'Tanahku, Tanah Sengketa'
Waktu itu fajar sabtu..
Ku terbangun pukul tujuh
Hujan pagi kurasa menyiratkan sesuatu..
Kala surat Ibu tergeletak depan pintu..
"Nak, pulanglah.. pulanglah segera.."
Kata-kata tersirat memaksa
Tak lagi ku ungkapkan apa-apa
Segera beranjak dari perantauan, tuju kampung tercinta
Nafasku berderu.. memikirkan surat Ibu
gerangan ada apa...
Pikirku coba telaah
Di kereta ekonomi jam satu
Duduk termenung samping pintu
Bu.. nantikan pulangku
Entah ada apa ku tak tahu menahu
Setiba di kampung...
Ku tatap sekitar.. atap rumah bak terkurung
Orang-orang meronta meminta belas kasihan
Pada aparat berseragam dan mesin-mesin gusuran
Di sana nampak Ayah Ibu..
Mencaci maki tak henti berteriak lantang
Diiringi hujan batu
Orang-orang berontak, ada pula yang dipukuli jatuh terlentang..
Oleh para pendatang, dari pengadilan..
Tanahku kini, tanah rumahku.. berdiri menjadi saksi mata
Saat baton-baton dihajar tepat kearah muka
Desaku berlumuran murka
Mencoba bertahan..
Tanahku, tanah rumahku.. jelma tanah sengketa
Ku terpaku, habis sudah kata-kata
Hanya menatap Ayah yang diborgol sebab menghajar aparat
Ku berlari menembus kerumunan
Ku habisi amarah.. tak lagi diri sanggup menahan
Kulempari dengan atap genting
Dan pecahan kaca
Namun terlambat..
Sudah tak lagi berguna
Satu-satu roboh tak berbekas
Atap rumah jadi bak ampas
Alat berat bak jerat
Orang-orang berontak tergeletak sekarat
Muka-muka sekedar menatap dalam rintih mengutuk bejat
Aku tak lagi sanggup berupaya
Nampak kini tak berdaya
Terkekang putusan hakim mulia
Terhadap tanah gusuran
Di alih pabrik..
Tiada lagi rupa kampung halaman..
Sekedar tangisan bermacam rupa
Sebab tanahku, tanah rumahku, tanah sengketa.
AL, 8/1/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar