga'

Masih membekas ucapmu
Bergetar rasa hari itu
Kau kalungkan percaya di jiwa
Berisikan suci alunkan cinta
Tulus aku rasa
Saat ikhlas biarkanmu jauh dari mata

Tak lagi ragu
Cukupkan curiga
Kucoba pandangi mega-mega
Dan kurasakan hangatmu disana

Kuharap kau ingat
Janjimu yang masih kurasa erat
Meski terkadang berat
Kuyakin cintamu tak akan mudah tamat

Kau yang jauh
Yang mustahil ku sentuh
Janji ini penuh
Masih ku pegang dengan teguh
Hingga percaya ini tak akan luruh
Tak akan pernah lusuh

Kau yang disana
Semoga senyum dikau diatas dunia
Sebab cinta..
Masih ku anggap berharga
Setudaknya untuk saat ini
Atau mungkin disetiap masa.

AL, 7/10/2017

'Nila'

Membeku padu
Jiwa-jiwa mengaku tak mampu
Taman belenggu hari itu
Rasakan biru
Tutur kata cerminkan segalanya
Tentang cahaya nampak berbeda
Dibalik tilam hina
Singkirkan manja

Menerka luka selanjutnya
Terlelap tanpa nama
Riwayat manusia
Gemuruh kilat terlihat
Jadilah sebuah jerat
Tunggu rohani sekarat

Tangga rapuh
Sekoci nampak bersauh
Diatas dermaga penuh
Kuras peluh

Gulungan ombak yang berderu
Nyatakan pilu yang beradu
Surya mulai lenyap
Kembalikan senyap
Melodi lelap
Antar menuju peraduan nan gelap.

AL, 8/10/2017

'Kupu-Kupu Kertas Dibawah Rembulan'

Hingarnya petang
Di persimpangan jalan
Saat manusia telah usai berperan
Ratusan belia
Tatapan harap dibawah jembatan
Tadahkan tangan
Mainkan melodi kesedihan

Gulana mana yang tak nampak
Terlihat dari angkuh dan congkak
Gedung-gedung tinggi penuh gelak

Si kecil mengantuk
Kerja semalam suntuk
Kembali ke peraduan
Ditinggal induk hidup sendirian
Dalam gelapnya riuh perkotaan

Kupu-kupu kertas
Di bawah rembulan
Coba jelaskan banyak kebosanan
Jalani takdir yang diberi Tuhan

Kupu-kupu kertas
Di jendela kamar
Dalam tubuh yang bergetar
Namun tak ada raut nampak gentar

Kupu-kupu kertas
Di bawah rembulan
Hadapi kehidupan
Mencari sesuap makan.

AL, 8/10/2017

'A Minor'

Ujarkan cerita
Angkat petinya
Kokangkan senjata
Lubang topi-topi baja
Hilangkan nyawa
Gertakan sia-sia

Korbankan rusuk
Belati menusuk
Mucratnya darah
Puncak segala amarah
Sebab si betina
Luluh hatinya
Kerana bibit-bibitnya
Masih tak rela

Mawar dan melati
Di tanah pagi ini
Siratkan duka
Mereka yang sulit percaya
Hilangnya cinta
Ditinggal ksatria

Jari-jari mungil
Tubuh nan kecil
Sudah harus sedia
Ditinggal sebuah nama.

AL, 8/10/2017

Sabtu, 07 Oktober 2017

'Azas'

Ibu pertiwi terjatuh
Terbangun kembali terjatuh
Tersandung peluru
Peluru berdarah yang sudah membatu

Ibu Pertiwi bangkit
Dengan telapak kaki masih terasa sakit
Tak sanggup Ia berkelit
Diantara serigala yang siap menggigit

Hampir terkoyak panjimu
Yang memang sudah berdebu
Anakmu kini membisu
Dengan euforia palsu
Biarkanmu kembali beradu
Dengan kejamnya sang waktu

Maka berdiri engkau dengan gigih
Meski menusuk semakin pedih
Ibu pertiwi suratan takdir
Yang enggan gadai diri dalam nadir.

AL, 7/10/2017

Kamis, 05 Oktober 2017

'Sumpah'

Nyanyian tak mampu
Dari cabang-cabang belenggu
Bersuara masa lalu
Hinakan realita
Pedihkan kalbu

Tirani mulai tak perduli
Siksa yang dicipta sendiri
Kehidupan tak lagi sama
Sebab masa yang serupa
Menyiksa..
Sumpahku padamu
Menjaganya meski teramat malu

Kain lusuh ini
Dihadapkan pada takdir
Tentang kejamnya nadir
Penuh nanah penuh lendir
Lendir nafsu lintah darat
Yang bisa bernyanyi lantang
Juga terbang seperti lalat

Lirik yang ku hafal
Tentang sebuah wacana gagal
Hutang kekal
Dan manusia kebal
Berperan berandal
Suap-suap saling kenal

Sumpahku padamu..
Menghujam nalarku
Tentang percaya yang penuh ragu
Kepadamu penuh kelabu
Jangan salahkan aku
Hari ini kau pandangi cermin
Wajah penuh luka membiru.

AL, 4/10/2017

'Hafalan'

Senandung menggema..
Tentang dahsyatnya pribadi negara
Tentang pujian cantik dan eloknya
Keras bersuara sewaktu hormat bersama
Hafalkan lirik-lirik utopia

Hingga kita lupa
Luka tepat diwajah
Benamkan cantik dan eloknya
Dosa-dosa para pemuja
Yang biarkan bendera berkibar
Dengan kotor dan kusamnya

Utopia kini sekedar tulisan tak bermakna
Sekedar tubuh tak bernyawa
Dirobek dari kertas lusuh tak berwarna
Diinjak keserakahan dewa-dewa

Kini jadi sekedar hafalan
Tak menjadi pedoman
Sekedar hidup dalam nyanyian
Janjimu utopia
Tulisan utopia
Tak lagi nyata
Sekedar fana.

AL, 5/10/2017

'Senja Kini'

Semerbak senja mulai tercium
Memandikan padi yang semakin ranum
Belum habis kopi yang harum
Belum lekas tembakau menghujum

Angin dingin sejuk
Menembus tulang rusuk
Terlihat mentari dengan awan lekuk
Hipnotis tutur alam kian merasuk

Dengan gitar bersenandung
Di gubug tua jadi tudung
Bagai lepas dari jeruji kurung
Bersama tikus kotor yang mengandung

Sungai-sungai mengalir
Ku ambil kertas
Ku tulis syair
Tentang frasa satir
Meski hidup masih teramat getir
Diiringi dosa yang masih bergulir
Ku bersumpah tetap berdiri
Sekalipun hidup berupa martir

Kerbau mulai pergi
Bersama langkah petani
Tak beralas kaki
Meski di jalan yang terlewati
Pecahan khamr bagai menyelimuti

Di senja kini..
Ku masih menunggu arti
Tentang balada hari ini
Tentang pelajaran yang kunikmati
Meski akhirnya senja kini..
Banyak lagi lahir elegi
Dan banyak jua yang mati.

AL, 5/10/2010

Sabtu, 30 September 2017

'Lesehan Depan Sekolahan'

Gelar tikar tempat bersandar
Disamping gerobak dengan asap terbakar
Disuguhi suara-suara sitar
Diiringi nyanyian hilanglah sukar
Lesehan depan sekolahan
Di bawah langit terbentang
Di malam hari dibawah kerlip bintang

Hingga tak kau sadari
Gusar yang kemarin terjadi
Kini hilanglah sudah
Tergantikan ramah senyum sumringah

Memang hari ini
Kau rubah kawan
Rubah kemarin yang rancu
Diselingi benci bagai benalu

Kini kita bersama
Nikmati suka diatas duka
Meski memang pedihnya
Masih saja keras terasa

Tenanglah.. kawan
Tenggelamlah malam tanpa dendam
Ceritalah.. teman
Apa yang kau khawatirkan

Minumlah kawan..
Nikmati angkringan..
Hingga gundah kan pindah
Hingga gelisah kan berubah
Disini kawan..
Kita bersama..
Rayakan hidup
Dengan seruput kopi bagai mengantup

AL, 29/9/2017

'Setelah Bintang Lima'

Hiruk pikuk punggung membungkuk
Macet parah di lampu merah
Bau sampah busuk kian menusuk
Hati siapa yang tak penuh amarah

Genjreng pengamen seberang jalan
Pengemis seret kaki mengais recehan
Dalam hati masih bertanya
Tentang negeri yang terlihat masih menderita

Dari dalam mobil putih masih kredit
Lihat sekeliling yang terasa menjerit
Tunawisma di halte sore hari
Preman-preman kota bermata belati

Gedung tinggi seraya menari
Tunjukan betapa megah kota malam ini
Bintang lima telah terlewati
Halaman penuh debu kupandangi
Gubug-gubug reyot di bantaran kali
Terasa sadar semakin sadar diri
Ironi di tanah sendiri.

AL, 27/9/2017

'Rakhine Bersuara (Suara Dari Tenda Usang)'

Tangis-tangis para pengungsi
Penuhi berita pagi ini
Dikala mentari masih tersenyum disini
Dan mereka yang masih berjuang
Dari timah-timah dan pisau pribumi

Di batas dengan tenda-tenda
Di dinginnya malam
Rakhine bersuara
Tunjukan wajah Rohingya
Rakhine bersuara
Tentang bungkamnya kuasa
Serta janji tak temui akhirnya.

AL, 25/9/2017

'Penuai Dosa (Yang Bicara)'

Penuai dosa..
Dari gubug sampai bintang lima
Dari muda sampai tua
Penuai dosa..
Masih harapkan umur beri sisa
Sisa keliling dunia

Kesenangan sesaat
Kenangan sesat
Kebahagiaan nikmat
Penuh mudharat
Wakilku juga penuai dosa
Penuai dosa yang bicara pahala

Bicara tentang Pencipta
Bicara bagai tak berdosa
Wajah polos
Gencar lolos
Penuai dosa..
Pahalanya bolos

Penuai dosa pojokan norma
Menghantam jiwa
Yang suci berwajah serigala
Jauhi pencipta, hinakan agama
Penuai dosa tak kenal nama
Karena munafik bersamanya.

AL, 24/8/2017

'Hormat Bendera Para Tetua'

Yang tua bergembira
Kini mereka merdeka
Yang tua menikmati jerih payahnya
Teringat benak gertakan 45
Walau hanya terlihat sebagian
Dari jutaan perjuangan

Habiskan masa dirumah tua
Habiskan nafas di catatan kertas
Nikmati indah suasana
Panti jompo sedikit berkelas
Walau mereka terlampau uzur
Juangnya terkenang sampai habis umur

Tetua kami hargai
Sebab bawa nama negeri
Lepas dari jerat tirani
Tetua kami sanjung
Sebab bendera kami mereka junjung
Korbankan nyawa sampai ujung

Tetua silahkan bicara
Ini tanah kita dari anda
Kami angkat topi
Terima hormat kami
Dimanapun pengabdi pertiwi
Kami akan ingat sampai mati

Sementara banyak yang terlupa
Karena mungkin kurang nama
Tetapi juang tetap juang
Pengorbanan tak berbeda
Demi merah putih di angkasa
Tolonglah penguasa, ingat mereka.

AL, 25/8/2017

'Yuwita'

Yuwita anak Pak Lurah
Bikin hati gelisah
Bikin hati gundah
Yuwita kembang desa
Yang selalu kucinta
Juga impian para tetangga

Senyumnya bagai lekuk pisang
Orangnya selalu riang
Yuwita si anggun
Kulitnya eksotis
Mirip sawo diiris

Yuwita kekasih imaji
Kelak mungkin jadi istri
Walau aku melarat, masih ku nanti
Yuwita tetap di hati

Yuwita hidup gedongan
Habis uang jutaan cuma buat makan
Yuwita menutup hati
Impikan Pangeran
Yang miskin hanya menelan ludah
Sebab mustahil dapatkannya

Tapi cerita lain merubah isi
Dengar minggu pagi
Bapak Yuwita diciduk polisi
Katanya tersangkut korupsi
Yuwita yang riang jadi sakit hati
Sakitnya Yuwita sakitnya kami

Yuwita kini menyendiri
Semenjak Bapaknya jadi saksi
Yuwita hampir mati
Esok pagi dapat kabar dari Bui
Yuwita malang meratap pada Tuhan
Bapaknya ternyata bajingan

Yuwita sesalkan keadaan
Simbok juga menceraikan
Sekarang sebatang kara
Yuwita dikucilkan warga
Kami jauhi dia karena Bapaknya
Yang jadi tikus kembung tak berguna

Yuwita kini putus sekolah
Yuwita dipenuhi amarah
Semakin parah tak ada yang rela
Yuwita kini gila
Sebab memikirkan dunia

Si Cantik Yuwita kini tiada
Semenjak dia raih tali ditangannya
Gantungkan pada pohon cemara
Yuwita lepaskan semua
Menyerah kepada takdirnya
Sekarang Yuwita entah pergi kemana.

AL, 25/8/2017

'Geliat Resah Si Plat Merah'

Plat merah resah diselimuti gelisah
Sebab risau terkokang aparat
Berkalang khianat ditekan kasemat
Plat merah kini sembunyi
Pikiran ricu takut dikutuk negeri
Gelisah si plat merah jadi geliat ironi

Plat merah kini tak sanggup tidur
Sebab ceritanya semakin ngelantur
Mandunya keras, hartanya gugur
Plat merah semakin berangsang
Sebab akhlaknya jadi taruhan orang
Akankah berakhir didalam lubang?

Plat merah serahkan semua pada-Nya
Plat merah diserahkan ke KPK
Sebab yang berdosa, dikurung dunia
Si pendosa kolektor kuasa
Bangsat yang tak kunjung binasa
Karena disini, uang yang sanggup bicara.

AL, 3/8/2017

'Harakiri'

Pikirku tak mungkin kembali
Apa yang kau bingungkan?
Saat semua pergi
Kau lebih dulu tinggalkan
Masa terengah beranjak
Kau lepas dari sesak

Teman terbaik
Pertama untuk mengatakan
Syair tentang tirani
Bahwa kau hidup sembah ironi
Nah, kini kau lebih alami
Semua dustamu kini kau ucap lagi

Rindu itu nihil
Sebab mustahil
Pertama untuk jatuh
Namun luka yang berdarah akan sembuh
Kantong sampah
Neraka dunia berantah

Kini ku anggap usai
Bahwa kau hanya datang lunglai
Membawa amarah
Dan tensi tinggi dalam darah
Kini kau bunuh perlahan jiwa
Perlahan kau berlari biarkanku mati

AL, 11/9/2017

'Jum'at Di Situ Gintung'

Jum'at itu sebuah cerita
Jum'at yang gelap
Sebab surya belum tunjukan warna
Mungkin jingga atau mungkin hitam
Kerana dini hari itu akhirnya kelam
Gelimpangan raga mati tenggelam

Remah tanah tergerus bah
Tanpa ampun..
Wajah-wajah terkubur geliat lumpur
Lidah kelu sebab hadap dinginnya beku
Si Kecil malang terbawa hilang
Si Tua renta entah kemana

Terjangan itu tanpa terlupa
Membekas dalam di hati hamba
Memberi luka yang datang tiba-tiba
Oh Tuhan, kenapa?
Tanya jiwa ditinggal Bapaknya
Yang kemarin tertawa kini tiada

Dini hari itu waktu kelabu
Terlelap tidur tak lagi terbangun
Sebab kini bercampur debu
Jiwa yang berteriak ditemani embun
Di Situ Gintung..
Gulita yang dikurung mendung

Di Situ Gintung kini..
Kerana nyawa tak mungkin kembali
Mencoba lupakan luka abadi
Anggap lalu sebuah tragedi
Si Situ Gintung kini..
Yang tersenyum lagi..

AL, 5/9/2017

'Dia Dan Nyiur Di Pesisir'

Suatu masa di pesisir Kuta
Saat sang surya tepat di ubun kepala
Ku temukan alas tidurkan jasmani
Lelah perjalanan t'lah terlewati
Nikmati godaan pemandangan
Disamping sampah plastik minuman

Ku puji sejenak sang Pencipta
Cakrawala langit bak jendela
Rindang nyiur tinggi menjulang
Riak ombak besar berteriak
Melambai bagai menyapa

Tiba-tiba..
Ciptaan yang tak kalah luar biasa..

Dia yang disana
Dengan cantiknya
Beraikan rambut jelita

Dia sempurnakan masa
Tak bosan pandanginya
Belo mata
Mungil hidung asia tenggara

Sepoi angin sejenak lewat
Jingga langit yang kulihat

Ku yang hampir terlelap
Karena angin yang meresap
Tiba-tiba teringat senyumnya
Si Dia yang buat terpana

Tengok kanan kiri
Ku rasa sudah pergi
Ku rasa tak nampak lagi

Raga yang terlanjur mencinta
Bagai kehilangan rasa
Kini risau dibuatnya
Kini galau karenanya

Si Dia ternyata masih disana
Mataku melihatnya
Saat pandang dibalas..
Grogi aku dibuatnya
Karena senyumnya
Bagai tahu aku mengagumi dirinya

Si molek bertubuh pendek
Si ramah berhidung pesek
Yang ku cinta
Namun sejenak saja
Karena ternyata..
Sudah digenggam Si Bule Tua

Ya.. begitulah cerita yang sama..
Ku gantikan pandangku
Pada lalat hijau yang senyumkanku
Pribumiku terjajah cinta
Sakitnya terlanjur suka
Kini ku alihkan mata pada sunset depan indera.

AL, 27/8/2017

'Hiruk Pikuk'

Hiruk pikuk jalanan
Terkekang jaman
Cari siapa insan bertahan
Gelagat semesta
Tak akan ampuni masa
Sekedar membunuh asa

Cemooh hina
Gundah gulana
Kritik kudeta
Banjiri lini masa
Preman-preman di siang hari
Masih setia kebiri negeri

Beton dan alam
Saling tunjukan geram
Dikala hari tunjukan malam
Bintang enggan bersinar
Kabut kelam buatnya tenggelam

Korbankan jiwa sudah biasa
Demi pikul asa
Setiap waktu dalam nyata
Bagai Bharatayudha
Dunia hanyalah fana
Sandiwara menuju pencipta.

AL, 17/9/2017

'Tersenyumlah'

Mungkin hinggapi diri sakit hati
Kerana sakit ditinggal pergi
Bak pengelana yang cari obat risau
Senyumlah, langitmu kini penuh kilau
Jangan kau kutuk takdir
Meski sadar kini kau merangkak dalam nadir
Jangan beri alasan kenapa
Berilah senyuman dikala diri menderita

Menangislah malam ini
Tersenyumlah esok hari
Berjuanglah dalam siksa
Nikmatilah dalam bangga

Jeritan gemuruh tanpa nama
Yang coba jatuhkan tegakmu
Balas seringainya
Dengan senyuman ikhlasmu
Harapanmu pada setiap sandiwara
Awal bahagia sambut hasilnya.

AL, 17/9/2017

'Beda Pelaminan'

Malam tahun lalu...
Ku ungkap rasa
Tentang akhir cinta
Ku katakan yang sebenarnya..
Bahwa hati yang bicara
Cintai dikau seutuhnya..

Setengah bulan berlalu..
Jalani waktu
Problema asmara
Runtuhkan percaya
Namun kuat kita jalani
Demi sebuah panji janji

Satu bulan kemudian
Dikala hari biasa
Mendung gerimis
Tiba-tiba menangis
Hati sesal tengah teriris
Mencoba kuat meringis
Namun kisah ini terlampau sadis

Surat yang kau sampaikan
Tiba-tiba menambah penyesalan
Masa tahun lalu
Sekedar nikmat semu

Kau memilih insan berbeda
Tak ada lagi asa
Sebab semua tak lagi sama
Kupertanyakan tentang cinta
Kau coba lupakan semua
Kini hancur percuma

Di pelaminanmu
Pesta sakitku
Pesta sedihku
Pesta kelam ini waktu
Persetan sandingmu
Kulihat dari kursi tamu

Kusalami mempelai satu-satu
Kugenggam erat tanganmu
Ku pandang kuat lelakimu
Yang kini tengah menyeringai
Siram garam lukaku yang belum usai.

AL, 19/8/2017

'Rindukan Semu Si Pesek Intelek'

Pernah kita bertatap muka
Debar terasa dekat dikau
Hari berganti tak sama lagi
Entah kemana kau putuskan 'tuk pergi

Cukup lama ku tak bicara
Padamu yang dulu ku cinta
Hingga esok hari
Dan mungkin nanti

Pilu sembilu rasakan rindu semu
Bagai ratap robek
Rindu si hidung pesek intelek

Dengarlah sajak indah
Dari kamarku penuh resah
Walaupun memang tak sanggup sampai
Setidaknya ku tak lunglai

Pilu sembilu lihat engkau
Yang dampingi insan lain
Rindu semu
Kini memang harus berlalu...

AL, 19/8/2017

'2004'

Sesuatu yang baru
Pelataran yang tak lagi tabu
Lahir si Tentara
Bawakan retorika
Terpilih dia
Genggam tampuk kuasa

Ribuan massa menyambut
Bukan hanya itu..
Tragedi juga tak luput
Tentang nyawa-nyawa yang terenggut

Lelah nian masa mu
Baru seumur jagung usia
Dihantam badai tak kenal masa
Tanggung jawabmu pun besar
Urus bawahan kurang ajar

Lihat nyata yang tercipta
Mangkrak dimana-mana
Mungkin kerana kuasa
Butakan kursi-kursi yang kau awasi
Namun patut dihargai
Berapapun yang diberi
Terima saja kalimat kami.

AL, 22/9/2017

'Rasanya Jadi Pelana Kuasa'

Hai kalian..
Yang tertawa lihat jenaka
Yang acap kali saling cela
Setia peluk kolega sejawat
Tak lihat negeri berjerawat
Penuh haru nampak pucat

Taklid buta kini kurung rakyat
Saling tikam adu debat
Demagogi junjungan
Kian buat pendukung keranjingan

Tertawa..
Gembira..
Pesta pora..
Adu mulut dunia maya

Hai, kini rakyat makin gila
Demokrasi fatamorgana
Pasung moral
Ucap tak berakal
Bicara ngasal

Junjungannya tertawa
Lihat massa jadi pelana
Eh, kini malah rebutan bursa kuasa
Adu kuat citra
Lawan lengah, dia kudeta.

AL, 21/9/2017

'30965'

Kalian telah datang
Bawa mereka hilang
Hilang dalam kenang
Terkubur dalam lubang

Hatinya senang
Hati kami berang
Siapa dalang
Diantara perang

Malam yang indah
Dingin yang merekah
Tangis pahlawan
Dijanjikan kematian

Untuk siapa
Mereka berangkat
Untuk apa
Mereka berlaku bejat

Tangis pahlawan
Menyayat perasaan
Atas semua pilihan
Dalang yang kami anggap setan.

AL, 23/9/2017

'Lama Ku Tak Bicara'

Lama ku tak bicara
Tentang sebuah cinta
Cinta yang kau anggap percuma
Sebab apa yang ku katakan
Tak pernah nyata engkau terima

Lama ku tak berujar
Tentang kata yang kupaksa keluar
Dari lidah yang kelu dibuatnya
Aku rasa namun tak pernah ada

Hingga saat nanti
Kuharap kau 'kan mengerti
Bahwa pada waktunya
Aku harus ikhlas menerima

Cinta tiada
Karena memang tak pernah ada
Kuyakinkan pikirku
Bahwa mustahil kau jadi milikku
Sementara itu
Ku tak sanggup memahami
Bagaimana hari 'kan terlewati
Tanpa senyum manismu yang menari

Pikirku lagi
Cukupkah aku menanti?
Jikalau ini akhirnya
Jikalau engkau tak pernah bicara
Maka ku yakinkan hati
Maka kuyakinkan diri
Aku ikhlaskan kau pergi
Untuk kesekian kali.

AL, 27/9/2017

'Becak Pak Iman'

Peluh tanpa keluh
Hingar bingar jalanan rusuh
Lihat dijalan yang sudah penuh
Pak Iman disamping knalpot lusuh

Roda tiga dihantam jaman
Tak pantang sebelum cari makan
Keringat bercucuran
Demi nafkah yang jadi kewajiban

Meski terkadang mesin jadi lawan
Pak Iman tak ratapi keadaan
Setia kayuh antar pelanggan
Terlihat berat barang kiloan

Pak Iman tak sudi tadahkan tangan
Hidupi keluarga menunggu di peraduan
2 Anak yang tunggu penghidupan
Satu SMA, satu anak kuliahan

Pak Iman bagai tak kenal lelah
Cari berkah tak anggap susah
Sebab takdir yang bicara
Maka syukuri tanpa tuntut pencipta.

AL, 27/9/2017

'Mega'

Jerit tak terkendali
Hari ini..
Saat masa itu semakin dekat
Ragu itu dikataku
Biru masa lalu
Lalu aku semakin tahu

Cinta itu kian menusuk
Hidup terasa busuk
Namun tak ada waktu kembali
Untuk kuulangi lagi

Maka ku biarkan jiwa
Untuk berkelana
Mencari obatnya
Saat rasa semakin fana

Kuhadapi gelapnya mega
Di belantara antah berantah
Di sakitnya langkah tak terarah
Ku tetap saksikan setiap mata
Dan tak pernah berhenti berbicara
Maka ku tahu..
Siapa diriku..
Maka ku pahami..
Jalan hidup yang ku rengkuh.

AL, 29/8/2017

'Negeri'

Jika masih ku diberi hidup
Tak kan ku biarkanmu redup
Kala ku masih berdiri tegak
Tak kan ku biarkanmu retak

Saat kau menangis
Saat ku pahami hatimu teriris
Melihat apa yang terjadi
Tentang mereka yang coba runtuhkan
Tonggak percayamu wahai negeri

Mungkin ini yang harus dilewati
Jika memang ini suratan pertiwi
Mungkin harus kuat kau lawan
Hadapi kangkangan para setan

Lihatlah pucatnya wajah negeri
Saat kau sekedar banggakan diri
Lihatlah senyumnya yang makin binasa
Melihat kau saling mencela

Wahai negeri
Yang semakin telanjangi kami
Tentang dosa-dosa
Tentang dusta dan janji di telinga
Tentang mereka yang kaitkan kuasa
Untuk segelintir massa

Usap tangismu
Tegakan wajahmu
Kuatkan martabat
Kuyakin engkau kuat

Wahai negeri
Maafkan kami
Jika semakin kecewakanmu
Jika semakin teteskan air matamu
Wahai negeri
Janji kami
Setia angkat nama pertiwi
Sedia melindungi
Menjadi tameng hidup dan mati.

AL, 29/9/2017

'Bapak Menteri'

Bapak menteri ingat kami
Yang ingin belajar dan mengabdi
Yang sistemnya terus-terusan diganti
Buat bingung seluruh negeri
Bapak menteri ingat kami
Yang ingin lulus dan sukses nanti

Kami ingin bicara
Atas nama demokrasi
Belajar kami untuk negeri
Mudahkan jalan ini
Bapak menteri dengar kami
Jangan putuskan sendiri

Kami generasi andalan negeri
Yang selalu dibanggakan pertiwi
Meraih banyak prestasi
Namun kini..
Terkubur banyak lagi potensi
Dari pedalaman yang sukar dilewati

Bapak menteri beri cerah jalan kami
Sebab aturan yang bimbing kami
Jangan lagi beri alibi
Sebab kami benci yang tak pasti
Bapak menteri
Kami ingin berhasil nanti

Bapak menteri semoga sehat
Agar dengar dompet yang sekarat
Sebab ilmu itu berat
Berat bayar, berat bagi yang melarat
Bapak menteri yang kami cintai
Semoga Engkau selalu berhati-hati.

AL, 25/8/2017

'Seutuhnya Wacana'

Gelora massa
Hingar bingar sengsara
Saksikan fana
Hancur sudah akhirnya
Bisikan maya
Janji-janji belaka
Runtuh shahihnya
Binasa moral manusia

Mari bicara
Tentang hati yang berdusta
Seutuhnya wacana
Penuh tanda tanya

Kilah berkilah
Sang terpilih serakah
Balas tak sepadan
Dari keringat bercucuran

Bicara lantang
Kalimat bagai menantang
Senang tak senang
Senang segelintir orang

Namun sepatutnya budaya
Yang tak menentu akhirnya
Tanpa adanya fakta
Demi kursi kuasa

Bual membual
Mahkota pembawa sial
Otak berandal
Lalu amnesia bagai tak kenal

AL, 29/9/2017

'Gas Mas!'

Hey, gagah dengan wajah sumringah
Bapak berkumis awasi jalanan
Diantara roda-roda yang makin parah
Segelintirnya melakukan pelanggaran

Ya itu dia si plat merah
Terlihat terobos lampu merah
Hey, si bapak jaket hijau
Berteriak dengan suara parau

Berhenti si mobil mewah
Diberhentikan bapak yang marah
Dibukalah jendela
Disosorkan tangan
Berisi dua ratus ribuan

Buset si bapak tanpa basa-basi
Tadahkan tangan tanpa kompromi
Etdah si bapak lirik sana-sini
Ambil jalan pintas
Bapak berbisik "Gas mas!"

Tak lama kemudian
Muncul dua orang berboncengan
Dengan rumput buat pakan
Bapak berlari coba berhentikan
Ditanyalah mereka..
Surat-surat berkendara..
Tanpa banyak bicara
Salah satu dari mereka
Tadahkan tangan
Berisi lima puluh ribuan

Bapak mencela
Haha begitulah tawanya
Sebab sudah punya harga
Tak sudi murah jadinya

Di kandanglah roda dua
Sebab kosong tak berisi apa-apa
Hingga berbulan-bulan selanjutnya
Berkarat tak terlihat wujudnya..

AL, 29/9/2017

'Disisi Ratap Pribumi'

Anggun negeri kaya sumber daya
Ribuan sajak indah gambarkannya
Cerita kini dari tanah merdeka
Dengarlah dalam rasa..

Gemuruh riuh dari jauh
Mereka yang basah peluh
Kerja sungguh-sungguh
Sementara siang itu..
Dia yang hisap cerutu
Di jendela kumuh
Si Bos awasi buruh

Meski ku paksakan..
Tak lagi mampu ucap
Tak mampu lagi berusaha
Dalam lelap
Sembunyikan malu kita

Tak ada alibi
Untuk tak perduli
Pandang tanah pertiwi
Dari sisi ratap pribumi.

AL,19/9/2017

'12/10'

November kelabu
Dari pesisir tak tunjukan malu
Berlindung dibawah nisan-nisan
Sipil hingga wartawan

Tarik, mereka tarik
Selamatkan jiwa
Meski jantung sudah tercabik

Teriakan silih berganti
Kalut pagi ini
Di kuburan
Sebuah pembantaian

Tak ada alibi
Untuk dunia tak perduli
Akhir hegemoni
Kokang penuh nafsu birahi

Tembak, bergejolak banyak teriak
Bergelimpangan riak
Dari arteri-arteri rusak

Aku disini
Setelah tragedi
Buka luka abadi
Tentang kejam pertiwi
Atau kejam hirarki
Merah basahi pelupuk mata
Amarah mereka pun aku rasa.

AL, 20/9/2017

'Rekah Cendana'

Di fajar ini
Simponi tentang ironi
Rekah cendana
Di antara ladang tanpa laba
Di hadapan nama negara
Di atap para pangeran
Bertahan hantam halangan
Main ancaman ujung senapan

Gonjang-ganjing hak asasi
Telah mati di negeri demokrasi
Ikat sana sini
Cari-cari tak henti
Karung mayat dibantaran kali
Pilihan turuti atau dibawa mati
Rekah cendana
Anggap diri lakon bharatayudha

Formalnya kongkalikong
Upaya bohong jadi mantra
Harta seharga nyawa
Rekah Cendana
Masih bungkam enggan bicara
Meski cantik rupa
Yang dipuja-puja
Dosa penuhi saku celana

Sebuah kisah anak manusia
Ternafkahi tahta
Dibalik indahnya kelopak bunga
Koloni ternama
Hutang-hutang dana
Tangisan jelata
Dibungkam penguasa
Dibalik rekah Cendana.

AL, 30/9/2017

'Janji Bulan Agustus'

Berdiri tegak
Tiang-tiang singgasana sang saka
Di desa, kota, di mana saja
Kibarnya bagai merekah
Dibelai angin yang menggugah
Nyanyian tanpa lelah
Meski dirundung susah

Lalu sebuah tanya
Tiada lagi punya makna
Cerita nafsu birahi yang berkuasa
Singkap sebuah nyata
Setelah kita lihat dunia
Sang saka bagai merintih
Melihat pertiwi semakin tertatih

Sakitnya selalu terbayang
Pedih tak tertahankan
Bumi pertiwi kini
Dicongkel wibawanya
Oleh pandu-pandunya

Tanah ini yang ramah
Jadi gudang segala amarah
Tanah yang katanya indah
Jadi tempat sandaran setiap resah
Sila-sila yang kau hafal di dalam kepala
Yang diperkosa brengseknya penguasa

Dayanya diperah
Cengkeram garuda bagai lemah
Tanah alibi
Tanah segala ironi
Tanah janji
Tanah keadilan yang mati

Sang saka bukanlah kain murah
Tiangnya bukan tiang patah
Tercipta dari kerak-kerak darah
Mereka yang gugur berkalang tanah
Kini sekedar gurauan
Anjing berupa setan
Kini sekedar hafalan
Dan lantangnya suara nyanyian

Sembuhlah kau Ibu Pertiwi
Kembalilah satukan jiwa
Menuju peraduan tanpa air mata
Yang kian kusut ditelan masa

Yakinkan kami
Tentang masa penuh mimpi
Agar kami bisa bicara
Tunjukan pada dunia
Kami bukan sapi pembajak
Yang habis direnggut kuasa congkak.

AL, 30/9/2017

Jumat, 29 September 2017

'Terka'

Tergerus jalanan di banyak kesibukan
Mengangkangi jiwa-jiwa yang kelaparan
Tertutup tilam diantara redup kehidupan
Menatap pahit sebuah kenyataan
Kepala-kepala yang berbeda di riuh ibukota
Keluh kesah jelata dan panasnya hura-hura
Bawah jembatan samping tempat hiburan malam
Sila-sila tinggal nama yang tajam ditikam

Inikah nyatanya terjadi di sekitar kita
Diam tak bersuara dengan nikmat dunia
Tak perduli lagi siapa injak siapa
Urusan mereka bagai kita yang buta

Peras diperas tubuh-tubuh yang sekarat
Diantara sedan-sedan congkak yang mengkilat
Saat ini tak ada saatnya untuk peduli
Sebab wacana hanya muncul tak setiap hari

Gubug reyot dicekik gundah gulana
Kini tak tahu apa terjadi selanjutnya
Buka suara buka-buka aibnya
Si Bapak tua dikursi wakil negara

Setiap kali tampak sebuah bencana
Jadi ladang asik taruh nama
Demi diraupnya pundi-pundi dukungan
Wajib diperlukan banyak sokongan

Oh ini kah nyatanya
Oh kenapa ini akhirnya
Dunia berduka
Sebab dipenuhi omong kosong belaka

Munafik semata
Gila memang gila
Tak perlu kau elak
Sebab kami sudah mampu menebak.

AL, 29/8/2017

'Tangis Tawa Paceklik'

Ada waktunya berada
Teriakan bernama percuma
Bukan saat ini kau bahagia
Roda nasib tak akan sama

Walau dunia kini kau genggam
Detikmu tak jamin semua
Karena mungkin yang tak kau telisik
Datang berimu kabar paceklik

Gariskan masa
Si penitip harta
Hingga kau hanya meratap
Sebab tak waspada menghadap
Dunia tak akan lengah
Melihatmu terus sumringah

Bangunlah..
Ini bukan akhir
Ada waktu mengubah
Waktu akan benci kau menyerah
Sebab ini yang pasti akan terukir
Di buku saat dirimu dibawah nadir.

AL, 21/9/2017

Kamis, 28 September 2017

'26 September 2015'

Kau tantang mereka
Adilkan dunia
Meski ancaman di depan mata
Tetap tak kenal bahaya
Air mata kian bicara
Akhirnya menetes jua

Desamu yang tak rela dipenggal
Lawan kuasa
Dengan bertaruh pada nyawa
Karena tikus-tikus tua
Tak paham makna
Semua logika
Seakan mati disana
Keadilan baginya
Bangsat-bangsat yang renggut nyawa

Ratapilah wahai negeri!!
Karena ini tentang elegi
Mereka yang menanti
Terjerembab..
Dalam hukum yang tak tahu diri

Teringat ucap yang makin terdengar
Sekiranya nyawa mahal
Tak semahal tambang
Tambang anjing si tuan jagal

Salim Kancil..
Teguh berdiri dihadapan bedil
Salim Kancil..
Rela mati dihadapan tulinya wakil
Salim Kancil..
Keadilan yang teramat kecil
Salim Kancil..
Gugur di hantam gelapnya bathil
Salim Kancil..
Semoga turun sang ratu adil.

AL, 23/9/2017

'Lekas Sembuh, Ayah'

Senja itu..
Pulang dari kuras peluh
Wajah murung bagai mendung
Sisakan tanya sebab apa gerangan
Seperti tampak kelu
Lunglai tersirat senyum palsu

Gelisah seperti menyimpan amarah
Resah meratap semakin parah
Aku cemas ayah
Tatap matamu kini kian berubah

Nampak jelas wajahmu
Tergores ujian pemilik waktu
Nampak jelas luka mu
Namun ku tak tahu menahu

Kupaksa senyum di garis pipiku
Walau ku tahu sakit mu semakin beradu
Kini selalu ku pertanyakan
Tentang ijabah pemilik kehidupan
Yang berjanji atas kasih sayang
Namun tangis ini kurasa makin panjang

Semakin bertanya..
Bagai tak tahu lagi mengadu pada apa

Sekian waktu berjalan
Ku coba yakinkan
Ayah, ini hanya sekedar ujian
Dimana awal pahit akan muncul kebahagiaan

Tenanglah tenang Ayah
Kurasa ini hanya jalan cerita
Katakan padaku apa yang kau rasa
Hingga ku yakin temukan jawabnya..

Semoga lekas sembuh, Ayah..
Yang setia meminggul beban
Yang bawa secercah harapan
Ketika senja mulai datang..
Esok nanti..
Ku harap senyumanmu akan kembali..

AL, 17/9/2017

'Tunanetra'

Hidup tanpa pandang dunia
Tanpa cahaya sang surya
Takdir yang kadung tertera
Hidup seorang tunanetra

Tongkat penunjuk sekitar
Telinga bayang yang kau dengar
Semua engkau terima
Hidup sebagai seorang tunanetra

Namun alasan tak cukup kuat
Sebab kau tak anggap kiamat
Pikirmu juang bekerja
Meski hidup sebagai tunanetra

Kau pandang biasa
Hidup adalah nyata
Meski mata tak engkau rasa
Kerana hidup sebagai tunanetra..

AL, 23/9/2017

'Tunasusila'

Nikmat dunia yang kau cipta
Gundah, gelisah, tak kau hirau
Pilihan hidup penuh dosa
Meski setiap detik adalah risau

Dunia hitam
Dunia kelam
Disaat larutnya malam
Tunjukan diri bawa mereka tenggelam

Pedih memang hidup
Penuh kebohongan
Rasa sesaat dengan penyesalan
Demi hidup yang berkecukupan

Kerana alasan cari pendapatan
Tawaran kucing gemuk diiyakan
Pintasi jalan genggam asa
Rela engkau wujud tunasusila

Duniawi alasan sejati
Budak si tuan yang tak tau arti
Selamatkanlah diri
Selamatkanlah jutaan generasi
Agar belajar benahi rohani
Terhindar dari malapetaka elegi.

AL, 23/9/2017

'Tunawisma'

Tapak kaki basahi jalanan
Dengan darah bercampur nanah
Seret tubuh tiada berdaya
Dengan kantong di punggungnya

Wajah kumal tubuh dekil
Rambut gimbal tuntut adil
Mereka berteriak
Diantara riak-riak
Kotoran begitu nampak
Di depan ruko disamping gerobak

"Ah itu mungkin sudah biasa"
Dengan sombong si penguasa
Yang acuhkan insan tanpa atap
Terlelap lelah dalam gelap
Yang tanpa tujuan
Sebab tak dapat teduh dari derasnya hujan

Tunawisma..
Tunawisma kini kemana
Tak tahu lagi jalan cerita
Bagai ujung ratap di hadapan mata
Tunawisma..
Tunawisma tuntut kuasa
Yang lalu lalang dengan congkaknya
Bagai buta mata dan jiwa
Tunawisma...

AL, 23/9/2017

'21 Mei'

Sedih nampak mendekat
Terlampau suara itu tunjuk pekat
Bukan sekedar hasrat
Sedih dikala kemarin nikmat
Maka mengertilah..
Ambil hikmat yang akan kau dapat

Dari macam sisi
Esok atau lusa nanti
Tak ada satupun insan yang mengerti
Maka gundah atau gurau
Langkahmu dan suara parau
Petik setiap langkah
Ikat dan pahami makna
Agar sadar kian berkah

Jangan kau jauhi takdir
Karena pahit pastilah berakhir
Meskipun teramat getir

Kembalilah tatap dunia
Jangan terus kau kutuk masa
Waktu tak akan berdamai
Hingga kau berusaha
Anggap semua telah usai

Jika kau bahagia nanti
Ingat suatu hari
Susahnya hari kemarin
Buatmu sadar
Tentang janji yang telah kau dapati
Maka mengertilah..
Tak ada sesuatu yang tampak abadi.

AL, 23/9/2017

'Gulali Gula Jawa'

Sebuah penuntun
Tentang sakit dan mati beruntun
Mata para kerangka
Yang tak tahu apa-apa
Disambit petaka para pembawa celaka
Dengan tangan bersenjata

Manisnya gulali
Pabrik-pabrik gula
Di pulau jawa
Setelah dini hari kelabu
Dipenuhi abu-abu
Tercecer selongsong peluru
Ternyata siksa hidupmu

Coba hindar tikam..
Hindar hanya berujung mati
Coba lawan..
Sosoknya tak lagi punya arti
Kini kicau di pagi hari
Berbaur dengan anyirnya nadi
Tergeletak seperti hancur nurani
Tak paham mereka perihal apa yang terjadi

Pasrah berserah
Meski tahu dirundung amarah
Kini nyawanya murah
Dikalang pencari salah

Darah-darah semakin amis
Basahi tangan algojo kedok
Sadis meski kadang tak berupa bengis
Tapi tak segan siap menggorok

Kisah tak berani tersentuh
Tentang manisnya gulali
Dongeng para perusuh
Di ladang gula
Syair cerita lusuh
Darah, gulali gula jawa.

AL, 25/9/2017

'April 1982'

Kala musim demokrasi
Kala musim biasa
Penuhi telinga dengan janji-janji
Si Kuning beraksi

Beringas berantas
Tak lantas kuasa bak tanpa batas
Bumbu frasa bujukan bapak
Yang tak sudi hirarki retak

Ganas di lapangan beralas darah
Culas cerdik kadung resah
Namun akal yang terasah
Tidakah pantas disebut serakah?

Lemparan batu siapa tahu?
Jadi pemantik hingga tinggal abu
Beringin tua mengadu
Bagai tak tahu menahu

Merpati pulang kembali
Bawakan kabar tentang tragedi
Lapangan Banteng senja itu
Deru rusuh tanyakan pelaku

Apa yang mereka redam
Sekian waktu terasa tenggelam
Senyap suara negeri musyawarah
Yang ditikam hegemoni gelisah
Ingat demokrasi yang lampau
Yang diisi sekedar oleh singgasana penuh gurau.

AL, 17/9/2017

'Sudah Dibilang Ini Era Baru'

Sudah tahu masa paceklik
Ujung tanduk makin mencekik
Dulu kala masa munafik
Sengkuni picik mata mendelik

Tak mau tunggu mereka bicara
Ingin tenang di singgasana
Turunlah mobil barakuda
Dengan bengis singkirkan massa

Hak asasi hanya tinggal nama
Revolusi yang jadi nyawa
Akhir jabat kau anak manusia
Kini warisan jadi milik bangsa

AL, 27/9/2017

'Ucapku Tentang Cinta Malam Itu'

Hirau wajah nampak terlihat
Berulang kali ku coba lupakan
Namun senyummu congkak
Selalu menari dalam ingatan

Kamu disana..
Tampak indah tatap mata..

Mungkin kau sembunyi
Karena diam kau beri arti
Mungkin sekian kali
Ku acuh tak mau perduli
Namun cinta di hati
Kian lukai benci yang kadung dicintai

Tawamu jadikan malam itu berarti
Buatku lupa..
Buatku kaku bicara
Buatku buta..

Mungkin kerana usia muda
Gelora kasih..
Yang ku pinta

Tolong tinggikan pandangmu
Biar dunia tahu senyummu
Duniaku yang tak kenal kamu
Kamu yang setia diamkanku

Tindih harapku sandingkan cinta
Puing hati yang harapkan obat
Karena aku tak mengenal rasa
Karena aku musuh segala nikmat.

AL, 18/9/2017

'098-017'

Gila memang dunia kampret
Tak sungkan malu bebas main kepret
Mitra-mitra kongkalikong pelet
Musuh sebaya nafsu saling seret

Makan laba perut bagai karet
Jas rapih tingkah preman codet
Kaya bocah suka adu melet
Ngantuk lagi mikir kerja lelet

Guyon dagelan tak ada kerjaan
Hasut sana sini puasin setan
Kursi kosong rame rebutan
Habis rakyat kena bualan

Tarik massa biar dapat jatah
Jatah tuan hasil saling perah
Rakyat bingung siapa yang salah
Sebab kampret saling tuduh masalah

Buset aduh maling-maling formal
Gaya necis ternyata tukang jagal
Main kata tak perduli sudah kadung nakal
Sebab tahu aji mumpung bikin kebal

Todong sana-sini bicara negara
Sebab politik birahi semata
Linglung sudah tak anggap dosa
Bapak lupa janji manisnya

Rakyat makin keras ketawa
Lihat kelakuan para wakilnya
Rakyat bingung gimana ujungnya
Sikut kanan-kiri sudah budaya

Hahaha suara gembel
Lihat kuasa pamer embel-embel
Eh ternyata habis dibredel
Urat malu hilang dicongkel
Hahaha memang si gembel
Lebih mulia dari si bos kartel
Yang kerjanya cuma buat jengkel
Tapi tidur mewah di barak hotel.

AL, 26/9/2017

'Bungkam Senyap, Bisukan Gelap'

Disela canda tawa kita
Ketika senja mulai tiada
Sisakan sebuah cerita
Biarkanku bicara
Temani malam mu yang ceria
Cerita pembantaian orang desa

Mereka yang tertuduh
Mereka yang terbunuh
Mereka yang tak sembuh
Mereka yang bercermin pada sungai keruh

Cela ribuan kawan politik
Karena drama yang agak menggelitik
Sebab tak terlihat jejak
Siapa yang beranjak angkat telapak

Cerita si Bapak Tua
Yang enggan singkap tabirnya
Cerita lama tanpa tersangka
Tetapi berujung bencana

Di sungai Bacem waktu itu
Acap kali teringat di pikiranku
Saat si merah bak jadi benalu
Kenapa kau biarkan Tuhan?
Keadilan yang diperkosa kekuasaan
Hakim massa tak bisa kau urungkan?

Dosa ribuan nyawa mulai bicara
Bahwasanya dunia mengecam
Doa setiap massa tuntut bijaksana
Hingga waktu bawa mereka terancam

Dosa apa?
Kini tanya yang dilarang..
Tingkah apa?
Yang buat kau meradang?

Kini nyawa tiada bisa kembali
Sebab kadung dikurung benci
Kini sejarah mustahil diperbaiki
Sebab si Tua kadung beri alibi

Dimana Engkau saat mereka menangis?
Dimana Engkau saat leher mereka diiris?
Sudikah lihat yang tak berdosa binasa?
Sudikah si Tua bangka rebut kuasa?

Tentang keadilan
Dan yang tersingkirkan
Cerita yang ditanggapi Bajingan
Yang tak mau tahu tentang kemanusiaan

Setan dalam diri tiada mau mengaku
Karena acuh tentang ceritanya
Sebab bicara bagai tak ragu
Mengutuk hantu masa lalu

Biarkan kubur semakin gugur
Dan ucap orang yang mengaku subur
Sedangkan tanah yang mereka puja
Basah dengan dosa

Kawan dengar sebuah cerita
Tentang arit desa
Yang dulu tak tahu apa-apa
Namun jadi korban bejat sesama
Yang juga tak tahu apa-apa
Dihasut dendam buta

Terdiam kita ditutup kuasa
Bencinya terhadap insan tak nyata
Sebarkan berita
Sembah dusta
Siapa dalang apa?
Siapa jual apa?

Kawan dengar mereka
Dengar jerit bisu tak sentuh telinga
Dosa tak mungkin terbalas dosa
Propaganda berujung genosida
Kini hiduplah seperti biasa
Dan damailah dalam utopia

Sedangkan mereka yang jadi kerangka
Masih bertanya..
Tentang sebuah langkah derap..
Bungkam senyap, bisukan gelap..

(Teruntuk mereka yang telah menjadi kerangka)

AL, 14/9/2017

'065-017'

Aduh memang jaman sekarang
Otak benci gampang terangsang
Dengar-dengar anjing menggonggong
Omong kosong otak melompong

Soal ribut jangan ditanya
Bergiliran jadi jagoan
Sampai-sampai di ujung kata
Paling keras ngomong junjungan

Sikat-sikut dedengkot lumut
Adu domba makin ngerucut
Saling hina eh saling cela
Tak sadar diri satu negara

Aneh memang jaman sekarang
Politik bebas jadi boomerang
Asal koper aroma uang
Kedip mata siapa yang menang

Lugu-lugu jadi tunggangan
Paling banyak telan ruginya
Ngibul-ngibul sindir saingan
Bursa kuasa pada akhirnya

Buronan kasus si leher bulus
Tubuh belut perkara putus
Banyak alasan biar hukum lulus
Tak terurus si tikus rakus

Memang brengsek si tukang pantik
Bikin sengsara rakyat jelata
Perut bunyi suara jangkrik
Penguasa masih ribut saja

Ayo-ayo rakyat semua
Damai kita satu pertiwi
Biar beda asal bersama
Gemah ripah loh jinawi.

AL, 27/9/2017

'Dharma Cukong'

Cukong-cukong merongrong
Yang dekap dompet tebal
Wajah kebal dibungkus bohong
Sedangkan Si Dekil masih bersaku bolong

Patok-patok kian habiskan lahan
Jerit jelata yang dimakan setan
Setan yang impoten keadilan
Huru-hara siapa yang rasa
Jangan tanya mengapa
Berontak kami sekedar pesta

Tanyakan keadilan
Aneh dirasa semakin sengsara
Segelintir orang saja
Sila-sila dituntut kecewa

Kikir cukong memperkosa
Koran penuh berita
Televisi jadi belati retorika
Cecunguk kini semakin kaya
Tanah yang dulu jadi nafkah
Kini bagai puting lembu yang habis diperah.

AL, 16/9/2017

Minggu, 20 Agustus 2017

'Korupsi Kini Ereksi'

'Korupsi Kini Ereksi'

 

Hirup adiksi kertas-kertas eleksi
Hingga tabir dusta berakhir ereksi
Seakan telinga tak lagi bereaksi
Demokrasi kini tak mengenal seleksi
Politik binal bertubuh seksi
Pencari kuasa sekedar rasakan sensasi

 

Selasa, 08 Agustus 2017

'Bantaran Seberang Gedongan'

'Bantaran Seberang Gedongan'


Bantaran bernyanyi berdebat takdir
Bantaran menyebut wakil seperti pengusir
Berlantai aspal luka sudah terlampau anyir
Berjuang melunta mengutuk insan kikir
Bisikan bisu mereka yang berdiri diatas nadir
Berucap mencela mereka yang mengaku pemikir

Minggu, 06 Agustus 2017

'Tanah Fana'



'Tanah Fana'


Rintihan berjuta nisan tanpa dosa
Terbuang sia-sia sekedar jadi penyambung cerita
Erangan mereka yang tak mampu lagi bicara
Burung nazar kicaunya di ubun kepala
Derap langkah bagai tiada lagi makna
 

Jumat, 04 Agustus 2017

'Angan Anarki'

'Angan Anarki'


Maka terlelap untuk sekian kalinya
Di dalam kepalaku, bekas ketakutan
Untuk menjadi sebatang kara
Untuk segalanya coba menjauhkan
Drama opera didalam kebohongan
Ku tak ingin sejenak hanya bicara

Sabtu, 29 Juli 2017

'DICLVX'

Kita umpan dan sisipan tersamarkan
Dalam realita dua sisi koin kemunafikan
Kekuasaan dalam russian roulette
Kau bermain untuk imitasi corvette
Kita mangsa, satu mata menyaksikan
Segitiga tertindaskan, kaya miskin dibutakan


Dalam drama, paduan suara Abraham
Kutuk fiksi pada masa kuasa Saddam
Seperti hyena mencekik suara
Fatamorgana tangisan berujung bencana
Dua atap runtuh, di depan wanita
Ilusi setiap tombol, tua dan muda

Kamis, 20 Juli 2017

'777'

 '777'


Tak ingin ku terluka karena-Nya, tak ingin ku terus berlumur dosa
Engkau yang ciptakan semua, jika Engkau tunjukan caranya
Kau menjadi katalis ku, di pikiranku seperti coba menelan
Tunjukanku sesuatu, tak ingin ku tenggelam dalam banyak ujian

Aku akan menunggu-Mu untuk tunjukanku jawaban
Bahwa segalannya akan menenangkanku dalam iman

Jumat, 14 Juli 2017

'Asa'



'Asa'

Riuh sunyi sepi lembayung pagi perlahan menutupi
Bintang fajar semakin redup diiringi senandung mengaji
Jengger belum sempat tunjukan suara bangunkan semesta
Caping-caping mulai terbangun di kampung agraria
Yang kini lahan mereka kian sempit ditumbuhi pondasi
Bapak bilang "Semen mereka tak bisa dipanen jadi nasi"


Rabu, 05 Juli 2017

'Geronimo'

'Geronimo'


Apa yang kau dapat ketika kau coba melawan?
Apa yang kau inginkan ketika damai telah kau lupakan?
Biarkan kau tahu ketika kau hancur dalam kepingan
Dan mereka tenggelam dalam darah tangisan
Ketika kau berdiri diatas padang pasir penuh timah berserakan
Kau penuhi perintah, kemudian kau sadar untuk kembali pada kematian


Selasa, 04 Juli 2017

'Gospel'

'Gospel'

Mengangkat teori fana menerka eksistensi epilog dunia
Kau rela mati sedangkan kebohongan ada di depan mata
Kau biarkan Lucy merasukimu, membuatmu berpikir
Menjadi martir untuk setiap dosa yang telah kau ukir
Bawalah ku di taman-taman khayalmu sekarang
Seperti saat kau mengizinkan mereka lancang didalam perang
Hingga kau berpikir meletakan panji untuk berhenti memuji
Bahwa yang mati tidak akan kau lihat abadi


Kamis, 15 Juni 2017

'Fanon'

 'Fanon'

https://krasak17.blogspot.sg/2017/06/fanon.html

Sebelumnya wibawa bagai Mahatma dan Mandela
Hanya untuk romansa etika penggoda KKN berujung KKK
Mereka tundukan kasta dalam ronde-ronde Russian Roullete
Untuk kita saksikan mereka duduk dibalik kursi Corvette


Jumat, 09 Juni 2017

'Rumput-Rumput Anarki'

'Rumput-Rumput Anarki' 

 


Rumput-rumput dibawah telapak membekas jejak kesombongan
Mereka menggenggam kunci mencoba menciptakan nyanyian
Rumput yang tunduk tak mampu tegak dalam hujan
Sekian kuasa coba saling memberikan satu tegukan 

Selasa, 09 Mei 2017

'Monumental'

'Monumental'

Suara yang keras membangunkanmu seperti percikan di Afghanistan
Alarm keras Pearl Harbor dan setiap masa yang benar-benar menyakitkan
Bicara selayaknya suara gerobak dibawah kaki Ilyich Lenin
Dan memaki sesuatu lalu membukanya seperti Borish Yeltsin

Mengadapi realita mengatakan fakta bak Mumia
Walau kepala terasa panas oleh timah AK
Ku tak bertindak seperti seorang Lady Liberty
Memberikan sebuah kenangan seperti langit Ho Chi Minh City



Sabtu, 18 Maret 2017

'Hampa'

'Hampa' 

Untuk sebuah perjalanan ketika seluruh kota terlelap 
Nafas menunggu dibalik dinginnya senyap 
Suatu saat kuberharap seseorang menemukanku 
Atau setidaknya mendengar deru jantung dibalik pintu 


Senin, 13 Maret 2017

'Dongeng Terakhir'

'Dongeng Terakhir' 


Langit biru saat kita menemukan kedamaian 
Sampanye dihadapan mereka dan nyanyian serentak terdengar 
Bukan sebuah firasat bukan sebuah perasaan 
Jam berdenting mengiringi tengah malam yang terbakar 

Semua kenyataan menjadi abu dalam tegukan 
Tarian dan senyuman, tubuh dalam kematian 
Ibu, mereka tak bisa pulang malam ini 
Karena mereka telah pulang dalam sebuah peti 

Mereka tak ingin terbakar sia-sia 
Ibu, mereka memanggilmu dalam teriakan 
Walaupun terlambat, mereka terlelap dalam kesakitan 
Berikan dongengmu malam ini agar mereka bisa terlelap meninggalkan.



-AL

'Dan Ku Bukan Kertas Lama'



'Dan Ku Bukan Kertas Lama'

Pada hari itu dimana kurasa besok adalah hari ini
Sebuah tempat dimana ku kehilangan akalku
Mungkin suatu saat dimana ku datang dan pergi
Kuharap itu menjadikanku lebih menghargai waktu 

Sabtu, 11 Maret 2017

'U+262D'

 'U+262D'


Lama terdiam akan kertas yang membuatmu diam 
Sesuatu yang membuat 65' menjadi kelam 
Akan lima ribu nama yang mereka catat di telegram 
Panggil aku sebuah norma saat ku berada disini dengan HAM 

'Rupa'

 'Rupa'


Opini untuk sebuah cerita tanpa rangka 
Entah sinopsis apa yang aku cipta 
Adalah aku yang memikirkan 
Adalah aku yang melupakan 

Jika memang jemari tak ada gerak lagi 
Jika memang pikirku tak berfungsi lagi 
Lidah terkunci bukan ku mati 
Namun kucoba hilangkan beban untukku pergi 

'Kontraksi'

'Kontraksi'



Papan kayu terpaku di dinding, terlihat jelas
Ku melihat seraya berlalu, semakin membekas
Sesuatu untuk mengatakan padaku apa yang kulakukan
Dan ku terduduk tanpa adanya penyesalan 


Kamis, 26 Januari 2017

Sabtu, 21 Januari 2017

'Jelata'

'Jelata'


Gedung tinggi menutupi langit kumuh
Tertidur di bawah jembatan dengan kain lusuh
Luka dan sakit yang tak pernah sembuh
Karena wakil di istana tak pernah mendengar mereka yang mengeluh




'1'

'1'


Tak pernah sekalipun bertanya namun ku hanya ingin bicara
Pilihan yang tak pernah ada lalu ku coba menghilangkannya
Hina ku terpikir bagaimana jika itu terjadi
Tak usah ku berpikir mungkin karena itu hanyalah fiksi
close
Test Iklan