Rabu, 25 Maret 2020

'Jubileum'

...di ujung batang perkara..
Perkara terpatri dari benih-benih terka
...dari tabloid berita..
...dari gosip televisi dan telewicara
Zirah dan panji...
Fat Man... Little Boy...
Dijatuhkan dari peraduan tinggi...
Dihunus di leher tetawan perang
Perang biorama...
Abdi fosil berharga...
Tersutradara...

Washington di mana-mana...
Satu dua kata, perihalnya...
Nafsu utama, terencana..
Rumah pengungsi, malam ini hangus tak berupa...

Dinding sekat tampak mata...
Tampak diada-ada..
Klandestin rupa-rupa...
Washington di mana-mana
Dari Saigon hingga Lima...

Kuda pelana ditanam... meski di ujung dunia..
Liberty tertawa, tawa adidaya...
Sebar rahim Manchuria
Doktrin Truman dan tanah My Lai... dua kisah kadung kontra
Washington ada di mana-mana
Segitiga satu mata...

Juta peristiwa yang tumbuh senjakala...
Dosa-dosa di tanah do'a...
Ada ratusan lisan satu tujuan...
Maka veto barang berharga...

Istilah tak mampu gambarkan segala
Seringai Rushmore...
Rentetan rumor, plutonium dan tumor
Adhesi sebab obligasi, incar tanah teledor
Eleksi-eleksi mengekor, demokrasi kotor..
Lidah kudeta, aksi teror dan genosida horor

Akar segala problema... riuh suara-suara
Madison Square Garden, di sana kemudian terlupa...
Edaran perang beserta edaran traktat
Runtuhan rumah sakit dan anak cacat...
Irak dan Saddam...
Korea, Vietnam..
Abraham menanggung kelam.

AL, 30/3/2019

'Di mana Agamaku?'

Aku lihat Agamaku waktu itu..
Di mana-mana, di setiap kata..
Agamaku ada di kata-kata bijak
Yang disadur lalu cepat beranjak
Agamaku ada di lirik lagu
Yang indah nan merdu
Agamaku ada di ladang debat..
Di pamflet-pamflet
Di spanduk orasi
Ditunggangi..
Agamaku ada di tangan penipu
Meski banyak yang tak mau tahu

Agamaku ada di kertas-kertas koran
Kertas yang dibaca lalu ditinggalkan
Agamaku ada di kampanye pemilihan
Terlihat ramah namun selalu dipertanyakan
Agamaku di mimbar kekuasaan
Agamaku lalu dipermainkan..
Di atas kepala calon bandit perkotaan
Di telapak penebar mudharat kebencian
Dengan mudah dikibuli preman
Didustakan..

Agamaku ada di pelormu...
Agamaku ada di cucuk kerbau
Agamaku ada di caci makimu
Agamaku yang seakan mesiu

Lalu kemana lari filosofi agamaku?
Dimana suara senandung surau itu?
Dimana lantunan lafadz yang merdu?
Dimana mereka yang mengaku guru?

Bimbing aku..
Dan mereka yang sama denganku
Dari dunia yang semakin rancu
Kemunafikan bak benalu

Agar Agamaku tetap bisa kujaga
Dari pagar-pagar berduri huru-hara
Agar Agamaku tetap pada tempatnya
Tanpa dipedihkan gas air mata
Agar Agamaku tak jadi janji-janji penguasa
Diperkosa hirarki, dijadikan senjata
Agar Agamaku tetap murni
Agar ideologi bukan kiasan semata.

AL, 16/11/2017

'Restorasi Para Sukma'

Tentang dosa-dosa, dan upaya durja... pendusta yang berjanji... kemudian kini bangkit sempurna
Cukup klise adanya...

Terkubur dalam lumpur berbatu, lumpur penuh kotoran, suatu asma sekawanan sahib tunggal mata... bangkit dari kematian
Kebingungan, dan delusi menyeberangi praduga
Siapa tak mengenal siapa
...
Restorasi para sukma
Dalam padang pembuangan
Dalam ladang kerangka
Tanpa batu nisan

Suatu masa yang dijanjikan, hingga yang tertiup tertiup terakhir, bangkit tanpa kawan
Segala dipertanyakan...
Yang kerap menanti kini wujud pembuktian
Dan telunjuk akan menunjuk, mengancam dan tak ada suatu akal cukup mampu membuktikan
Restorasi para sukma
Bertelanjang segala
Di muka timbangan...
Pertanggungjawaban.

AL, 12/7/2019

'Srebrenica-Potočari'

Siulan hari semenjak tragedi, dentum laras membisik kenang
Saat ribuan kelakar diujar deras lidah komandan
Berpaling kisah delapan ribu kematian..
Tiap waktu nyaris terlupakan
Terlupakan...
Dosa diujung senapan

Sebuah cerita tentang manusia yang mulai ditawar
Cerita kepala yang mulai dicari tajamnya paruh nazar
Ahh, aku tak tega ungkit cerita..
Dedahan keringpun mungkin akan patah..
Tangisan air mata mungkin akan banjiri lembah
Kerana dengar perihal cerita maut semesta..

Kisah ini, tapal batas.. perihal ras
Yang tak kunjung tuntas..
Sebab cenanga membabi buta, dalih apa yang mampu membela?
Mereka yang sengaja melanglang..
Pula dalih pirang yang lama hilang..
Alibinya mengaku diserang..
Bersama ribu-ribu pengungsi malang..

Yang sembunyi, beruntung, berlari luntang lantung
Yang dicekik mati, diseret, dimaki, ditembaki, digantung..

Desir angin kala itu, berbau..
Sebab tersiram mesiu peluru
Yang ditanam di kepala, punggung, rahim Ibu
Gelimpangan, jelma nyawa tiada dosa
Terkapar: ribuan manusia, bayi, manula, cacat selamanya dan resah cipta luka

Ingatlah, ada yang mati di temaram senja..
Anak manusia..
Dibunuh pula anak manusia..
Tinggal kerangka, di sabana Srebrenica
Di rumputnya: darah, dan guguran tanah kubur, dari roh yang bertanya, "Sebab apa?"

Iblis itu, berwujud manusia, masihlah ada..
Nyawa tua, muda, wanita, balita, ditawar harga..
Meski tak lama: melayang jiwa-jiwa
Rentetan peluru dijadikan pelaku..
Serigala gunung tak sudi turun
Lalu sengaja termenung, hindari kurung

Jeritan insan tanpa nisan..
Yang hingar bingarnya tak dihiraukan..
Srebrenica..
Lumbung kematian..

Nyawa tak berdosa kini di bawah tanah
Terkubur bersama sumpah..
Sumpah bendera setengah tiang
Bendera mereka yang diserang

Mereka berteriak pada bintang..
Mereka berupaya pada nyanyian masa lalu para binatang
Maka dengar dan abadikan; perang tak melahirkan siapa yang menang..
Ia rahim bagi jutaan luka untuk dikenang

Srebrenica.. kala sembilan lima..
Tak terlupa..
Kerak darahnya..
Di tangan para terduga.

AL, 10/1/2017

'Gender Camp #1: RUU PKS'

RUU PKS adalah sebuah cerminan akan banyaknya permasalahan syahwat di negeri ini, masalah yang terkadang akut dan tak sanggup diredam lalu berhenti, masalah yang berlanjut sejak dijajah kompeni hingga zaman maunya sendiri, masalah tentang sejengkal dibawah perut yang terkadang buat dahi mengkerut, permasalahan kemelut yang tak kunjung selesai diusut

Maka kini kita disuguhi asa, tentang jawaban dari soal yang sulitnya tak terkira, tertuang dalam wacana perihal Undang-undang anti nafsu berandal, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Namun kawan, sejatinya pro-kontra itu wajar terjadi
Ini negeri demokrasi bukan negeri milik pribadi, harus ditanggapi dengan kepala dingin bukan kepala berapi-api

Sejatinya kekerasan seksual adalah hal yang tidak terpuji, bahkan seringkali pelaku tumbuh bak bersinergi, maka dari itu dengan adanya RUU PKS, adalah suatu harapan bahwasanya harga diri tak boleh kempes, maka penuntasan kasus haruslah beres

Untuk kita para akademisi....
Entah swasta atau negeri, pelecehan seksual tak memandang di mana Ia berdiri, Ialah parasit berupa rupawan nan berduri, maka dari itu sebagai pelopor angan negeri, maka penyimpangan harus kita lawan dan hadapi, bukan hanya menanggulangi tapi dicegah supaya tak mudah merasuki

Malam kawan, semoga di lain hari kita bisa lagi bertatap muka untuk berdiskusi, entah dengan ditemani senja hari atau hanya duduk dengan seruput kopi...karena disana kan lahir rahim-rahim solusi yang lahir dan enggan diaborsi.

AL, 15/3/2019

'Aku Adalah Tersangka'

Aku adalah tersangka...
Yang menyisihkan waktu
Membubuhkan kata

Aku adalah tersangka...
Yang menatar makna
Dalam frasa
Untuk menggoda

Aku adalah tersangka...
Yang banyak bicara
Sebab adinda
Enggan bersua.

AL, 2/7/2019

'Insan-Insan Pedalaman'

Mereka yang hidup berkerumun
Membagi mandat, menjaga sarangnya
Yang enggan perduli dengan carut marut mayapada, dengan riuh gempitanya

Yang dinaungi hutan, dipayungi pepohonan
Dimandikan air hujan, dikenyang hewan buruan
Dengan busur panah dan parang dari kayu-kayuan

Insan-insan pedalaman
Kini bersanding kemajuan
Hidup yang diusik deru senapan
Pula bertanding dengan mesin-mesin penggerus peradaban
Hingga ranting terakhir yang jatuh diganti
Dengan tembok beton meluas beruntutan
Insan-insan pedalaman dikalut kebingungan...
Dihantam predator perkotaan
Yang membawa hewan-hewan sebagai perhiasan... tanah yang dibakar menjadi ladang, dan langit yang biru kini menghitam
Insan-insan pedalaman dibuat bingung tak karuan

Kini runtas segala warisan
Kini buta segala arah perjalanan
Insan-insan pedalaman hilang diantara rerumputan
Menggali sendiri ribuan kuburan
Dikucilkan...
Dianggap fauna tanpa pikiran

Insan-insan pedalaman kini menagih dan mempertanyakan
Tentang peristiwa penghinaan
Sebelum alam memberontak
Sebab bagi mereka semesta ialah kawan

Insan-insan pedalaman, jatuh berguguran.

AL, 17/7/2019

'Residente'

Bermacam kontrol
Berjuta agenda
Bersebaran armada
Memperalat alutsista

Penghilangan para pengungkap
Pembunuhan berencana
Nepotis bersekutu
Kuantitas berimbang
...perihal pembagian kuasa

Lingkaran setan
Tanpa henti
Satu orang ditemukan hilang nyawa
Sebab banyak bicara
Nominalnya tak terhitung lagi

Bisnis tetap bisnis
Tuhanpun tak perlu digubris
Kebenaran adalah cerita mistis
Kebohongan kan selalu manis

Informasi akan terus disaring
Penduduk akan digiring
Pemikiran akan digunting
Disesuaikan tendensi drakula bertaring

Bila hadir momentum
Akan dihardik sebab itu tak umum
Dan vaksin anti-tesis akan disuntikan
Propaganda akan menjadi serum

Bermacam cara
Berjuta aparatur
Bersebaran pendustaan
Diperalat majikan
Maka mereka akan melawan...
Dari beragam penyuara
Berjuta tanah kubur
Bersebaran pemikiran
Diperalat kesadaran.

AL, 10/7/2019

'Kucing Kampung Dan Angora'

Cerita metafora
Dua mahluk spesies sama, beda rupa
Pula roman, pula harga
Kucing kampung dan Angora
...
Kucing kampung dan Angora
Jelas beda nasib bukan sekedar beda nama
Kucing kampung terkadang hidup dalam pekat jalanan, kucing Angora hidup dalam istana
Kucing kampung makan ikan sisa, kucing Angora makan dari Mall bintang lima
Kucing kampung berkilo-kilo tapaknya memaki jalanan, kucing Angora gemuk tak karuan sebab lupa cara kelaparan

Bila bicara harga diri, mungkin kucing kampung tinggal kerangka
Sementara harga selangit sudah takdir si Angora

Kucing kampung kadang meradang...
Ditendang... dilempari tulang sudah nasib kucing kampungan
Kadang disiram comberan, dipukuli hingga pingsan berjam-jam
Meratap hidup sebab anaknya terkadang mati hasil hubungan sembarangan
Dituduh maling, kadang ditangkapi... disuntik kebiri
Kucing betina mandul... yang jantan impotensi
Sungguh ironi nampak kucing kampung menatap saudaranya sendiri...
Si Angora gemuk lahap makan termenung acuh tak perduli
Nongkrong depan Televisi, di pangkuan majikan sudah nikmat sehari-hari
Kucing kampung dan Angora
Beda jenis beda kasta...
Beda nasib beda harga

Sebuah hikayat metafora
Tentang hidup yang tak berjalan semenjana
Kala nikmat yang tiada tara berpaling muka, kepada suatu rupa sengsara...
Kucing kampung dan Angora
...
...
Menghidupi ambang kasta.

AL, 17/7/2019

'Janji Bulan Agustus'

Berdiri tegak
Tiang-tiang singgasana sang saka
Di desa, kota, di mana saja
Kibarnya bagai merekah
Dibelai angin menggugah
Nyanyian tanpa lelah
Meski dirundung susah

Lalu sebuah tanya
Tiada lagi punya makna
Cerita nafsu birahi yang berkuasa
Singkap sebuah nyata
Setelah kita lihat dunia
Sang saka bagai merintih
Melihat pertiwi semakin tertatih

Sakitnya selalu terbayang
Pedih tak tertahankan
Bumi pertiwi kini
Dicongkel wibawanya
Oleh pandu-pandunya

Tanah ini yang ramah
Jadi gudang segala amarah
Tanah yang katanya indah
Jadi tempat sandaran setiap resah
Sila-sila yang kau hafal di dalam kepala
Yang diperkosa brengseknya penguasa

Dayanya diperah
Cengkeram garuda bagai lemah
Tanah alibi
Tanah segala ironi
Tanah janji
Tanah keadilan yang bersampul janji

Sang saka bukanlah kain murah
Tiangnya bukan tiang patah
Tercipta dari kerak-kerak darah
Mereka yang gugur berkalang tanah
Kini sekedar gurauan
Anjing berupa setan
Kini sekedar hafalan
Dan lantangnya suara nyanyian

Sembuhlah kau Ibu Pertiwi
Kembalilah satukan jiwa
Menuju peraduan tanpa air mata
Yang kian kusut ditelan masa

Yakinkan kami
Tentang masa penuh mimpi
Agar kami bisa bicara
Tunjukan pada dunia
Kami bukan sapi pembajak
Yang habis direnggut kuasa congkak
Kami adalah cita-cita
Yang semoga diharapkan oleh nyata.

AL, 30/9/2017

'Seruak Tanah Khatulistiwa'

Pancaran romannya... runtut nusa di bawah cakrawala
Ladang yang tumbuh apa saja
Menyeruak memanggil...
Zamrud khatulistiwa

Anugerah yang datangnya disyukuri
Tanah yang beruntung diwahyukan beribu rizki
Tiada umpama mampu memberi ibarat
Tiada istilah memberi isyarat
Akan tumpahnya nikmat
Di tanah yang diberi mandat

Dari timur hingga ujung barat
Dari selatan hingga utara, dari mana semenanjung hingga selat
Tiada terlewat...
Di antara pijak-pijak, tanah yang subur bermacam tempat

Seruak tanah khatulistiwa
Pula berbhinneka insan yang menaunginya...
Tanah mustajab, atap segala warisan
Yang pinta lestari, pinta dijaga
...
Supaya tak terkucil di rumahnya
Tak termakan tikus-tikus liar
Agar panjang berusia... berumur selamanya
Tak berkarat, tak sekarat
Tanah yang pinta simpul... pinta mufakat berkumpul
Tanah yang diberi mandat, tanpa prasyarat
Rawatlah rawat, jagalah jaga... meski daun terakhir gugur di dunia
Tinggalilah... kenalilah
Tiada sembarang mendabik pula kerana kekayaanya, sebab mulia tetap kepada kuasa-Nya
Maka lestarikanlah, maka naungilah
Dengan sentosa... mengaitkan hasta
...di seruak tanah khatulistiwa.

AL, 17/7/2019

'Biduan Desa'

Biduan desa, kembang jelita
Abang terenyuh mendengarmu bersuara
Menaruh rasa terhadap kata-kata
Beriring dengan nada

Biduan desa, bunga ayu nan muda
Abang harap kita dapat bersua
Supaya abang tak terus menerus dipasung imaji belaka

Kasihku, kasih yang ku pinta
Biduan yang cantik nan jadi sasar pujian mata
Maukah bersanding dengan abang?
Yang sekedar sudra dan hidup seadanya
Hidup dari mengais rizki dari kuli hingga pekerja yang kadang didustai gaji

Sudikah berdua seatap dengan abang?
Pemuda jelata dan hidup dari mengumpulkan pundi-pundi keringat
Pundi-pundi yang kadang tak diharga
Kadang pula mendadak di-PHK, digantung outsourcing hingga dipaksa lembur tanpa tambahan dana

Kuatkah sayang dipinang abang?
Yang sedari dulu sering ikut demo, sering diincar polisi huru-hara, mata yang kenyang gas air mata
Sebab melawan majikan, melawan kucing-kucing tua

Oh biduan desa, putih mulus dan anggun rupa
Abang mencintaimu tanpa pinta apa-apa, hanya sekedar setia menemani dari kini hingga usia beranjak senja.

AL, 15/7/2019

'Bingung'

Kamu ini kenapa?
Kadang mau, kadang menghina
Aku ini sudah kadung lama
Jangan khianati pula
Jangan buat aku putus asa
Apalagi putus jiwa
Jangan pernah!

AL, 16/7/2019

'Hok Gie'

Tiada hidup berjalan wajar
Ketika Ia berkelakar
Ia hidup di segala kematian
Ketika sunyi memena tulisan

Sulit bagi diri untuk tak perduli
Yang ia perlakukan terhadap kritik dan aksi
Ada kuda pacu berjalan sendiri
Dengan bunga layu di antara dua sisi

Yang memandanginya di tepi bantaran kali
Yang menatapnya di reyot gubug miskin
Yang menerornya dengan belati
Yang mengincarnya dengan senapan mesin

Seakan semesta memakinya
Kala ia terlibat mengangkat senjata
Senjata yang berada di tulisan berbahaya
Ia haramkan gentar
Ia tetap berujar
Bercengkerama dengan senja, bercengkerama dengan tepian serakah

Maka biar Ia tenang diselimut awan
Diselimut malam
Diselimut cerita
Tentang frasanya yang tak pernah tenggelam
Tentang kisah Sang Demonstran
Yang mengalir dari arteri perlawanan
...
Ini mungkin yang mesti diperbuat, sebab hidup hanya berakhir satu tamat, meski satu jalan hanya di secarik catat, tentang melawan dengan pertaruhan harkat rakyat, lebih mulia ketimbang hidup dipertunduk; dilumat bajingan, ditelan bangsat.

AL, 15/7/2019

'Zirah'

Zirah usang, di medan perang
Yang menempel di kerangka dan tengkorak
Dengan perisai kayu dan tombak
Jasad-jasad layu di medan gersang

Zirah dari yang hilang, di palagan tanpa pemenang
Yang tergeletak bersimbah darah dan bersimpuh pada arena jadah
Kini nyawa terakhir t'lah tiada
...memandang kolega yang habis ditikam semiotika, dan telunjuk perwira di dalam geladak baja

Zirah yang dihadiahi kenang, penghormatan bintang, takdir yang dicipta sengaja dibuang
Kini nyawa terakhir menunggu harinya tiba
...menantikan hari mereka, di meja perjamuan selamat datang

Zirah yang dibuat dari besi-besi karatan
Jelang hari tanpa surya
Esok kan kembali menatap kenyataan...
Dari jari jemari sang raja yang haus akan hiburan
...di medan gladiator dan pengkultusan
Kultus akan siapa yang kemudian angkat kaki
Atau angkati saudaranya...
...di peti mati.

AL, 28/7/2019

'Setiap Jengah'

Terkadang aku mengaku kalah
Dengan tatapan itu
Setiap jengah...
Kutatap lagi dua mata belo, tak lekas jemu

Di waktu malam minggu...
Pun aku tak keluar sarang
Cukup mengobrol semu
Dengan suara bayang

Ah...

Terkadang takut tentang cerita yang kan datang...
Terlebih dahulu pesimistis
Terlebih lagi aku hanya kalangan anak bawang
Bukan elitis...
Bukan petik jempol nasib langsung berubah drastis

Oh betina...

Kalau tak sudi tak mengapa...
Modalku bukan modal bintang lima
Atau pangkat sersan dua
Modalku cuma kalimat-kalimat filantropis..
Yang memang bak sandiwara
Tapi bukan yang kau kira...
Tak sekedar berhenti di ujung wacana.

AL, 25/3/2019

'8'

Dan...
Sama pula suatu dongeng
Cerita tak ada berbeda
Dari negeri kerangkeng

Dan...
Nampak pula telaah mati
Yang gugur tak pernah terganti...
Semenjak terakhir kali...

Kau...
Meski t'lah berganti mahkota...
Meski tak lagi anggap sama
Garis derita beda cara

Maka
Kau
Suara-suara dijagal

Diam
Kau
Jegal, dan asasi dipenggal

Ibarat nafas dalam ombak, nelangsa entitas sendiri, idealis abadi
Nampak ejakulasi, geliat angkara rusak adanya
Derma amarah manusia akhir-akhir ini
Orang-orang rela antre nikmati gemulainya
Neraka adakalanya mendekat, umpatan negeri
Ego rupawan entaskan keyakinan, sejalan iman
Sebab orang-orang ajar lisan
Ikatan manusia antarkan nestapa
Ajari gerombolan agungkan manusia... Ajudan.

AL, 26/5/2019

'Halaman Belakang'

Semenjak nafsu...
Semenjak kau beranjak berlalu...
Nada dari nyanyian Ibunda
Kini renta dan dianggap fabel belaka...
Mari ku tunjukan... lewati jalan setapak
Mari ku perlihatkan... jalan-jalan kering retak

Flora menuntut dari embun-embun pagi...
Dari surya menembus tanpa terhenti...
Longsoran tanpa prediksi...
Bah tanpa Musa
Tanah tanpa hawa
Humus limbah, ranting-ranting jelma Sahara

Mengapa kelakar?
Ibunda jatuh sakit tak tersadar
Maka anak-anaknya...
Berhamburan, menebar kasar...
Seruan, dan ajar
...ajar cara melacurkan tragedi, dan perkosa tanah sendiri

Halaman belakang tak lagi hijau...
Ditenggelamkan meja-meja gurau...
Yang sumbangsihkan hasil...
Jerebu keparat dan ladang bangsat
Maka Ibunda kehilangan cerca asa...
Sebab durhaka adalah utama
Dibanderol harga...
Dan detak Ibunda perlahan hampa.

AL, 5/4/2019

••••
Laju deforestasi di Bumi antara 2014 dan 2016 mencapai 20 persen lebih cepat ketimbang dekade silam. Artinya dunia kehilangan tutupan hutan hampir seluas pulau Jawa setiap tahunnya.
Temuan ini didapat antara lain melalui analisa citra satelit.

Meski upaya menghentikan deforestasi telah berlangsung selama beberapa dekade, sejak tahun 2000 hampir 10 persen hutan alami mengalami fragmentasi, degradasi atau ditebang.

Laju kerusakan hutan pada 17 tahun pertama abad ini mencapai 200 kilometer persegi setiap hari. (Kompas)

'Memorandum'

Markah seakan gambarkan segala..
Yang tampak di mata, tanpa sengaja bermunculan terka
Bramacorah, hingga mata-mata yang mengaku bicara apa yang ada...
Bicarakan tentang suatu insan..
Yang mereka anggap t'lah lama tiada
Dikubur perkara..
Ditenggelamkan biorama fana

Seringai dan wicara seakan ketahui cerita isi semesta
Menghardik insan tanpa ketahui asal mula
Maka pamflet-pamflet tersirat dari ratusan tatap mata
Bicara padaku tentang hari-hari..
Tentang jejaka dan kematian kata-kata
Tentang hari ini terbunuh oleh pengadilan pena

"Aku masih disini!" maka dengar kala mulutku jelaskan segala...
Yang kau tahu mungkin sekedar wajah tanpa nama
Telaahmu tak cukup buatku sengsara
Aku disini, beserta kertas-kertas yang dibungkus jalan cerita

Menghardik, aku tak anggap itu budaya..
Biar tunjuk rupa sendiri, bukan ku tunjuk paksa
Sekedar bahagia semu.... bak serigala mendapat mangsa..
Biar cerita perlahan merangkaki bab-bab dengan senyap tanpa suara...
Dan buku-buku di rak tua pada akhirnya...
Menatap mata-mata pongah, memorandum kan tercipta... yang ku tuai bukan sekedar retorika.

AL, 23/3/2019

'Gamang'

Diamlah... mereka akan mendengarmu, dari sudut-sudut Istana dan sindikat sejuta mata
Seperti yang kau lihat, bajingan di sana sini... berulang kali menukar waktu, diombang-ambing mati
Diledakan meriam... diincar bungkam, dibekam diam, bersuara dalam makam

Diamlah... kecoa mata-mata disekeliling, menatap tak berpaling, sensitif bau lembing..
Seperti yang nampak ada, ceceran darah disebabkan tanya... Hati bergelimang ego, dimenangkan nama
Riil adanya, fundamen falsafah... di atas segitiga, rantai makanan bernaungnya

Diamlah... lakukan semestinya... jika yang nampak mata ditakdirkan binasa
Merangkak... masuki gorong-gorong, bau kolong-kolong, tuju para pembohong

Tetap menantang... Enggan diri gamang, meski tidur beralas pedang... yang ada hanya menang.

AL, 30/3/2019

'Kanan-Kiri'

Hardik perantara tunjuk jari, namun tiada bukti...
Probabilitas mengumbar jati diri...
Nifak massal segala lini...
Kawanan cerca balas memaki...

Seakan arena sabana
Ribu gegabah pekak telinga...
Lara terasa... sebelum empedu ditelan bersama

Dendang khianat...
Tendensi jerat
Janji kerabat...
Tersirat jabat

Maka martir-martir tolol pasti terlupa...
Oleh gembalanya...
Kemudian terhenti dalam surat wacana
Ejakulasi dini janji-janji
Ludahi berulang kali... bramacorah lahir saban hari
Memang jalan takdir
Wajah serupa kanan kiri
Tak habis pikir...
Sebab pikir cuma sekali.

AL, 4/4/2019

'Katalis'

Renangi jauh kompetisi...
Kala kau acuh satu yang pasti
Kembalilah nanti...
Kerana semua
Tak abadi...

Lihatlah insan ramai mendagi...
Menaruh nara di ladang mati...
Maka usaikan dan lekas kembali
Fatwa alam tak bisa kau dustai..

Renta akhir catatan falsafah...
Tujuan hidup sekedar resah..
Kembalilah...
Sudahi lelah...

Kendati diri coba hindari
Yang kan datang takkan terhenti
Pulanglah kini
Lekas akhiri

Juta problema... tanpa solusi
Kian hari semakin menjadi
Katalis menjawab pasti
Satu insan berserah diri...
...lagi
....mati.

AL, 29/3/2019

••••
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap 40 detik, seseorang di dunia mengakhiri hidupnya. Angka ini setara dengan 800.000 juwa setiap tahun yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri. (VOA)

'Pancasona'

Ku panggil lirih...  kau yang berbaring
Yang bersamaku, jiwa-jiwa nir nyawa
Angkara, dan sifat prasangka
Waktu bersurai kelam...
Nyawa tenggelam... yang sumbangkan dendam...

Maafkan aku...
Kesekian kali, hidupku rasa tak lagi arti...
Jika yang ada, dendam kesumat...
Tak diungkapkan, hanya dijerat...

Di malam ini... kau lihat sepi
Ku panggil lirih... roh orang mati
Sampaikan salamku... pada Ia, yang buatku murka, berikan tanda...

Pancasona... dan mantra-mantra...
Tolong katakan... perihal dosa...
Dan kini kuungkapkan cerita lama..

Ku tak perduli, entah itu pedang atau belati..
Kesankan aku...
Akhiri Ia...
Ku panggil namamu, dalam durja

Yang ingin ku tahu...
Segera usai, dan darah berderai
Sampaikan padanya..
Kisah lama
Hari ini, tak lagi ada

Pancasona... dan mantra-mantra...
Tolong hantarkan detak terakhir...
Bawalah Ia dalam getir...
Dendamku kini harus berakhir.

AL, 30/3/2019

'No. 169'

Adakalanya wibawa perlambang petaka
Hipnotis mata andalkan rupa, mencari peran, mencabik mangsa
Satu-satu turuti apa yang begundal kata
Niscaya ratusan burung gagak mengepak ancam mautnya..

Ini derita dari tangan-tangan perkakas para pesuruh
Dari situ tercipta bau-bau kencing para musuh
Jika aku hitung berapa peluh ku dapat dari pakaian compang-camping nan lusuh
Maka bisa ku cipta samudera sebagai alas kayuh

Ohhh begundal-begundal dari telaga dosa penuh asam
Kenapa hantar lagi nama-nama yang mencoba berdiri dari suram
Mengapa engkau siram lagi harga diri bagaikan mereka sekedar nyawa yang sudah tak punya arti?
Ohhh melepuh sudah kulit pendosa kerana air panas yang membasahi muka
Tak lagi punya rupa, malu sekedar judul belaka..

Inilah kesekian kalinya..
Totalitas para penggagas
Merobek moral bak penindas..
Dosa mengalir deras..
Nafas dialiri minuman keras.

AL, 11/12/2018

'Sumpah Jabatan'

Aku bersumpah..
Atas jabatan..
Atas segala gaji dan kenaikan
Atas segala absensi rapat untuk liburan
Atas segala kepentingan pribadi dan golongan
Atas segala dalih merongrong uang negara
Atas segala kebutuhan yang tak penting namun masuk anggaran

Aku bersumpah..
Atas nama atasan..
Yang berbagi keuntungan
Atas dasar kesetiaan
Dan mencari penghidupan meski sudah kaya raya, mobil mewahpun berjejeran

Aku bersumpah..
Menjunjung tinggi martabat
Martabat komplotan bukan martabat rakyat
Atas segala hiruk pikuk rapat
Atas segala bagi hasil yang kami dapat

Aku bersumpah..
Menjalankan segala kewajiban
Jika di sana hadir kamera dan wartawan

Aku bersumpah..
Menjalankan misi mensejahterakan
Antar kawan dan anggota keluarga supaya mapan

Aku bersumpah..
Untuk setia hadir dalam masyarakat, hadir berparade
Itupun jika waktu tiba untuk berkampanye

Aku bersumpah...
Menjalankan apa yang rakyat titipkan..
Rakyat ingin makan..
Kami wakilkan..
Rakyat ingin liburan...
Kami wakilkan...
Rakyat ingin gaji menggiurkan
Kami wakilkan...
Rakyat berseteru...
Kami selalu ikutan
Sebab lumbung pertikaian
Bagi kami sangatlah menggiurkan..

Kami bersumpah..
Untuk tak dilengserkan
Jika berani...
Entahlah, sebab kami tak perduli.

AL, 8/1/2019

'Semalam Suntuk'

Semalam itu, keluh dan peluh seorang penata diksi
Kemanakah pergi?
Semalam suntuk mencari-cari
Kalimah yang hilang, yang Ia nanti
Semalam suntuk saban hari
Mengernyitkan kening seraya berkelakar semaunya sendiri
...
"Tiada pas, tiada harus seperti ini"
Kecewa beraduk emosi
Semalam suntuk tak sanggup lagi
Penata diksi kian dibawa ambisi
Pena berubah belati
Jatuh tersungkur... beserta tulisan terakhir tentang siul depresi, yang ditulis di secarik kertas, dengan pena bertinta darah nadi.

AL, 18/7/2019

'Ya Sudahlah'

Sindikat melekat di atas mimpi berkarat
Bandar judi duduk di kursi hasil mencuri
Hasil mencuri, satu komplotan dapat komisi

Dapat komisi; oknum licik, oknum tengik, tiang listrik

Ahhh...
Tetapi aku tak mau tahu..
Sebab aku takut dibelenggu..
Ya sudah kalau begitu..
Bandar judi adalah panutanku..
Bau tubuhnya adalah residivis tak tahu malu
Ya sudah kalau begitu..
Aku ikuti saja.. barangkali sekebal itu..

Biarlah..
Aku dikangkangi tikus..
Setidaknya tikusku pintar..
Tikus culas, ahli peralat cicak
Tikus buntung, tetapi Ia pandai mengelak.

AL, 31/3/2018

'Sajak Tak Dipotong Pajak'

Ini bukan sajak
Tak kandung kalimah bijak
Tak buat terbelalak
Sekadar ujar mendadak

Ini bukan sajak
Pikirku lagi sudah penuh kerak
Akalku sudah lama terkoyak
frasaku sudah sedari dulu tak sanggup berlagak

Ini bukan sajak
Sekedar kata beruntut rima dari pendam diri yang sesak
Kini keluar begitu saja bak tersedak
Ku tulis dalam kertas maya
Supaya tak kena potongan pajak

Ini bukan sajak
Ini muntahan rindu yang lama ku tenggak
Tak lagi lazim hanya kerana itu, lelaki berteriak
Dari sini maka kuat percaya ku pantak

Ini bukan sajak
Tak bermaksud goda dikau supaya lunak
Tak bermaksud jelma sandiwara penuh duri landak
Tak bermaksud jelma pujangga asal gertak

Ini cuma barangkali

Barangkali takdir mengajakku beranjak
Temui dikau bersama Emak dan Bapak
Tak lupa ku beli dahulu satu nampan martabak
Ku tahu Bapakmu galak

Maka tolong....
Maka tolong percayaku jangan adinda rusak
Ku titipkan adinda dalam sangkar petak
Sebab sebentar..
Sebab sebentar dikau ku tinggal berak

Ini bukan sajak..

AL, 28/12/2018

'Dewa Penguasa Raya'

Ini sajak aku cipta..
Dari panggilan para dewa
Yang memancingku bicara..
Sebab banyak cerita..
Harusnya cerminan batara kala
Kuat tiada tara..
Ya, kuat dan perkasa..
Tak sanggup kusentuh..
Atau tanganku melepuh..

Hai Tuan..
Tidurlah, meski tidur terduduk
Memang tak baik banyak mengantuk..
Hai Tuan..
Amuklah, ramai-ramai mengamuk
Tak baik amarah banyak ditumpuk
Hai Tuan..
Mintalah, apa yang diminta..
Tak adil rasanya birahimu dibagi rata
Hai Tuan..
Ambilah, bawa apa yang ada..
Tak elok rasanya kesempatan dibuang percuma

Haha.. tawaku adalah lagu untuk itu
Haha.. kebalmu segalanya kini..
Haha.. dewa-dewaku yang banyak merindu
Rindu nyanyikan lagu-lagu merdu
Rindu syahwat saru..
Rindu pulang pergi sambil lalu..
Rindu komisi, rindu setara plat nomor satu
Rindu Tuan dermawan, tuan bagi-bagi jatah modal malam minggu

Haha..
Tapi Dewa ku juga cantik dan tampan
Dewa.. yang rupawan.. mendayung sampan
Tuju peraduan, tatap impian
Impian di hati kalian
Ya.. meski impian tak kunjung sampai, setelah itu keras dijatuhkan
Hai Tuan..
Kami kalungkan..

Aku tak sanggup daya upaya
Mengalah sebagai hamba
Di ujung kaki singgasana
Sekedar pengantar pesta..

Hai Tuan.. jutaan kepala segera penuhi penjara..
Dari jari.. dan kalimatmu saja..
Hai Tuan.. jutaan mata akan mengutuk senja
Dari pelosok.. hingga gedung kota
Hai Tuan.. jangan acuh atau engkau menjelma bulan-bulanan..
Hai Tuan.. pantatmu seharga miliaran
Dari kantung kita..
Rawat dan jaga..
Kalau lepas..
Pantatmu kami sita.

AL, 15/2/2018

'Aspartam'

Layar kaca.. dominasi manusia, terpampang tarian-tarian nirwana di lubang jahanam
Haram jadah terus menerus bicara entah kapan berkalang diam
Layar kaca... aspartam dunia, palsu dianggap ramai.. kini ditelan mentah bak adiksi
Maka lihat jelaga kepalsuan-kepalsuan dibangun atas pondasi-pondasi materi
Aku bicara, dalam mulut yang dicipta tak sempurna, sementara sisa-sisa mulut menganga gagap.. tak peduli jendela pagi ini mendadak gelap
Di sana ludah-ludah tikus membungkus tubuh para pengurus...
Maka perihal itu dijadikan alasan.. tentang pembantaian moral, pemotongan falsafah yang tinggal kerangka pajangan

Rebahkan kaki di atas sofa.. melihat ribuan penaklukan atas jiwa-jiwa yang tak berhak dihanguskan
Dianggap drama murah, dijadikan cerita gurauan biasa..
Sementara korosif membantai pikiran, karsiogenik menggerogoti iman.

15/7/2019

'Sepiring Berdua'

Kau tunjuk rona, mewarnai langitku...
Yang kita tatap sama, di bulan lalu...

Jatuh berumbai... di atas teratai
Dingin merdu tak lekas usai
Hasta berbalas sentuh...
Kisah tak lagi keruh...

Sepiring berdua...
Dua rupa, dua bola mata...
Nada balalaika riuh suasana
Buai mesra lisan berkata
Tak lagi kecewa, menunggu terlalu lama...

Kini aku temanmu...
Teman hingga nanti...
Sepiring berdua...
Sampai pada waktu mengajak pergi...

AL, 30/3/2019

'Serambi Kamar Mayat'

Terlampau mendidih, hari ini akan panasnya nafsu pembalasan dendam
Para nomad beranjangsana di ufuk sengsara, yang sengaja ditaruh untuk melumat nyawa-nyawa
Serambi kamar mayat ditengarai diduduki penjerat
Dengan prasyarat bahwa kematian disebut sebagai akibat
Sementara tuksedo Bangsat sama sekali tak tersentuh jasad
Hanya ada bekas lipstik lonte... uang sogokan rakyat, dan sumbangsih penjilat

Serambi kamar mayat yang berisi peluru serta mesiu dari sumbangan orang tak mampu
Dan anggaran dari upeti pengrusakan
Dan armada alutsista yang dipakai membunuh tergugat
Untuk merebut lahan dan hak para serikat
Untuk menjadi anjing penjaga gerbang-gerbang bejat

Tolol dalam kontrol, dicekoki cek kosong dalam surat botol
Tolol dalam kontrol, sampai mati bersekongkol

Serambi kamar mayat, teras-teras hikayat
Perihal persekutuan bangsat
Racun-racun yang dibuat
Diminum kala pesta perayaan
Dari penghasilan hasil pembantaian
Yang saban waktu meningkat pesat.

AL, 11/7/2019

'49'

Dan masih berjalan
Benah kehidupan
Aku disini
Di pangkuanmu..
Maafku, sebab belum mampu
Memikul sendiri semua benalu

Terimakasihku...
Yang senantiasa kusandingkan
Di atas surat tanpa tulisan
Di atas kertas nota tagihan...
Yang kubawa dari tanah rantauan

Terimakasihku..
Atas apa yang nyata engkau berikan...
Seringkali mungkin ku banyak bertingkah...
Selayak bajingan...
Namun yang terngiang kau balaskan
Seruan kebajikan...
Kala kini kau nikmati...
Yang keempat puluh sembilan.

AL, 21/4/2019

'Toleran'

Kepalsuan itu senantiasa membatu, dan durja keras menggerutu
Bukankah jiwa tak toleran?
Menerima masukan yang tak sesuai kodrat
Namun itu terjadi, dan menjadi kebiasaan
Kalakian, kejelasan semakin buram, tawa hanya akan muncul ketika terjadi penghilangan nyawa
...dan kebahagiaan hanya milik pembunuh berantai
....
Epilog yang terjadi, kemudian apa boleh dibuat?
Yang tersirat semakin tersurat
Bukankah jiwa tak toleran?
Dirasuk oleh kompetisi sabung
Dengan kaki dirantai pasung
Kalakian, kerancuan adalah satu-satunya jalan, senyuman hanya milik pemenang di pengadilan
...dan keadilan akan muncul sebagai tendensi supaya sesuai keberuntungan
...
Maka bolehkah berkata bahwa Russian roullete adalah kita?
Sulit menyanggah bahwa kita hidup memang saling mengorbankan
Lantas apa beda kala kau berkata bahwa maksiat itu sebuah dosa...
...sedangkan kau sendiri meraup untung di arena perjudian.

AL, 3/9/2019

'Mangkat'

Ketika kali terakhir ku dengar nafas terambil...
Pada jengah langit malam
Engkau lama terbaring sendiri
Jelas langit tak sudi...

Lalu mereka merenggutmu...
Kini sampaikanlah... bahwa kau pergi membawa banyak pesan
Kini kau bersamanya...
Engkau pulang!

Kelabunya rona hari...
Roman itu menghitam, dan mendung menghujam
Pada mangkat pertengahan malam...
Nafas yang terakhir dihela, dihembus tenang...
Pada salvo perpisahan
Ialah perelaan...
Kini kau ditemaninya...
Engkau pulang!

Maka katakan padaNya tangismu
Maka katakan padaNya keluhmu
Waktumu t'lah datang
Kini kau dihantarkannya, tatap yang kau percaya
Tegakan kepalamu, tegakan kala kau disuguh tanya
Engkau pulang!

Maka katakan padaNya semua bisumu
Ketahuilah... dahulu aku amat sering mendengarmu
Dari tetes air mata tanpa alasan
Maka sakitmu tempo lalu adalah pertanyaan
Dan lelapmu kini adalah jawaban
Lelap yang datang tanpa tanda
Tanpa ronta dan tanpa nampak jerit derita
....
Perihal hari-hari mengenai pertanggungjawaban
Serta pengadilan langit
Tetaplah pada keniscayaan
Namun mereka akan lebih dulu mengenal namamu
Dari segala ayat yang lirih kau lafadzkan
Dari lantai yang retak kau hantam
Dari pilar-pilar yang kau dekap erat
Dan jalan juang yang tak kau singkat
...
Dalam tenang
Mereka akan segera datang
Katakan dengan yakinmu di hadapanNya;
Katakan padaNya;
"Ini rumahku. Aku kembali, dalam abadi, aku datang... aku pulang!"

AL, 3/10/2019

'Hulu'

Rancu huluku tabu...
Dendang tak lagi syahdu
Trauma masa lampauku
Mendabik diri selalu

Rancu huluku tabu...
Fana merah dan seksi biru
Bayang masa lamaku
Mengarahkanku tanpa ragu

Rancu huluku tabu...
Tamparan itu nyata bagiku
Belati dan pisau-pisah dapur
Menghias kenanganku

Rancu huluku tabu...
Apa yang Ia perbuat
Membekas pekat
Menjerat erat
Rancu huluku tabu...
Aku lahir kembali
Beserta masa-masa tragedi
Rancu huluku tabu...
Ia meraba suci, dan memuntahkan caci
Ia memberiku hina, dan mendekap semalaman...
...hilang tanpa suara.

AL, 5/10/2019

'Euthanasia'

Terkadang kita menapak dua arah
Dilema tak ramah
Terkadang kita menopang masalah
Digoda menyerah...
Luka tak sembuh sekedar oleh petuah
Diramahpun tak ubah

Aku semakin tunduk dan dicekoki... oleh hipnosis beserta ilusi
Delusi dan dehidrasi
Aku haus pencarian arti

Aku ketakutan setiap datang pagi
Aku menyaksikan sekelibat bayang tentang janji
;janji yang mesti ditepati
Aku takut dengan ranjang tidur yang ditata teratur
Dan jarum yang dijadwal menghujum...
Aku takut akan parasit dan lara simultan saban terbesit

Dari kalam dari setiap erangan lalu
Terakhir kali... aku sudahi
Dan benahi, melambai pergi
Biarkan tertidur pulas tak kembali
Aku akan terlelap dan terlepas
Bersama setiap bias
Bersama waktu, bersama satu, bersama lantas, tanpa batas
Biarkan aku mendekap entitas, menyapa pemilik sukma, merangkak dan tuntas.

AL, 28/9/2019

'Entitas'

Teras yang ada, sebagai tempat perjamuan...
Teras yang ada, dijadikan arena pertarungan...
Lantas yang tersisa... menjadi darah dan menjadi fondasi
Kematian, kapan waktu kita kembali... hanya saat orang yang kita cinta mati di antara reruntuhan

Para tetuah mulai mengikat talinya... mengarah pada setiap sudut mata
Agar yang satu tak menjadi beda
Para jenderal tersenyum dan prajurit ditinggal hingga tumbuh bunga kerangka
Entitas tetap entitas...
Terlintas mengapa khayangan belum pantas kau pandang dengan jelas
Katakan padaNya... berikan waktuNya
Supaya parit-parit yang terisi oleh nanah
Mengering dan menjadi mata air lembah
Katakan padaNya... berikan waktuNya
Anak balita yang terlahir kini tak mempunyai nyawa
Dan yang berdiri pertama beritikad durja

Para tetuah mulai mengikat puppetnya... mengarah pada laba semata
Agar serenade tak bergumul beda
Dan cita yang mereka punya dilunas segera
Sayang sungguh sayang
Taruhan pula para puppetnya
Yang mati kelaparan...
Yang mati tergusur...
Yang mati saling tembak...
Yang mati tak dikenal nama.

AL, 13/10/2019

'Sementara Aku Sendiri Tak Melihat Senja'

Hari ini kau bilang cerah...
Hari ini kau bilang langit biru...
Aku tak lihat apa-apa;
Hanya sekumpulan debu abu-abu

Hari ini kau bilang indah
Hari ini kau bilang saat tepat melihat pandang jauh di ufuk sana
Sementara aku sendiri tak melihat jingga senja
Sebab jarak pandang tak sampai di pelupuk mata

Hari ini kau bilang udara segar
Hari ini kau bernafas sampai paru-parumu puas...
Sementara yang aku hirup udara tak pantas
Dikerumun butir-butir pekat
Dan dikerumun hawa panas

Hari ini kau bilang saat tepat habiskan waktu bersama keluarga
Bersama pacar dan kolega
Sementara hari ini adalah jadwalku... mendapat giliran di ruang tunggu
Sebab ISPA dan sesak nafas sudah jadi akar benalu

Sementara aku sendiri tak melihat senja...
Sementara udara tak hadir seperti biasa...
Hari ini langit memerah tak sekedar jingga
Hari ini langitku panas hawa amarah.

AL, 13/10/2019

'Nil'

Dan mulai orang-orang bersenggama dengan kata
Menyebut dan menerka, sedangkan diri t'lah lama buta
Kemauannya satu... menjadi yang pertama
Orang-orang merombak diri, menjadi bom waktu
Ada tunawisma tak bernyawa... mereka menatap tak perduli apa
Orang-orang mulai merakit senjata dengan ludah dan lidah, kemauannya satu... menjadi yang pertama

Tiada mau orang berpikir bahwa "Aku adalah mereka"
Atau "Mereka adalah aku..."
Orang hanya berpikir; Aku adalah aku
Jumawa dalam utama
Kemauannya satu... menjadi yang pertama

Sehingga bila ada yang mati saat ini
Disebabkan oleh ayunan belati
Inilah kebiasaan... berlanjut simultan
Orang-orang menatar diri, bersiap untuk babak baru
Mereka akan mengincar apa saja, menjadi telanjang dan mengalih drama; bahwa mereka adalah barang puja
Orang-orang takkan berpikir bahwa; "Aku adalah mereka..."
atau "Mereka adalah aku"
Orang-orang takkan berpikir rasa menjadi berbeda, rasa menjadi mereka atau dia...
Kemauannya satu... menjadi yang pertama
Maka matilah siapa saja hari ini...
Orang-orang takkan peduli kecuali kepada kenikmatan saat mereka beradu birahi.

AL, 13/10/2019

'Intermisi'

Aroganku...
Melambai...
Sejumput peka
Tak kuasa
Sudah muncul sebagai tanda bahaya
Aroganku...
Dengan obsesif
Dan posesif
Aroganku...
Kepada hidup
Kepada mati
Kepada pencipta
Aroganku...
Adalah cita-cita.

AL, 13/10/2019

'Kala Cinta'

Dari ujung kisah cinta.. aku tak percaya, disana lahir sebuah cerita
Rasaku hanya lisan, ungkapku hanya kata
Ku katakan bagaimana terlalu banyak ku korbankan masa
Ku katakan perihal "Terlalu gila aku menunggu semenjak lama"
Apa sudi engkau kiranya?
Maka kuharap engkau menerima.. sebab aku menunggu dalam angkara

Empat mata aku bicara, kala bibir tipismu tajam hujam telinga..
Buatku merasa tiada lagi harapan
Harapan hanya prolog tiada makna
Yang selama ini mentah-mentah aku percaya

Aku tersungkur.. tersungkur hancur
Tak tahu lagi berbuat apa.. sekedar hampa dan seribu rasa kecewa
Asa kini dalam terkubur
Perihal satu juta duka, tak lagi bisa terkira

Mari sayang.. aku suguhkan.. kini kita memulai sebuah dosa, tercipta dari taklid buta
Setan bersamaku.. Ia pula mencinta
Namun dengan caranya...

Aku selalu bertanya.. mengapa tidak engkau coba menerima?
Aku tak percaya engkau berupaya membunuh rasa
Maka kini yang ku tahu hanyalah murka
Hanyalah dalih menebus segala

Kini ku genggam di antara jari
Ku hunuskan ujung belati
Apa yang cepat membuatmu tamat
Kini menancap, menembus tepat
Di jantungmu..
Di arteri..
Di garis nadi..

Engkau tersungkur..
Tak lagi bisa berbuat apa-apa
Nampak kulihat tubuhmu terbujur, penantianmu hancur
Perihal apa yang sebelumnya engkau ucap, Sayang.. kini tak lagi mampu dirimu berkata

Aku tak merasa melankoli
Aku hanya menunggumu mati
Akhir nyawa, akhir jiwa, akhir alasan kala semua bermula
Biar dirimu terbang tanpa raga, dan kini semua nampak sempurna
Biar tiada lagi rasa kecewa, seakan semua tak akan berakhir segera
Ini awal yang aku cipta.. resapi dalam lara
Tiada lagi sesal karenamu, aku hanya mengharap engkau selalu ada
Kini setan bersamaku... Ia membentak akal, Ia pula mencerca.. menghina dan mencinta

Jangan coba engkau bertanya.. semua insan akan menerima takdirnya
Aku menari menapak bekas.. di telapak kaki tanpa alas
Darah membasahi lantai, sementara engkau terlelap
Selamanya, memanggil membuai dalam senyap
Engkau kini cantik..
Sangatlah cantik..
Kudengar setan berbisik "Selesaikan, apa yang kini telah disuguhkan, hantar apa yang selama ini kau harapkan"
Tak kusangka apa yang nampak aku lihat,
tatapan kosongmu Sayang..
Bisu tanpa kata, memang benar aku tak cukup hanya melihatnya
Aku bersyair.. menghangatkan suasana
Aku tak merasa durja, karena semua memiliki waktunya
Kini setan bersamaku.. kita sama mencinta

Biar yang dingin membiru kini hangat memerah
Aku sungguh terpaku bersama ratu tanpa nyawa
Menarilah bersamaku... Tutupkan matamu..
Sayang menarilah.. Menari di akhir hayatmu

Aku tak akan membuatmu berteriak.. hingga tertutup erat atas bawah bibirmu
Aku mencintaimu.. dan akan seperti itu
Tak akan ku biarkan ada nisan, atau upacara kematian
Tinggalah selamanya..
Dan menua hanya cerita belaka.. kita abadi dalam cinta
Sayang.. berilah diriku percaya
Karena aku terlanjur tercatat dalam pintu neraka
Biar setan bersamaku.. Hingga ujung hayat berikanku nama
Yang ku tahu kita sama mencinta.. ku lihat pucat pasi kini bercahaya
Mencinta satu insan.. aku hanya tenggelam, kini aku menerima
Aku mencintaimu seperti ini adanya.. kala engkau menutup mata dengan luka menganga
Tiada bicara.. tiada detak disana, tiada kata yang ucap akar perkara

Kasihku tetaplah disini.. Bersama setiap irama yang takkan berhenti
Biarkan nanti lukamu mengering bersama kerangka..
Dan dosa yang aku cipta
Meradang denganmu.. bersama
Aku tak akan biarkan ada nisan.. atau upacara kematian
Biar setan bersamaku..
Yang aku tahu, kita sama mencinta
Dan perihal dosa..
Tinggalah saja sebuah dosa..
Lelaplah engkau di surga
Karena aku terlanjur tercatat pada pintu neraka.

AL, 2/10/2018

'Ibu'

Tiada nama mampu menasbihkan, atau mahkota-mahkota
Atau sekadar tahta-tahta, barang harta, menggambarkan diri mampu berbudi dan melunas hutang atas darah dari akar air susunya

Aku dengarkan ramai riuh lulabi, pada pertengahan malam
Dan timang-timang, pada cahya sengat surya siang
Aku diajak bercengkerama dalam luhur kalimah-kalimah
Dan diajak bersua pada ajaran-ajaran makna
Ia memberiku bekal menatap padang binal
Mengarah pada persimpangan
Ia menatapku supaya mengingat pada tunduk dan lamunan pada waktu
Berujar bahwa luka sebagai pengajaran
Dan euforia adalah pengujian

Maka aku simpan kalamnya sebagai penuntun
Dan pesannya kuingat beruntun
Agar tapak yang ia tinggal
Tak percuma tertinggal

Dan semoga, senyum terakhir di masa nanti yang ku lihat; senyum darinya
Adalah senyum yang tunjuk tersirat, senyuman bangga, bahwa Ia tenang pada tuntas tugas; menjaga satu nara.

AL, 13/10/2019

'9102927

Satu-satunya yang kering hanyalah tanahmu
Bukan air mata...
...
Satu-satunya yang berkobar bukanlah optimisme
Tapi rimbamu...
...
Satu-satunya yang kering hanyalah tanahmu
Bukan luka...
...
Satu-satunya yang terkabar bukanlah sebaik-baiknya kabar
Tapi tersebar kabar bahwa rantingmu belum padam terbakar
...
Maka kemudian berdo'alah bahwa satu-satunya nalar yang hadir bukan hanya mimpi, tetapi tindak benar.

AL, 27/9/2019

'...dan Kala Hari Ini Pergi'

Aku merasa hampa.. tergerus petaka diujung terka, dipaksa berkutat dahaga
Berdiri di pesisir pikir, kupikir sakit yang nampak getir, ialah yang terukir terakhir
Namun aku salah...
Dan kala hari ini pergi..
Yang kuputuskan, sekadar napak tilas tiada makna, hanya lahir terbungkus elegi

Maka tinggal nama yang tergeletak tanpa suara.. dengan juta mata tajam menghujum dirinya
Hunusan  belati dalam menikam tebing hati.. membara dalam kantung-kantung mayat ideologi
Jerih payahnya pun dibayar caci maki, kebingungan merekah menari-nari

Aku kira sudah saatnya...
Seribu insan mesti tahu.. raga tunjukan segera
Tetapi tak semudah apa yang nyata
Yang nampak dalam netra..
Dan kala hari ini pergi...
Mereka berkutat pada senyuman sendiri, dan segala gempita pribadi...

Sementara ku bawa pantat dan isi kepala..
Di samping tembok dekat pembuangan sampah..
Pembuangan aksara-aksara..
Dan seribu ekspektasi tanpa bukti..
Ku hardik dan telaah pada kertas-kertas dan nyanyian-nyanyian tanpa nada..
Diri berlaku namun tak diampu..
Maka ku tanya sekali lagi, sekali namun berakhir secepat cahaya...
Inilah pada akhirnya..
Pikir ragu semakin dibelenggu..
Disabilitas retorika...
Dan kala hari ini pergi..
Bisu dan anggapan tak mampu..
Tak mampu tumbuh subur beribu-ribu.

AL, 10/3/2019

'Waham'

Meringkuk menengadah memandang tiada
Membungkuk bersila memaki hampa
Merajuk kepada dinding mengumpat apa saja
Halusinasi waham bercokol abadi
Dalam diri satu nara juta intepretasi
...miliar sangka

Waham tak sepaham, delusi tak mampu dipendam
Dengung dan nyanyian semakin dalam, tertanam dan fiktifnya beragam
Menari-nari tergerak jari jemari
Musabab apa tak ketahui... bisik itu kalut mendatangi
Merupa fana merupa kulit fatamorgana yang memaksa supaya diraba
Waham tak pandang logika, halusinasi menggagahi raya kepala
Melacuri tata, membuahi indera, melahirkan abstrak dan teriakan usaha lepas dari sengsara

Atma-atma istimewa...
Mandat-mandat tiada mampu dihindar
Perihal lara yang muncul tak mengenal siapa
Mengakar benihnya, membungkam jiwa.

AL, 22/7/2019

'Payungmu Masih Hitam, Ibu'

Di gang-gang bau yang anyir tak karuan
Seorang ibu menatap lurus kearah jalan menuju istana
Merongrong gempita perihal lupa yang dijunjung bersama
"Anakku lekas pulang" memanggil dalam sayup-sayup lemah sambil menenteng bingkai foto anaknya..
Dihinggapi nyamuk-nyamuk penghisap, juga dihisap bayang-bayang pembungkaman... dihisap drakula-drakula anti masa lalu
Ku lihat dari jauh, payungmu itu.. payungmu masih hitam Ibu..

Hari ini diam.. terdiam namun bersuara..
Dari parit-parit yang dicap nista, dari mata yang terkadang tak sudi ditatap istana
Berdiri berkawan surya, merongrong jiwa supaya sadar, tak lekas tiba-tiba amnesia
Sementara payung-payung di selasar tahta masih hitam adanya..
Menunggu roh keadilan memanggil pulang..
Menunggu palu meja hijau kerangkeng para jalang
Disisi tempat pembuangan, di gang samping kuburan. kuburan tanpa nisan
Kutatap raut wajanya satu persatu..
Kulihat ratapanmu dibayang payung hitam, Ibu...

AL, 9/3/2019

'Gerbong Rindu'

Ada di kursi itu, di gerbong paling akhir, aku sengaja memilihnya... supaya aku ditemani sepi kemudian aku tatap tiada, supaya di sana aku melihatmu tertawa

Aku naik kereta... hendaki kursi sampingku kosong, kemudian aku berpura-pura menunggu... meski aku tahu, kau takkan hadir bersua temu

Aku nikmati perjalanan, dengan mengobrol tanpa balasan, membual sendirian... aku tatap jendela, kemudian aku tatap lagi kursi kosong, supaya aku lihat kamu tak hilang dalam khayalan.

AL,7/8/2019

'Eidetik'

Ini adalah konjungsi...
Pikirku kontraksi...
Aku berada di sini, di lingkar haluan
Melacuri pena dengan diraba hingga ejakulasi
Aku membuahi ovum putih dengan garis-garis persepsi, pandang eidetik pula fantasi

Lantas ialah memori, testosteronku kebingungan... manakah manifestasi manakah halusinasi
Hidupku terus terang, dilaju aral namun tiada menggeretak sesal
Tak berkutat kecewa meski terpukul depresi
Karena itu tak menyetor arti

Eidetik pandangku...
Saking hiperbolanya, hingga geladak praduga penuh dengan alkisah yang menurut mereka dipenuhi rekayasa
Aku masih memperkait konjungsi... dan spekulasi dari nyanyian bayang imaji
Halusinasi tingkat tinggi...
Dualitas pandang...
Hidupku nyata
Pandangmu saja mungkin fatamorgana
....
Rangkaku akan melewati banyak dilema
Bah sengsara
Bermuara berang....
Memagari sisi pagar berduri...
Terkait dengan tali puppet.... namun sayang, maaf... bahwa tidak untuk hari ini
Segala tak mampu dicerna, limbah tersumbat meski dicekok enema, bayangku wujud dadu judi semata
Eidetik pandangku....

AL, 1/8/2019

'Quan Duc'

Ada api di persimpangan
Membumbung merebak di telinga para tuli
Menyelip di mata tunanetra
Menyeruak keras menyelinap di sudut-sudut kedap suara

Ada suara di kematian
Lebih keras... lebih menakutkan
Martir kembali ke peraduan
Dan panasnya akan membekas dalam

Suaranya jutaan kali lebih keras
Tatapannya akan tajam memandangmu dari celah batu nisan
Hawa panas akan menyelimuti serta mengingatkan
....
Sebab tak berlaku suatu batasan...
Untum revolusi
Untuk perlawanan.

AL, 1/8/2019

'18.02 WIB'

Membabi buta benamkan diri
Dalam logika yang sudah kadung tak sadarkan diri
Di redup senja, ku sempat bertanya
Di mana Nyonya kini berada

Dipasrahkan keluh, dihipnotis rindu
Mendung malam bercampur dingin beku
Dedahan ranting, gesek berdenting
Di tanah kupandangi, ya... memang tak penting

Namun ceritaku, sebuah dilema
Di ujung dunia, di angkasa raya
Dalam hidup nyata, atau dalam bayang utopia
Tak bisa dilukiskan atau diujarkan
Tak sanggup diumbar atau dipaksa keluar
Biarkan pikirku berkelana..
Mencari apa yang ada...
Berkawan gelora, dalam pendar lampu kamar

Mungkin rumit ku ungkap kata..
Dan kini sebuah cerita cinta..

Juntai-juntai rintik gerimis
Turun manis bak kapas teriris
Sejenak hibur diri, meski dalam tragis
Nyonya, engkau dimana?
Ku cari di semak belukar, di beton terselimut akar
Nyonya, kembalilah tunjuk rupa
Biar kupandangi satu-satu mata
Agar ku tak menyesal akhirnya

Nyonya?
Ingatkah dikau meja kayu itu?
Tempat dimana ku hadap selalu dirimu
Ku mainkan jari yang tak panjang berkuku
Rangka tulang dan kulit yang cantik padu
Kulihat senyum pipi di wajahmu
Namun kini kau kelabu..
Kau penuh ragu..
Kembalilah Nyonya..
Surati diriku..

AL, 26/10/2017

'Schrödinger'

Kelambu dogma... asal suka bermain paksa
Maaf, aku tak di sana...

Aku di sini
Beserta toleransi yang mati

Sebab bajik kerana ada pidana...
Sebab bermanusia kerana nirwana
Maka selesai adanya...
Kepuasan diri yang ditanam sehabis sukma

Ini nyata...
Saling beradu tanpa fakta...
Menghardik beda
Memaki kolega

"Itu durjana, itu hina"
"Ini yang ada... sakral suci yang ku hantar kata"
Biar saja ku tenggelam dalam ritual...
Tanpa ketakutan pada bual
Tanpa diri merajai pikir hanya karena diupah nikmat abadi...
Aku lihat kawan... orang-orang di sini, berserakan tanpa denyut nadi...
Karena beralas debat tiada henti...
Aku dengar kawan... orang-orang di sana, berguguran tanpa nama...
Kerana diperkosa, oleh peluru sentimen 'katanya'

Maka selesaikan....
Aku bukan cendala kerana menanti pamrih
Aku bukan merana sebab takut perih
Aku berjalan sebab manusia memilih tujuan
Dan kematian hanya tinggal urusan...
Maka yang kau ujarkan, kawan...
..
..
..
Manusia, bukan kemanusiaan.

AL, 6/4/2019

'Kamikaze'

Delusi... pikir abrasi tak lagi ada cercah peduli...
Hipokrit dan ingkar janji ditelan mentah-mentah...
Sumpah serapah makanan hari-hari...

Ingat suatu masa... berdiri di sana
Penerka berjalan, ku ingat pandang mata
Pandangan prasangka...
Aku di sana... sekat amat nyata
Fatamorgana tak ku kira rekaan belaka

Sementara sudah habis cahya
Ditelan batara kala...
Satu cara hanya serah sukma
Terjang jeram-jeram comberan
...dan ceranggah-ceranggah hina

Meski yang ada penghinaan belaka...
Apa yang ada sekedar kata nir harga
Mata nir makna
Puji nir fakta
Petaka tak dinyana

Maka kau...
Cobalah pandangi orang-orang disebalik tawa...
Dan biorama pura-pura...
Kamikaze tanpa rupa...
Api habis daya
Raga yang hadir dicerca... mati tak dikenal nama
Maka biar menunggu bab akhir cerita...
Rentetan umpat dari kubur setelah sekian masa....

AL, 4/4/2019

'Matroyshka'

Fondasi fundamental insan tergugah mental
Telaah berbeda soal, mendaras kalimah entah berasal
Pancaragam akal, satu inang multilateral
Pancawarna tunggal jiwa, memilin roman utama; roman bual

Antena semesta bawah sadar
Lateral kaos menunggang memoar
Tikam alam sadar, menyampul tanpa membakar
Ego animo berubah ujar, alternasi tanpa kadar
Rupa paradigma dalam sanubari bergumam kasar

Elemen berpindar memagar netra entah manis entah hambar
Gagas mengkulit ari rona, hipersimbiosis menganeksasi binar
Olah sukma kembali bermula, dalam roman terkendali serupa.

AL, 19/7/2019

'Lubang-Lubang Alam'

Malapetaka, mahabencana bak terbiasa
Lubang-lubang alam semakin dalam
Dahan semakin kering
Api lahap membakar ranting
Batang pohon jatuh menggelinting
Alam sunyi hening
Diobral di meja runding

Karma, maharaya mulai bicara
Semesta membisikan lara
Biar mendekam dalam telinga dan jiwa-jiwa
Agar berbuat semestinya
Agar tak semena-mena
Agar tak terus menerus mendekap alam dengan gergaji, dengan tuas mesin, dengan asap industri, dengan siram kerosin
Agar tak terus menerus menagih alam dengan pipa besi, dengan pompa bensin, dengan cerobong api, dengan asap terpilin

Dengarlah para pencari makan, para pencari kenikmatan atau pundi-pundi keuntungan
Bilamana habis sudah segala yang ada, bilamana habis pula tanah-tanah yang patut diisi kehidupan
Bilamana sudah runtas gunung dan lautan, bilamana sudah habis dibabat akar-akar pepohonan
Bilamana sudah pekat udara di kota maupun di pedesaan, bilamana tempat berteduh telah dihujani dengan asam
Bilamana datang suatu masa tanah-tanah dipaksa keracunan, bilamana datang suatu masa manusia saling menyalahkan
...
...
Maka pemilik siapa bumi dan segala yang dihamparkan?
Maka siapa patut menaruh kekuatan?
Bila kekuatan hanya berujung kepada kehancuran?
Maka siapa yang memanen jutaan kematian?
...
Karena hidup adalah benih kesalahan
Karena hidup adalah ladang kebobrokan
Maka di sana terpampang pilihan...
Ambil atau tinggalkan
Garami luka atau sembuhkan.

AL, 15/7/2019

'Menjual Akhirat'

Di sana-sini ribuan kepala besi, yang kebal caci maki...
Mulutnya tempolong, menyengat macam terasi...
Saling menyerang, menyerbak sembari menjual diri...
Biar ada yang membeli, dijualnya paket orasi dan ilusi...
Yang disebar eceran di kandang politik, di kandang yang bertumpuk banjir tahi
Aku berjalan pelan namun pasti...
Di antara teriakan impotensi...
Nafsu tanpa akal pasca eleksi...

Di sana aku ingat...
Ku ingat suatu hari...
Aku bertemu pedagang...
Pedagang yang tak main-main...
Aku tanya Ia...
Apa yang ia jual...
Ia pula menjawab:

Aku pedagang mas, baru kemarin-kemarin...
Yang dijual pula bukan sembarangan...
Jangan macam-macam dengan ini barang dagangan...
Barang yang murah namun menggairahkan...
Daganganku barang menuju kayangan...
Paket murah perjalanan...
Perjalanan dijamin masuk lembah kenikmatan
Dan keniscayaan... jangan meragu tuan, dijamin ini sudah distempel sang Ridwan...
Tinggal ikuti kami, ikuti saja jangan banyak pemikiran... sebab terlalu banyak berpikir semakin sukar...
Kami tak suka berpikir, berpikir membuat kami tak mendapat apa yang kami inginkan...
Kami hanya ingin bidadari, dan bida-bida yang cantiknya tak karuan...
Dengan cara ini kami selamat...
Mengikuti penjilat...
Penjual akhirat.

AL, 28/6/2019

'Krematorium'

Langkah-langkah hadap mata-mata pongah...
Mata yang saban hari sekedar perduli saja enggan sudi..
Enggan perduli namun kala mencaci tak mudah lengah...
Krematorium dalam lidah-lidah maki, membakar hanguskan diri kala menghardik insan kurcaci

Makan malam kali ini.. dari jantung-jantung kerabat dan kalimah dengki
Makan malam kali ini... dari bangkai saudara sendiri

Krematorium dalam lidah-lidah... aksara-aksara memaksa Atid menuliskan puisi-puisi dosa
Krematorium menghanguskan nama... Ia tak perduli
Sebab bukan pula urusannya..

Sarapanmu kawan... dibarengi senda gurau perihal pembunuhan terencana...
Pada saudara, dan kamar-kamar hotel Gehena

Kita bajingan dengan alasan...
Bersenggama pada dosa-dosa, mengubur diri pada do'a-do'a
Kala diri berkata perihal suci... maka berteriak bak pertama
Kala diri ditawar dusta.. maka menolakpun enggan... sebab tembolok syahwat sudah di luar tempurung kepala

Langkah-langkah pagi ini...
Hingga nanti kala mentari tunjuk rupa dan gelap tunjukan jati diri...
Sama saja sebab nafsu tak mengenal situasi...
Bak krematorium lidah-lidahnya...
Membakar, menghanguskan asa manusia-manusia...
Makan malam kali ini..
Dan esok hari...
Makan daging saudara sendiri.

AL, 13/3/2019

'Nusa Dibelenggu Lara'

Sebab aku masih berdiri, saksi atas tragedi
Puncak bergemuruh tasbihkan luka abadi
Api-api membakar sarang, dalam pelik jiwa-jiwa mati
Di ujung hulu, amuknya lereng usik indera
Hilir bercengkerama dengan duka tumpahkan bencana
Juta air mata dialas tanah swarga
Saat Nusaku kini dibelenggu lara..

Semilir badai menghantam tembok reyot
Guntur memperkosa mega, menyambar seketika
Disela kantung mayat terjaja di depan mata
Anak merengek kehilangan induknya
Induk meratap ditinggal anaknya
Mereka yang tak tentu berdosa
Tenggelam dalam teriakan alam
Terpendam tangisan air mata

Hanyut jiwa-jiwa..
Timbunan manusia di semak tanpa suara
Dikubur histeria hingga akhir cerita
Kelam masa ditampung langit cakrawala
Di tanah beribu nyatanya celaka
Nusaku kini dibungkam lara

Teriakan dimana-mana
Takdir Tuhan sekian waktu makin terasa
Yang datang tanpa terduga
Hantam bahagia, garami luka
Manusia pun hanyalah nama
Jasad-jasad dijejer tanpa istimewa
Renungan insan akan kuasa-Nya

Mereka yang gugur dihantar tirta awan
Mereka yang lebih dulu bertasbih kematian
Semoga tenang engkau tuju peraduan
Semoga usai setiap teriak tangisan..

Maka tegaklah kini hadap empedu dunia
Meski gelegar hujamnya ujian maha kuasa
Rangkul dan genggam bersama
Saung alam jagalah..
Do'a kuatkanlah..
Badai dunia bukanlah selamanya
Di atas Nusa yang kini dibelenggu duka.

AL, 30/11/2017

'Candradimuka'

Ragam candradimuka...
Kini aku berdiri di hadapan kawahnya
Nampak terjaja, menyapa mimpi mengajakku merenda
Tunjuk rupa, tunjuk macam upaya
Dalam ragam candradimuka...

Memanggil jiwa, mendekat pada takdir masa
Kita bak digdaya.. berdiri setelah tahun-tahun bersama
Dalam juang-juang itu dihantar pena
Ragam candradimuka..

Kini di depan mata, aku melihat nyata.. melihat anganku di sana.. merekalah jalan
Candradimukaku... Ialah yang kan ku tuju... harapku satu.. kelak beranak pinak beribu-ribu
Hasratku pada lembar-lembar mimpi itu, bergelayut dalam sasana kalbu
Candradimukaku.. menggebu-menggebu

Sekian lama ku tunggu, ku nanti dari peluh-peluh yang terjatuh dalam jalur waktu
Candradimukaku... Aku yang kan tunjukan alurku.. dalam impian tiada palsu
Asa ranum itu... di selasar mimpi kini tak lagi nampak ragu
Ragam candradimuka.. biarku letakan harapku satu..

Kini tiba waktu..
Saatku hadap medan impian..
Kini waktuku tuk berjibaku
Menatap jalan, menempa diri kujalankan

Candradimukaku... tak berhenti memanggil
Memanggil lubuk jiwa-jiwa akil
Yang kelak kan meraup hasil
Atas pemikiran dan hati... yang tak hanya sudi sekedar berdiam diri..
Diri ini kan ikut andil..

Yang aku tahu...
Kelak ini bukan sekedar tentangku..
Bukan sekedar ego yang disiul merdu..
Candradimukaku..
Tentang lakuku.. tentang tanah moyangku.. tentang do'a dari tadah Ayah Ibu

Ya Tuhanku... Allah yang Esa..
Jika asa ini engkau takdirkan kan dibawa pada ladang candradimuka..
Maka letakan diri pada nilai-nilai sahaja
Yang kan bicara...
Tentang diri kan' mengais apa? Diri kan tunjuk apa?
Tentang akal dan budi manusia, tentang hari nanti dalam candradimuka..

Ya Tuhanku... Allah yang Esa..
Disini ku korbankan masa
Tuk menggapai semburat candradimuka...
Atas segala upaya...

Dalam perjalanan diri di masa yang kan hadir nanti..
Masa-masa letak sejuta arti
Cerita bukan utopia..
Nyata bukan fatamorgana..
Tentang langkah juang lewati mega-mega
Kuingatkan kawan.. langkah kita tiada beda..
Tiada tersekat kasta..
Kita sama sahaja..
Pada akhirnya..
Benih kan tumbuh di sana..
Di ragamnya cita..
Di kawah candradimuka.

AL, 7/1/2019

'Dari Tenda Tunawisma'

Langkah-langkah kaki pagi hari..
Orang-orang sibuk menata diri..
Ku lihat dari sebalik tenda usang
Yang dipenuhi lubang..

Orang-orang berebut untuk yang pertama..
Dari mencari kerja hingga berebut tahta
Ku lihat mereka dari sebalik tenda
Tenda-tenda tunawisma...

Orang-orang saling bicara.. saling ungkap janji mereka
Ku dengar berbeda, orang-orang bersembunyi dalam tabiatnya..
Ku lihat dari sebalik jendela tenda bekas
Yang dipenuhi bekas siram air keras

Ku tatap setiap mata.. seringkali dilempar cerca, beruntung ku rasa jikalau dilempar makanan sisa
Terkadang ku pungut makanan di tempat pembuangan
Mereka melihatku dari atap-atap bintang lima..
Sembari disuguhi arak dan wanita-wanita..

Aku tertawa.. entah mengapa
Seringkali ku merasa diberi mandat istimewa dari sang pencipta..
Untuk menjadi saksi..
Atas tingkah umatnya
Itupun tanpa upah

Aku kembali lagi bersemayam dalam tenda
Melihat lagi esok yang sama
Dengan jejak-jejak manusia
Manusia-manusia penuh pesona
Manusia-manusia bahagia
Manusia-manusia sebaya
Manusia pendusta

Aku tak merasa iri..
Sebab tak berguna lagi..
Aku hanya menunggu hari
Menunggu kapan pagi tatapku lagi
Menunggu manusia yang terusik melihatku menjadi saksi
Saksi dosa kala mereka bertransaksi
Mungkin besok aku dipukuli lagi
Beruntung tak sampai mati.

AL,9/1/2019

'Kantata Cita'

Hey, salamku pada akar-akar yang kini sedang menatap pucuk rona candradimuka..
Hey, sampaikan ini dalam diri kalian, para pemuncak mimpi, para pendaki asa, dan pencari jejak-jejak cita

Aku dengar kalian sedang menatap lembah, yang di dalamnya bukan hanya aliran sungai atau dataran rendah dipenuhi pagu harapan indah
Aku dengar kalian pemimpi, yang kadang berambisi, namun terkadang waktu diri merasa ragu? Benarkah itu kawanku?

Tolong salamkan salamku.. kepada mimpi-mimpimu itu, tentang segala wujud percaya yang kini engkau tanamkan dalam pena di antara jemarimu..
Tolong salamkan salamku.. kepada jiwa yang haus akan tempaan, haus akan ajaran, haus akan hasil dari riuhnya kawah perjuangan

Dengarlah aku mengujar sesuatu.. Adakah satu dari jiwa-jiwa bertanya tentang... "sebenarnya diri ini bisa berlaku apa?"
Maka jawablah dalam diri kalian, bukan hanya jawaban tersirat dari alam khayal, jawablah dengan langkah kalian..
Jawab dengan telapak tangan, jawab dengan pemikiran, jawab dengan kuatnya tekad kalian..

Kami.. yang berdiri di sini, senantiasa pula mengharap dari deru nafasmu.. para penambang impian
Bukan hanya sekedar utopia yang mampat di pucuk kata, tetapi ini awal langkah nyata, sebab cita-cita ada kerana disengaja..

Hai kawan, ketika retina kalian memandangi ujung demi ujung candradimuka ini.. adakah keraguan akan angan-angan?
Maka segeralah entas.. segeralah singkirkan, sebab keraguan hanya datang pada mereka yang tak yakin pada kehidupan
Kawah-kawah candradimuka yang nampak kini di pelupuk mata, berdiri sama rata.. tiada sekat kasta
Yang ada sekedar pembeda, pembeda itu hadir dalam dirimu.. hadir dalam potensi yang kau emban semenjak lama..

Bangunlah, bangunkan diri... kerana ini waktu tentang meraih asa tak lekas tiba-tiba terjadi..
Maka kamipun dulu pernah bermimpi.. mengkhayal pada gelayut-gelayut fantasi
Mimpi itu kini hadir.. pada diri kalian.. mimpi baru, semangat yang tak layu, ambisi tak lekang waktu
Maka lekas bangunlah generasi.. ciptalah aksi..

Hai kawan, sekali lagi kami sampaikan salam.. pada impian dan angan-angan
Angan yang memang acapkali tak bersua alur.. tetapi tolong mimpi jangan dalam terkubur.. jangan lekas luntur
Tegakan nama, bukan hanya nama dalam akta, tetapi nama tanah yang kau pijak, tanah yang memendam arimu.. tanah yang membuatmu ada..
Maka raih apa yang dulu memang hadir dalam catatan cita, sebab kita ada... bagian dari perjalanan bangsa..
Raihlah dengan segala upaya, hingga raga purna menutup cerita....

Gapailah, gelorakan gema..
Kami sampaikan salam padamu..
Kantata cita..!!

AL, 17/1/2019

'Melanus'

Dan maharana marcapada kadung diinjak satu anak manusia
Waktu berjalan... waktu-waktu bertandang, entah masa dahulu entah masa hadir di depan
Masa bersua harapan, namun yang hadir juta penghardikan
Satu anak manusia tergeletak dibayang ketakutan...
Menutup mata namun gelap ialah kenyataan...
Maka sama sahaja, menangis ia, menangis dalam kebutaan, kebutaan akan seruan-seruan, Ia malang disingkirkan....

Ia mencari, melangkah namun tujuan saja tak mengerti
Ia mencari uluran, namun yang bergelantung sekedar ular-ular berbisa
Yang menatapnya kemudian meninggalkan diri dalam kekalutan

Satu orang ini tak kunjung ada sudi yang melawat...
Ia hanya berdialog dengan langit dan rayap-rayap
Yang memakan kaki kursinya...
Ia berharap ada satu saja datang... sebab Ia merasa diri hilang...
Sendirian...
Ia sekadar terus-terusan menatap satu bingkai foto...
Yang sudah usang sebab debu jalanan...
Bak berhala... dianggap satu-satunya yang peduli jalan langkah

Dibawa saban waktu
Namun tak kunjung temu.

AL, 4/6/2019

'Isla De Las Muñecas'

Sebelum berlanjut, aku ingin kesepakatan...
Bahwa tiada kebohongan... jujur pada keadaan
Sebab sudah teramat sering
Kita satu meja makan
Beserta setan

Hari ini, setelah ribuan martir dipaksa kencing di jalanan
Pesingnya busuk dianggap bau perlawanan
Dan tentang bersenggama dengan calon pesakitan
Bercinta dengan buronan
Dan kebohongan pun dianggap butuh pendampingan
Membaiat kepada dinasti... membaiat diri kemudian tergeletak mati
Janji-janji, bukan tujuan bersama... tujuanmu tujuan pribadi... cita-citamu operandi swasta

Tiap malam aku tiarap merangkak, sebab langit sudah dipenuhi kawat berduri
Dan tali-tali puppet di kepala para orang-orang suci, ahli politik dan ahli teologi
Dan orang-orang yang memfatwa halal membantai saudara sendiri

Pula di sepanjang jalan, aku lihat berserakan
Sabun-sabun, bekas pakai mencuci
Mencuci fakta, mencuci barang bukti, mencuci sarung tangan, mencuci pikiran

Pulau boneka di samping kios obral senjata...
Obralkan janji-janji nirwana
Calon raja mencari sutradara...
Mencari dalang naskah drama
Sementara Ia mengkebiri akal supaya ditukar utopia
Kemudian bergegas berpaling muka
Kala ceceran arteri meluber hingga menutup logika

Pulau boneka... hikayat antah berantah dari topeng-topeng tentang tanah ramah tamah
Dikhianati syahwat-syahwat, martir menjelma mayat sementara para petinggi berebut jabat, orang dalamnya panen harkat, orang gila sembari melihat, mereka tertawa hebat.

AL, 26/5/2019

'Tanahku, Tanah Sengketa'

Waktu itu fajar sabtu..
Ku terbangun pukul tujuh
Hujan pagi kurasa menyiratkan sesuatu..
Kala surat Ibu tergeletak depan pintu..

"Nak, pulanglah.. pulanglah segera.."
Kata-kata tersirat memaksa
Tak lagi ku ungkapkan apa-apa
Segera beranjak dari perantauan, tuju kampung tercinta

Nafasku berderu.. memikirkan surat Ibu
gerangan ada apa...
Pikirku coba telaah
Di kereta ekonomi jam satu
Duduk termenung samping pintu
Bu.. nantikan pulangku
Entah ada apa ku tak tahu menahu

Setiba di kampung...
Ku tatap sekitar.. atap rumah bak terkurung
Orang-orang meronta meminta belas kasihan
Pada aparat berseragam dan mesin-mesin gusuran
Di sana nampak Ayah Ibu..
Mencaci maki tak henti berteriak lantang
Diiringi hujan batu
Orang-orang berontak, ada pula yang dipukuli jatuh terlentang..
Oleh para pendatang, dari pengadilan..
Tanahku kini, tanah rumahku.. berdiri menjadi saksi mata
Saat baton-baton dihajar tepat kearah muka
Desaku berlumuran murka
Mencoba bertahan..
Tanahku, tanah rumahku.. jelma tanah sengketa

Ku terpaku, habis sudah kata-kata
Hanya menatap Ayah yang diborgol sebab menghajar aparat
Ku berlari menembus kerumunan
Ku habisi amarah.. tak lagi diri sanggup menahan
Kulempari dengan atap genting
Dan pecahan kaca
Namun terlambat..
Sudah tak lagi berguna
Satu-satu roboh tak berbekas
Atap rumah jadi bak ampas
Alat berat bak jerat
Orang-orang berontak tergeletak sekarat
Muka-muka sekedar menatap dalam rintih mengutuk bejat

Aku tak lagi sanggup berupaya
Nampak kini tak berdaya
Terkekang putusan hakim mulia
Terhadap tanah gusuran
Di alih pabrik..
Tiada lagi rupa kampung halaman..
Sekedar tangisan bermacam rupa
Sebab tanahku, tanah rumahku, tanah sengketa.

AL, 8/1/2019

'Pot'

Esok hari... kami makan dari ladang...
Bukan ladang gandum atau ladang padi
Kami menyuapi diri dari ladang eksekusi, dibekali nyali... menciut seringkali

Raja delusi, tenggelam dalam imajinasi, sementara menatap girang...
Mayat terlentang telanjang, dipelintirnya nyawa tanpa peti mati
Raja Mati, penumbalan bidaknya sendiri, sementara pembunuh engas bersulang
Tiang gantung tak pernah sepi, diasah berulang kali, tali-tali dan pelor-pelor besi

Yang mati di tanahnya...
Yang mati tanpa nama...
Setiap langkah menjadi hampa
Menunggu pemenggal
Menunggu penjagal
Bila kala menangis adalah jawaban...
Maka setiap detik ialah pertaruhan
Kami makan dari detik yang tumbuhnya kematian...
Yang hangus sengaja ditumbalkan
Supaya tumbuh ketakutan
Yang umpamanya tak tunjuk tupa, Ia sekedar kepuasan mendagi... kuburan massal dan dominasi.

AL, 24/5/2019

'Teatrikal Orang Janggal'

Hari-hari pembenaran.. sejuta kepastian akan kesalahan...
Pelayan-pelayan berserakan, di lapang palagan... pertarungan bramacorah jelma tontonan
Teatrikal orang-orang janggal...
Orang-orang kebal dan tukang jagal

Dari warta yang dibayar harta...
Kabar berita tentang luka ditimbun nyanyian-nyanyian pesta..
Kala orang-orang kelaparan, kita santap ghibah di meja makan
Tidak nampak keterlaluan, sebab kematian di antara reruntuhan tak pernah nyata kita saksikan

Maka kita akan terus bicara...
Perihal siapa yang menelan paling banyak wine, cocktail atau vodka
Siapa yang paling bahagia, kala bicara perihal satu jengkal dibawah perut atau mahkota dikongsi bersama
Teatrikal orang-orang janggal... tak ada istilah atau ibarat, yang tersisa sekedar tujuan syahwat dipikul swadaya

Maka kita barulah berhenti...
Di ujung jurang, kala sakaratul maut menghampiri...
Kerana menghirup asam, plutonium atau senjata pemusnah milik pribadi
Teatrikal sandiwara, dari kehidupan janggal...
Hidup dari rahim berandal dan mati dengan kepala terpenggal..
Sebab musuh 'kan menuduh..
Dari mata air bersih atau air mata keruh...
Teatrikal orang-orang janggal... dengan bayonet dan todongan rudal
Adalah apa yang kita kenal, tangan-tangan kidal dan hipokrit hidup kekal.

AL, 14/3/2019

'Janda Jembatan Merah'

Dengus jerih payah... insan paruh baya terkerangkeng humus lelah..
Gelisah...
Menggoda rizki, meski dikhianati upah
Kelambu polusi menyerbak penuhi langit
Bau-bau sangit..
Temani Ia sendiri dalam jerit
Dalam takdir menghimpit
Rintih, merintih, merintih..
Maka mungkin pantas diri kecewa
Namun hidup harus tetap ada...
Percaya sebisa mungkin disengaja..
Diingat setiap kata yang diucap lidah bermodal iman dan keringat renta
Kala ratusan kilo menggendong buah cinta
Di belakang punggung...
Si janda.. berteman senja..
Mengais remah-remah di tumpukan sampah
Yang Ia dapat hari ini, sekedar hikmah.. dan keroncongan lambung tersumpal susah

Habis hari kemudian kembali..
Namun enggan menanti derma..
Ia menatap di ujung jari kaki..
Nanah-nanah dari langkah-langkah tiada arah
Pasrah... kala Ia mesti kuat tatap mata-mata pongah..
Dan serigala yang bergairah, bernafsu mengincar insan lemah
Si Janda..
Di jembatan merah..
Memahami waktu, di rumah rakitan kayu
Kecamuk haru, si kecil meronta dahaga..
Sebab hampir mengering air susu

Ia tenggelam dalam sendu..
Sendu harap, melihat si kecil pulas terlelap
Do'a-do'a dihantarnya tiada henti..
Pada pemilik kisah yang kadung terjadi
Ia menyendiri..
Berbisik..
Pada cintanya yang lama pergi, dipanggil Illahi..

Beranjak tergugah, raga dibelai malam gelisah..
Basuhan air di muka, karung goni jadi sajadah
Menangis...
Menangis Ia kepada juru serah..
Basah tetes air mata, mengering di antara tadah..
Hanya do'a yang temani malam..
Temani temaram..
Temani Janda..
Tengah malam di jembatan merah.

AL, 10/1/2019

'Gadisku (Dari Seorang Ayah)'

Gadisku..
Kumohon cukupkanlah tangis
Air matamu tak buatku teriris
Gadisku...
Jangan engkau selalu menuntut dunia
Engkau manusia tak ada beda
Hidup tak selamanya sama
Raihlah cita seperti apa yang ada

Gadisku...
Jangan hidup teruntuk salah arah
Jangan hidup teruntuk salah kaprah
Gadisku, Engkau cantik..
Langkahkan telapak, tuju yang terbaik

Gadisku..
Usaikanlah cerita yang ternoda luka
Tumbuhlah Gadisku dalam suka
Kuatlah dalam detaknya raga
Enyahlah engkau lalat rapuh
Taklid buta lusuh..
Jauhlah, jangan Ia engkau sentuh

Gadisku singa..
Ia mengaum pada dunia
Yang kepalkan asa di atas kepala
Bukan hanya citra di pelupuk mata

Gadisku..
Kuharap tangismu hari ini bukanlah tangis duka
Kuharap setiap tetes air mata adalah bahagia
Dari apa yang engkau harapkan
Dari setiap sujudku, di atas sajadah rajutan

Gadisku, kukuhlah tunjukan
Engkau bukan lemah dalam setiap pandang
Gadisku, yang terus langkahkan juang
Hingga kelak engkau temui Ia yang menang

Gadisku.. inginku lihatmu benderang..
Do'aku panjang terbentang.

AL, 2/12/2017

'Balada Dara'

Ku hantar sebuah cerita, dari alam setelah fana... sebuah fabel dari binatang-binatang dan satu orang dara
Sebuah dendam yang nikmat tiada tara
Dendamku bicara...

Tentang mereka, tentang hina yang aku telan lendirnya... ku telan hingga harga diri dibuat tiada
Tentang manusia yang renta nuraninya
Segera aku, malam itu hanya berkulit kecamuk...
Dari pintu kamar, raga dibuat remuk
Remuk pula lengan kala diikat tambang..
Aku saksikan sekujurku tanpa kain, sekujurku telanjang

Bau busuk, bau riak-riak tuak...
Sekeliling ruang kelamnya menyeruak.. disekap... tersirat ku berteriak..
Aku ditindih, meringis namun tak digubris
Seketika aku tak henti menangis, sementara pipiku perlahan diiris
Aku terjerembab dalam sakit..
Dalam kepedihan yang selamanya kan' terungkit..

Bingkai fotoku digenggam, ku berkutat dendam..
Maka aku bersumpah, tak mungkin ditelan redam
Kala harga diri dibuat lebam
Kala kini aku terlentang, sesekali keras ditendang
Dicumbu lantang..
Di atas ranjang..
Amukku amuk tak ada daya
Mereka berceloteh di atas air mata

Pikirku kutuk satu-satu itu benalu!
Benalu terkutuk! Iblis laknat!
Suciku terlanjur disantap
Diraba setan-setan kalap
Kini mahkotaku dikencingi mereka
Dihina tak dapat digubah wujudnya

Kini yang tertinggal hanya sisa desahan.. yang tertanam dalam telingaku..
Gelayut fajar memanggil waktu..
Malam berlalu, aku terkujur kala setan-setan itu berlalu..
Di atap reyot yang mereka gubah menjadi hina..
Aku tetap berteriak... tanpa suara..
Kini ku tenggelam seusai nista.. seusai belatinya menancapku menembus dada
Aku melepas raga.. kini aku tiada... terbang bersama semunya fana
Dendam tumbuh bersama, kini yang ada sekedar kesumat yang kan ku bawa

Maka t'lah tiba saatnya...!!!
Dara menjadi kerangka..!!!
....

AL, 28/12/2017

'Demensia'

Dan darah terhembus sukma
Kita datang murni adanya
Murni rupa
Murni muka
Menjajah...
....
Batu dipercik menjadi api
Dan kayu dihangus menjadi bara
Batu dilempar menjadi darah
Dan kayu direnggut serakah
....
Yang mereka butuhkan; kekuatan
Yang mereka butuhkan; sarang
Yang mereka butuhkan; pertempuran
Yang mereka perebutkan; makanan
...
Beranjak bestari dari purba
Dan nafsu mulai mewabah
Selongsong alutsista dijual murah
Dan mancapada tinggal neraka
...
Diatur kehendak pribadi
Kita datang dengan murni
Murni niat
Murni prasangka
Sarang primata diperaduk prahara

Tanah menjadi fondasi
Dan lokalisasi menjadi rumah
Fondasi menjadi alat perah
Dan rumah menjadi terali

Dicucuk peribadatan halusinasi
Kita datang dengan murni
Murni dipisah dimensi
Murni kehendak pribadi
Dan matahari tinggal sejengkal jari.

AL, 17/9/2019

'Kondominium Ultimatum'

Pagi di teras gedung, orang-orang masih tersenyum
Setidaknya meski di sampingnya, anyir darah masih pekat tercium
Alkisah sebuah cerita dari negeri ranum
Sebuah kelambu kondominium
Naungan insan-insan saling menukar ultimatum

Berdatangan di jalan-jalan gersang
Prajurit berderap menantang
Musuh bersaudara
Derajat tak jauh beda
Namun main kasta

Rumahku bermandi dentum
Berulang kali gagal ranum
...sebab kini era bermain hujum
...menjudi nujum
Aku taruh mimpi-mimpi tahun itu
Tahun kolosal
Seakan dijanji waktu
Tahun-tahun emas
Di tanah kelabu
Di tanah lubang jarum
Kondominium ultimatum.

AL, 24/7/2019

'Dawat Intikad'

Dawat yang aku tumpahkan, aku isi sebelumnya dengan berjuta tragedi yang runtut bersinergi
Dawat yang aku ayunkan, aku isi sebelumnya dengan tangis dari gas air mata
Dengan berbagai usulan tak ditimbang
Dan kritik yang ditumbang
Dengan spanduk orasi yang nyata namun dipandang sebelah mata
Para mahkota yang berjalan mengangkang pada marjinal yang merangkak
Sehingga dawat-dawat para marjinal tergores, tergores pada kertas, sebagai bagian dari pembunuh senggang, supaya mereka tak mati terpanggang

Hentikan! aku bilang hentikan! Pelurumu tajam, tajam sehingga itu bukan sebuah kalimat sapaan!
Maka mengapa ada yang mati, mereka hanya ingin mengucap sebuah harapan!
Hentikan! aku bilang hentikan! Pelormu adalah mesiu, bukan kalimat kasih apalagi kalimat rindu!
Maka mengapa ada yang bersimbah darah, mereka hanya ingin mengoreksi apa yang salah

'Perjalanan Menuju Akhir...'

Perjalanan menuju akhir...
Dibawa diriku melewati lubang di lembah-lembah, sungai kecoklatan, hutan hujan tropis kemarau dan mengikuti arus air terjun
Perjalanan menuju hilir...
Melangkah kemudian mati ditembak, dipukul bergilir... simbol-simbol yang berkibar namun tak berakhir
Seseorang persis denganmu, menungguku di sana, di akhir tujuan kemudian meraba kantungku hingga kosong
...tak tersisa, tinggal tangisan yang dibungkam suara-suara velg truk pengangkut, knalpot yang memaki harga diri, membawa kilauan menjauh dari hak yang semestinya...

Perjalanan menuju akhir, nasib-nasib para martir... menunggu kabar para pengadu takdir, bersama penjudi yang menjual satir

Perjalanan menuju risau, tentang mereka yang melempar dadu dengan kata-kata mengadu... mengaduk kemudian datang menusuk, penantian hampa dan nyanyian tentang peristiwa-peristiwa...

Matinya nyawa-nyawa dan lubang galian di tembolok orang-orang kaya
Perjalanan menuju kenang... memaksaku berada dalam barisan daftar mati di liang...

Kini yang kadung terkibar, berkibarlah...
Untuk kematian...
Untuk haru, namun bukan ketakutan...
Untuk keadilan...
Perjalanan menuju akhir...
Dan jutaan nyawa di parit-parit pengorbanan.

AL, 19/6/2019

'XIX'

Gaduh kini lama bersauh, dipelihara rancu..
Tatapan satu.. mengerucut semakin ramai beradu
Pelik nan ambigu.. Siulan neraka bersama setiap cucuk lembu
Orang-orang tak lagi bisu memperkuat ragu, neraka dibawa sendiri, nikmat dalam seteru

Adicita kini tameng para tersangka.. Dibela mati-matian, dianggap keran kuasa
Bumbu benci dijaja setiap lisan, di setiap alinea
Dari mata turun ke prasangka..
Dari telinga satu kata, mulut umbar sejuta frasa
Dari hati tiada logika, saudara dihardik, dianggap haram jadah
Maka, sembari menanti masa tanpa fajar, menanti masa tanpa senja
Kaitkan diri pada kejora diujung sana.. berserah pada Ia, sebab iblis butuh kolega

Getah, darah di sepanjang jalan.. sementara calon mahkota berujar masa depan
Kini mulai berdengung nyanyian-nyanyian..
Bak mulai berperan
Pembunuh mengadu mahkota, mempertaruhkan nyawa, para bidaknya

Orang gila berkumpul, menanam tumbal, hingga waktu tinggal waktu..
Orang waras menyingkir, hendak bertanya, namun sengaja disingkir
Setan anggap tak apa, orang-orang berbondong bertindak tanpa ragu, digiring iblis dalam belenggu
Setan beserta kalian, dalam setiap pikir, dalam setiap nafsu kuasa berlendir.

AL, 21/3/2019

'Di Balik Bilik, Ku Temukan Rupa Nyata'

Siul tak henti berujar dalam bilik
Dengar riuh domba bersisik
Puppet dijejal mantra, mantra adu picik
Seiir nyanyian-nyanyian, nyanyian kebebasan

Nyanyian yang ditawan juga mampir unjuk dukungan
Juga ada suara dibalik lubang tikus, tikus berebut tebengan
Berkatnya, hakekat simpul pun semakin tumpul
Tersingkir tafsir keliru setinggi dengkul

Hadir raga sekadar harga intan permata
Meski tahu, dicekok empedu pada akhirnya
Sedang keledai terus-menerus sumbang
tanya
Pada tuannya, pada rumput makanannya
Rumput yang tercampur lumpur bekas
tinja

Mulut busuk menyengat bak sampah
Puing-puing limbah dikata hadiah
Limbahnya pun hasil jarah.
Jarahnya pun modal perah..

Sangkar-sangkar pecundang
Kertas-kertasnya jadi tameng menang
Pecundang menang, makan siang jarahan perang
Beribu keledai tak senang..
Tikus di lubang ladang meloncat girang.

AL, 28/12/2017

'Replika Propaganda'

Mengeja nafas hingga bersila pikir
Mengabdi pada idealisme, mati dari fana
Diolah tanpa akhir, hilang bersama desir
Seakan rungu mendengar masa, mengucap nama merambah laga
Laga-laga telaah... dan filsafat mancapada
Jelaga diisi kata, retoris dan tanpa temu akhirnya
Mereka berkumpul, berserikat membentuk simpul
Ideologis menawan rupa, kala kalimat yang keluar sekadar timah-timah neraka
...dan habis dimakan rayap
Pemikiran menguap
Kolot dan pengap

Kini disampaikan secara membabi buta, bahwasanya perihal ambisi semata
Bercokol pada pemikiran, dan disetir tak karuan
Kini dilahirkan secara barbar dan menawan, bahwasanya perihal kenikmatan
Bergelayut pada kecerdasan, dan diputar balikan
...
Egoisme ada di setiap esensi
Dan pemaknaan purba dianggap haram jadah
Diganti dengan parasit, bersimbiosis
Hingga yang berkalang tanah
Kini semakin menambah tangis
Maka selesailah falsafah...
Berakhir tanpa apa-apa
Hanya kotoran yang dicat emas
Hanya kopi yang nikmat tinggal ampas
Hanya reruntuhan kelas
Dari kusir yang menuntut debat
Menjadi tak pantas
Bual tanpa batas
....
Hiduplah dan kenalilah, sebab hidup tak sudi perduli pongah retorisnya isi kepala...
Hiduplah dan kendalikanlah, sebab hidup akan menyetir insan, kala insan sekedar menjadi roda

Namun kini hadapilah...
Replika propaganda ada di setiap tanah, entah itu sedekat pelupuk mata, maupun dalam medan antah berantah
Replika propaganda adalah air mani yang mencari-cari tempat bernaung, hingga tumbuh menjadi tua
Replika propaganda tumbuh merambah kepada tingkah-tingkah, mengikuti banyak langkah
Replika propaganda akan banyak dicerna sebagai gizi yang berguna
...menjadi norma; merasuk kepada prasyarat menatap dunia
...mengendalikan apa saja
...
Kini beranjak tua
Dusta kadung menjelma nyata
Muda termanipulasi, tua dicemari
Replika propaganda... Messiah.

AL, 10/7/2019

'Runtuh Jua Bestari'

Runtuh jua bestari... yang dimamah pikirnya oleh cacing kremi
Moluska-moluska tanpa cangkang disiram garam, digenggam semau hati
Runtuh jua bestari... akal adigung tinggal sebongkah batu kali
Dicacah menjadi krikil kemudian diinjak-injak telapak kaki

Sungguh iba macam hati... melihat isi kepala dicumbu lalat sampah, dimadu tikus tanah
Segan disogok rasuah
Runtuh jua bestari... meninggalkan amar mungkar, membekas pada prasasti orang-orang sakti, dan aji mumpung hyena berkerah
Runtuh jua bestari... mewariskan ingkar, menebas runtas akar orang-orang suci, dan kemurnianpun pada akhirnya pasrah berserah
..
..
Terberai mewujud limbah.

AL, 19/7/2019

'Biar Ditenggelamkan Malam'

Malam ini, disamping gubug akal... peraduan suara-suara sumbang mental
Orang-orang berotak buntal, bercengkerama tak peduli asal

Biar ditenggelamkan malam... umpama mendung memendam bintang
Suara yang nampak sepele ditarik terbentang
Menyatir hingga menentang, merambah umpatan hingga kata sayang
Sayang kekasih hingga sayang nominal uang...
;malam ini pula hujan tak turun...
Sebab tahu ada kicau-kicau falsafah sedang terlentang

Malam ini pula, para pengemis datang...
Pengemis yang tak kunjung pulang
Sebab kafein tertuang dengan asap mengepul mengisi sudut gersang
Menanti asupan pikir dan asupan cengkerama orang-orang
Malam ini, satu kompi berujar cemerlang

Biar ditenggelamkan malam...
Kemudian lupa hingga tak tahu pernah ditemukan jam
Waktu hanya temaram...
Dan gelap menjadi ladang gemercik gerutu para terdidik di tengah nasib suram
Silih berganti...
Ujaran suci hingga caci maki...
Diterbitkan lidah yang terkadang lupa dicuci
Dan otak yang tak kehabisan aki
...
Perlahan terdidik di malam satir...
Logika kawanan dibuat terkilir.

AL, 5/7/2019

close
Test Iklan