Rabu, 01 April 2020

'Gonjang-Ganjing'

Gonjang-ganjing teramat sering, desas-desus ramai melengking
Curahan darah dibiarkan merekah, tanah memerah dari arteri orang lemah..

Tanyalah kenapa.. meski yang bertanya tak kunjung datang kabarkan berita..
Tetapi jangan diam! Jangan bisu! Biar telinga sindikat mendengar, biar mereka kencing di celana

Bongkar bohong, biar kongkalikong tak terus-terusan disokong
Berteriaklah! meski dari gorong-gorong, biar orang sombong keluar dari kolong-kolong

Jangan takut kena pukul, katakan apa saja yang betul, biarkan keberanian ramai berkumpul, tanya sajalah pada Widji Thukul

Jangan takut bersuara, berpikir biar tak mudah tersingkir, meski akhirnya ditelan getir, singkirkan khawatir! Tanya sajalah pada Munir

Jangan mudah menyerah, meski banyak keluar darah, jangan tenggelam karena dianggap lemah.. tanyalah saja pada Marsinah

Jangan takut bahaya, jangan menjelma bak sahaya.. teruslah berupaya.. jika tak percaya, tanyalah saja pada Pramoedya

Jangan hentikan bising, semangat perlawanan jangan kering, meski raga diujung genting, jangan jejerkan lagi cerita Sum Kuning

Kongkalikong gonjang-ganjing, Sengkuni membawa berita penting, asas-asas menempel di dinding, tikus rakus menjelma anjing

Hasut sana, hasut sini.. penyelewengan menjadi-menjadi, jangan mati kerana ini, matilah kerana mencoba berdiri.

AL, 17/4/2018

'11'

Jejaka... bermalamnya durjana, destinasi sebelas kepala, diujung jagal tak lekas ketara
Pertunjukan orkestra... dari erang calon tanah
Ya, lepas hasta
...lepas kaki
....lepas kepala
....lepas nyawa
....lepas masa tinggal kerangka

Mereka bicara, yang tinggal raga tak berisi apa-apa, mereka saling bertegur sapa
Di liang dosa, hasil mencabut paksa

Suatu masa...
Suatu kala...
Temui akhirnya...
Bau busuknya tercium jua.

AL, 11/4/2019

'Kafir'

Jahal!
Asmara mandat satan
Di sana panggilan...
Simfoni judas...
Dan napak tilas
Panggilan beelzebub
Ekstasi neraka...
Hirup!
Dan kini kembali hidup
Embrio samawi
Peradaban menemukan kehancuran...
Kafir!

AL, 13/4/2019

'Eksis'

Boneka sejuta rupa...
Aparatur penegak riba...
Senjata pengeksekusi balita...
Rudal penembak lansia...

Anak-anak tanpa remah roti...
Api di tenda pengungsi...
Rumah sakit dan rumah mati...
Prajurit zombie...

Satu agenda di atas meja...
Satu massa, kolonisasi propaganda...
Orang-orang tuksedo, jawaban atas semua
Negosiasi segitiga...
Mencipta hukum rimba...

Kini hormat yang mereka minta...
Di tanah yang suci...
Di tanah yang tak lagi berarti...
Kuburan massal peradaban
Yang pasti kau temui

Bendera satu dosa...
Di atas diskusi para raja...
Dan satu yang akhirnya mati...
Ideologi...
Dan panji-panji akan kembali.

AL, 14/4/2019

'Baghdad'

Sekawanan gagak di ubun kepala...
Ucapan selamat datang di tanah nirwana
...dan selamat jalan untuk nyawa-nyawa

Kini bermula...
Pertumpahan martir...
Terompet sangkakala di atas kota
Serta bumbungan tinggi dan gelegar petir

Mereka melihat anak-anaknya menjadi debu...
Dan orang tuanya tergilas jerebu
Messiah tak kunjung datang
Sekalipun datang hanyalah seonggok penipu...

Mereka mengunci pintu-pintu
Dan menunggu...
Kala para pesuruh itu menghampiri para tertuduh...
Kemudian datang hujan...
Hujan-hujan mesiu

Sekawanan gagak kembali...
Setelah lama bernaung di tanah yang berkilau...
Kilauan dari minyak bumi...

Sekawanan gagak di ubun kepala
Mengucapkan terimakasih...
Pada setiap peti mati
Dan para pesuruh...
Yang kehilangan mata, tangan, kaki
...sebab diamputasi
Atas perintah tunjuk jari.

AL, 13/4/2019

'Puppet'

Taruh dalam peti kemudian seribu hardik menghampiri
Siksa sudah ditulis..
Nadi telah teriris..
Seribu khayal lalu cipta ketakutan semakin beradu
Jika engkau takut maka sebutlah satu nama
Ia akar ketakutan..
Yang menyiksamu lebih dari apapun
Mematahkan setiap tulang
Membakar sekujur kulit
Apa yang siksa selamanya tak kunjung hilang..
Adalah mereka yang tak mampu berkelit

Maka Ia adalah alasan untuk mengadu
Mereka berujar mengenai siksa dan runtutan maha luka
Dan mereka berkata Ia maha cinta

Maka aku menyerah terhadap apa saja pedih nyata..
Terhadap delusi..
Maka siapa yang tak akan kembali..
Adalah aku yang pertama menepati

Biar hidup berkalang hampa
Dan peluru diatas mereka yang berserah nyawa
Kepada cerita-cerita
Dan kesaksian para penerka.

AL, 11/10/2018

'...ku Bilang Tunggu'

Biar aku tenggelam supaya kadung dalam...
Ku bilang tunggu...
Belum saatnya mengatakan tentangmu
Mungkin saatnya nanti..
Setidaknya aku sudah berjanji
Jangan berpikir bila ku datang, sekedar untuk mengingkari...
Ku bilang tunggu...
Dan bila tiba waktu...
Di sampingmu
Yang nampak di mataku
Hanya satu...
Maka ku bilang tunggu..
Aku bukan hidup dusta ironi...
Aku menunggu kala yang pasti
Dan bila datang saatnya...
Sumpahku tak lekas berlalu..
Ku bilang tunggu...
Sebab yang kini hadir percaya...
Ku lihat hanya satu.

AL, 14/4/2019

'Jika Mati Hanya Satu Jengkal Jari'

Aku ditelan mentah-mentah...
Oleh sakit dan resah...
Sementara redup mengitariku, melingkar tanpa henti, tanpa berlalu...
Nafas terengah...
Senyum lemah, detik ialah gelisah...
Di ujung kenang serakah...

Memorandum menyapaku...
Kini tinggal semu, orang-orang sendu...
Sebabku...
Yang diperaduk takdir dadu...

Aku diiring ayat dilafalkan satu-satu
Ku menunggu....
Kala tiba saatnya...
Satu lagi usai urusan...
Nir kehidupan...
Tak ada kata atau kalimat permohonan...
Yang hadir hanyalah detik penebusan...

Kini yang dinanti...
Tiba lebih dahulu di sini...
Kurasa ribaan di dalam derasnya nadi...
Dan tanpa denyut arteri...
Kini netra dan rungu di ujung henti
Jika mati hanya satu jengkal jari...

Kini semakin lepas...
Terjerat, terhempas...
Terdampar, terpukul keras...
Yang dilewati, eksekusi tanpa welas...
Kini sadar ku pahami...
Jika mati hanya satu jengkal jari...

AL, 13/4/2019

'Inferior'

...persetan! drakula-drakula itu malam-malam...
Setiap denting jam dinding...
Menatapku dengan seringai seram...
Bangsat! Keterlaluan, sebab sudah teramat sering

...persetan! Aku menyerah
Tak betah...
Bosan dianggap haram jadah
Diamlah keparat!
Para penjilat!
Yang melangkah berdasarkan khianat

Tembolokmu itu milikku...
Hal yang mesti kau tahu!
...dan setiap pelatuk penghantar peluru
Kau dapat dari keringatku

Jika pilihanmu benar, wahai laknat
Maka kau terlampau bejat
Sebab memukuliku kau anggap nikmat
Yang kau minta saudaraku jua kau jerat
Ahhh bangsat...
Persetan mulut mandat
Kami melangkah untukmu
Melangkah, menelanjangi setiap apa yang kau ingat
Kami berdiri di atas bak terbuka roda empat...
Kami akan menembakimu dengan orasi kalimat-kalimat.

AL, 16/4/2019

'5'

Kita sampai pada bab kompetisi
Kau dengar suara?
Tembakan itu bukan hanya tembakan salvo
Kita berdiri dengan kantungi selongsong
Kita berdiri saling menodong
...mereka mati sebab saling mendorong
Mendorong hingga yang terjatuh meratap untuk ditolong...
Suaranya pekak merongrong
Namun siapa peduli?
Kita aristokrat atas segala ego...
Ego yang hidup dalam lidah mulut tempolong...

Hendaknya siapa yang bercerita, hari ini sudah dipaksa menutup
Menutup waktu, akhiri lemahnya, sebab waktu sudah ditawar pemilik belenggu..

Kita berjanji memuaskan diri...
Kepada sinar kejora
Meski dibayar harga...
Menumbalkan segala cara

AL, 20/4/2019

'Srebrenica-Potočari'

Siulan hari semenjak tragedi, dentum laras membisik kenang
Saat ribuan kelakar diujar deras lidah komandan
Berpaling kisah delapan ribu kematian..
Tiap waktu nyaris terlupakan
Terlupakan...
Dosa diujung senapan

Sebuah cerita tentang manusia yang mulai ditawar
Cerita kepala yang mulai dicari tajamnya paruh nazar
Ahh, aku tak tega ungkit cerita..
Dedahan keringpun mungkin akan patah..
Tangisan air mata mungkin akan banjiri lembah
Kerana dengar perihal cerita maut semesta..

Kisah ini, tapal batas.. perihal ras
Yang tak kunjung tuntas..
Sebab cenanga membabi buta, dalih apa yang mampu membela?
Mereka yang sengaja melanglang..
Pula dalih pirang yang lama hilang..
Alibinya mengaku diserang..
Bersama ribu-ribu pengungsi malang..

Yang sembunyi, beruntung, berlari luntang lantung
Yang dicekik mati, diseret, dimaki, ditembaki, digantung..

Desir angin kala itu, berbau..
Sebab tersiram mesiu peluru
Yang ditanam di kepala, punggung, rahim Ibu
Gelimpangan, jelma nyawa tiada dosa
Terkapar: ribuan manusia, bayi, manula, cacat selamanya dan resah cipta luka

Ingatlah, ada yang mati di temaram senja..
Anak manusia..
Dibunuh pula anak manusia..
Tinggal kerangka, di sabana Srebrenica
Di rumputnya: darah, dan guguran tanah kubur, dari roh yang bertanya, "Sebab apa?"

Iblis itu, berwujud manusia, masihlah ada..
Nyawa tua, muda, wanita, balita, ditawar harga..
Meski tak lama: melayang jiwa-jiwa
Rentetan peluru dijadikan pelaku..
Serigala gunung tak sudi turun
Lalu sengaja termenung, hindari kurung

Jeritan insan tanpa nisan..
Yang hingar bingarnya tak dihiraukan..
Srebrenica..
Lumbung kematian..

Nyawa tak berdosa kini di bawah tanah
Terkubur bersama sumpah..
Sumpah bendera setengah tiang
Bendera mereka yang diserang

Mereka berteriak pada bintang..
Mereka berupaya pada nyanyian masa lalu para binatang
Maka dengar dan abadikan; perang tak melahirkan siapa yang menang..
Ia rahim bagi jutaan luka untuk dikenang

Srebrenica.. kala sembilan lima..
Tak terlupa..
Kerak darahnya..
Di tangan para terduga.

AL, 10/1/2017

'Kematian Diksi'

Jenuh merajainya, merajah tubuh yang semenjak dulu berubah kaku
Telapak tak sudi menapak
Jemari enggan menari
Isi kepala tak benar berisi
Kematian diksi...

Kendati isyarat mendayu bagai menanti
Apa yang dicari hilang lagi tiada arti
Cahaya kabur, bingung mengubur
Kertas gembur, pena ujungnya menjulur
Namun tetap uzur pikirnya tak hidup, Ia memaki..
Dalam redup siul dunia ramai mencaci
Terdiam tertelungkup di ruang menyendiri
Kata orang Ia pergi, berubah atau hilang bereinkarnasi
Kata orang bukan dirinya lagi, tak lagi mendayung jati diri..
Menuju kematian dini..
Kematian diksi.

AL, 1/6/2018

'Janjimu Dari Ujung Dermaga'

Masih membekas ucapmu
Bergetar rasa hari itu
Kau kalungkan percaya di jiwa
Berisikan suci alunkan cinta
Tulus aku rasa
Saat ikhlas biarkanmu jauh dari mata

Tak lagi ragu
Cukupkan curiga
Kucoba pandangi mega-mega
Dan kurasakan hangatmu disana

Kuharap kau ingat
Janjimu yang masih kurasa erat
Meski terkadang berat
Kuyakin cintamu tak akan mudah tamat

Kau yang jauh
Yang mustahil ku sentuh
Janji ini penuh
Masih ku pegang dengan teguh
Hingga percaya ini tak akan luruh
Tak akan pernah lusuh

Kau yang disana
Semoga senyum dikau diatas dunia
Sebab cinta..
Masih ku anggap berharga
Setidaknya untuk saat ini
Atau mungkin disetiap masa.

AL, 7/10/2017

'Dia Dan Nyiur Di Pesisir'

Suatu masa di pesisir Kuta
Saat sang surya tepat di ubun kepala
Ku temukan alas tidurkan jasmani
Lelah perjalanan t'lah terlewati
Nikmati godaan pemandangan
Disamping sampah plastik minuman

Ku puji sejenak sang Pencipta
Cakrawala langit bak jendela
Rindang nyiur tinggi menjulang
Riak ombak besar berteriak
Melambai bagai menyapa

Tiba-tiba..
Ciptaan yang tak kalah luar biasa..

Dia yang disana
Dengan cantiknya
Beraikan rambut jelita

Sempurnakan masa
Tak bosan pandanginya
Belo mata
Mungil hidung asia tenggara

Sepoi angin sejenak lewat
Jingga langit yang kulihat

Ku yang hampir terlelap
Karena angin yang meresap
Tiba-tiba teringat senyumnya
Si Dia yang buat terpana

Tengok kanan kiri
Ku rasa sudah pergi
Ku rasa tak nampak lagi

Raga yang terlanjur mencinta
Bagai kehilangan rasa
Kini risau dibuatnya
Kini galau karenanya

Si Dia ternyata masih disana
Mataku melihatnya
Saat pandang dibalas..
Grogi aku dibuatnya
Karena senyumnya
Bagai tahu aku mengagumi dirinya

Si molek bertubuh pendek
Si ramah berhidung pesek
Yang ku cinta
Namun sejenak saja
Karena ternyata..
Sudah digenggam Si Bule Tua

Ya.. begitulah cerita yang sama..
Ku gantikan pandangku
Pada lalat hijau yang senyumkanku
Pribumiku terjajah cinta
Sakitnya terlanjur suka
Kini ku alihkan mata pada sunset depan indera.

AL, 27/8/2017

'Lekas Sembuh, Ayah'

Senja itu..
Pulang dari kuras peluh
Wajah murung bagai mendung
Sisakan tanya sebab apa gerangan
Seperti tampak kelu
Lunglai tersirat senyum palsu

Gelisah seperti menyimpan amarah
Resah meratap semakin parah
Aku cemas ayah
Tatap matamu kini kian berubah

Nampak jelas wajahmu
Tergores ujian pemilik waktu
Nampak jelas luka mu
Namun ku tak tahu menahu

Kupaksa senyum di garis pipiku
Walau ku tahu sakit mu semakin beradu
Kini selalu ku pertanyakan
Tentang ijabah pemilik kehidupan
Yang berjanji atas kasih sayang
Namun tangis ini kurasa makin panjang

Semakin bertanya..
Bagai tak tahu lagi mengadu pada apa

Sekian waktu berjalan
Ku coba yakinkan
Ayah, ini hanya sekedar ujian
Dimana awal pahit akan muncul kebahagiaan

Tenanglah tenang Ayah
Kurasa ini hanya jalan cerita
Katakan padaku apa yang kau rasa
Hingga ku yakin temukan jawabnya..

Semoga lekas sembuh, Ayah..
Yang setia memikul beban
Yang bawa secercah harapan
Ketika senja mulai datang..
Esok nanti..
Ku harap senyumanmu akan kembali..

AL, 17/9/2017

'Yuwita'

Yuwita anak Pak Lurah
Bikin hati gelisah
Bikin hati gundah
Yuwita kembang desa
Yang selalu kucinta
Juga impian para tetangga

Senyumnya bagai lekuk pisang
Orangnya selalu riang
Yuwita si anggun
Kulitnya eksotis
Mirip sawo diiris

Yuwita kekasih imaji
Kelak mungkin jadi istri
Walau aku melarat, masih ku nanti
Yuwita tetap di hati

Yuwita hidup gedongan
Habis uang jutaan cuma buat makan
Yuwita menutup hati
Impikan Pangeran
Yang miskin hanya menelan ludah
Sebab mustahil dapatkannya

Tapi cerita lain merubah isi
Dengar minggu pagi
Bapak Yuwita diciduk polisi
Katanya tersangkut korupsi
Yuwita yang riang jadi sakit hati
Sakitnya Yuwita sakitnya kami

Yuwita kini menyendiri
Semenjak Bapaknya jadi saksi
Yuwita hampir mati
Esok pagi dapat kabar dari Bui
Yuwita malang meratap pada Tuhan
Bapaknya ternyata bajingan

Yuwita sesalkan keadaan
Simbok juga menceraikan
Sekarang sebatang kara
Yuwita dikucilkan warga
Kami jauhi dia karena Bapaknya
Yang jadi tikus kembung tak berguna

Yuwita kini putus sekolah
Yuwita dipenuhi amarah
Semakin parah tak ada yang rela
Yuwita kini gila
Sebab memikirkan dunia

Si Cantik Yuwita kini tiada
Semenjak dia raih tali ditangannya
Gantungkan pada pohon cemara
Yuwita lepaskan semua
Menyerah kepada takdirnya
Sekarang Yuwita entah pergi kemana.

AL, 25/8/2017

'Bungkam Senyap, Bisukan Gelap'

Disela canda tawa kita
Ketika senja mulai tiada
Sisakan sebuah cerita
Biarkanku bicara
Temani malam mu yang ceria
Cerita pembantaian orang desa

Mereka yang tertuduh
Mereka yang terbunuh
Mereka yang tak sembuh
Mereka yang bercermin pada sungai keruh

Cela ribuan kawan politik
Karena drama yang agak menggelitik
Sebab tak terlihat jejak
Siapa yang beranjak angkat telapak

Cerita si Bapak Tua
Yang enggan singkap tabirnya
Cerita lama tanpa tersangka
Tetapi berujung bencana

Di sungai Bacem waktu itu
Acap kali teringat di pikiranku
Saat si merah bak jadi benalu
Kenapa kau biarkan Tuhan?
Keadilan yang diperkosa kekuasaan
Hakim massa tak bisa kau urungkan?

Dosa ribuan nyawa mulai bicara
Bahwasanya dunia mengecam
Doa setiap massa tuntut bijaksana
Hingga waktu bawa mereka terancam

Dosa apa?
Kini tanya yang dilarang..
Tingkah apa?
Yang buat kau meradang?

Kini nyawa tiada bisa kembali
Sebab kadung dikurung benci
Kini sejarah mustahil diperbaiki
Sebab si Tua kadung beri alibi

Dimana Engkau saat mereka menangis?
Dimana Engkau saat leher mereka diiris?
Sudikah lihat yang tak berdosa binasa?
Sudikah si Tua bangka rebut kuasa?

Tentang keadilan
Dan yang tersingkirkan
Cerita yang ditanggapi Bajingan
Yang tak mau tahu tentang kemanusiaan

Setan dalam diri tiada mau mengaku
Karena acuh tentang ceritanya
Sebab bicara bagai tak ragu
Mengutuk hantu masa lalu

Biarkan kubur semakin gugur
Dan ucap orang yang mengaku subur
Sedangkan tanah yang mereka puja
Basah dengan dosa

Kawan dengar sebuah cerita
Tentang arit desa
Yang dulu tak tahu apa-apa
Namun jadi korban bejat sesama
Yang juga tak tahu apa-apa
Dihasut dendam buta

Terdiam kita ditutup kuasa
Bencinya terhadap insan yang tak lagi ada
Sebarkan berita
Sembah dusta
Siapa dalang apa?
Siapa jual apa?

Kawan dengar mereka
Dengar jerit bisu tak sentuh telinga
Dosa tak mungkin terbalas dosa
Propaganda berujung genosida
Kini hiduplah seperti biasa
Dan damailah dalam utopia

Sedangkan mereka yang jadi kerangka
Masih bertanya..
Tentang sebuah langkah derap..
Bungkam senyap, bisukan gelap..

(Teruntuk mereka yang telah menjadi kerangka)

AL, 14/9/2017

'Dietje'

Kisah semenjana... bukan hal baru, bukan suatu tabu
Kisah lama perihal cinta dibalas durja
Seorang jelita mendaraskan luka
Kala timah panas menembus kepala
Merintih dan tiada bernyawa
Jelita ayu dipaksa meregang jiwa

Tuduhan beranjak ke permukaan
Namun tunjuk tak menyentuh kepada siapa patut dipersalahkan...
Sebab sudah dibayar kontan
Dengan ketakutan, dengan jabatan

Biarkan menguap seluruh cerita
Perihal urusan kuasa, nyawa tiada artinya
Ada komplotan diperalat kenikmatan
Ada oknum dibayar kejahatan
Dietje malang...
Yang terbuang
Dietje masih bertanya
Dalam kuburnya mungkinkah tiada tawa
...
Sementara tahunan dipenjara
Tersangka tanpa pengadilan
Tersangka dikarung tuduhan
Tersangka yang berkeliaran
Buronan namun dilindung sogokan
Buronan sibuk liburan...
Kasus tanpa keadilan, di negeri yang terbiasa hilang urusan
...
Dietje dipermainkan.
Oleh kekuasaan

AL, 15/7/2019

'Hujanku, Dan Elegi'

Detik demi detik
Rintik demi rintik
Seringkali terbayang
Yang mustahil pulang kini enggan pergi, enggan hilang

Entah lisannya, entah tawanya, entah mata dan tatapnya
Entah kapanpun tak kunjung reda, tetap terngiang
Hujanku, dan elegi, hujanku fajar hingga petang
Hari sahabat sejati terlelap tenang
Hari sahabat sejati pergi dengan kenang

Namun rela tinggal pilihan, namun hidup harus disengaja berterus terang, yang pergi tak mungkin kembali, yang berjalan biarlah berjalan.

AL, 15/7/2019

'Kaki Lima'

Yang terkurung tingginya gedung-gedung
Yang terhimpit jalan-jalan
Para pengais untung
Para pengais recehan

Kios-kios berjejeran, adapula nenek bermodal nampan
Pesta pertaruhan, pesta kehidupan
Tapak-tapak membekas di depan barang dagangan
Kuli panggul dan riuhnya suara beruntutan
Pengemis dan pengamen jalanan, melengkapi hari beragam tuntutan

Lalat-lalat tak lupa sekompi menghampiri
Pula bau-bau sampah di tepian kali
Bercampur dengan cengkerama penawar rizki yang kian waktu berteriak semakin menjadi

Ladang kaki lima, ladang halal nafkahi diri, nafkahi anak istri, nafkahi keluarga dan biaya SPP kakak adik
Ladang kaki lima, ladang segala yang musti terjadi, di samping jalan arteri, dipenuhi pejalan kaki yang kadang penuh caci maki
Ladang kaki lima, beribu kaki sibuk transaksi, kadang pula kantong hilang tak terasa dicuri, kadang pula untung hari ini hanya cukup untuk makan satu kali sehari, kadang pula Pol PP datang meminta jatah kopi
...
Kaki lima, ladang orang-orang mulia, ladang orang-orang suci memanen pahala.

AL, 15/7/2019

'Susut Gelombang Susut'

Bah menghantar peristiwa
Mengalir dari hulu hingga tak terkira datangnya
Beringas menelan kehidupan, menelan harta benda
Setinggi mata kaki hingga atap-atap rumah
Yang hanyut oleh arus yang berjalan semaunya
Susut gelombang susut
Susutlah supaya hidup tak semakin kalut

Pasrah menemani
Bermalam di tenda ungsi
Berkawan nyamuk dan dingin
Menunggu kering hari kemarin
Susut gelombang susut
Susutlah supaya nadi hidup kembali berdenyut

Maafkan kami, sebab ulah membawa elegi
Hentilah berbondong uji, kami tak sanggup lagi
Susut gelombang susut
Susutlah supaya kami dapat kembali, menata diri agar celoteh tak merusak lagi
Susutlah gelombang susut
Susutlah supaya kami termenung dan hidup dalam instropeksi
...terhadap apa yang terjadi.

AL, 15/7/2019

'Di Bawah Ketiak'

Lempar batu sembunyi tangan
Orang saling beradu dianggap persetan
Sebab tangannya namun tak mau mengaku
Di bawah ketiak ia sembunyikan malu

Haram jadah keterlaluan
Petinggi sudah keranjingan
Sebar fitnah sebar kebohongan
Sebar racun tanpa perhitungan

Sembunyi-sembunyi dilempari makian
Di bawah ketiak tetap berujar kebusukan
Para petinggi mulai kerasukan
Sebab dengan begitu dapat pemasukan.

AL, 16/7/2019

'Jangan Kau Pergi'

Janganlah kau pergi, kan ku nyanyikan lagu-lagu
Tiada bagiku air mata, sebab bagiku kau yang utama
Jangan hari ini kau tak nampak lagi, kan ku berikan apa yang kau mau
Tiada bagiku kelabu mega-mega, sebab bagiku kau yang ku cinta

Aku bersyukur untuk mengenalmu
Namun bukan hanya sebatas pandang
Janganlah kau pergi
Aku berjanji...
Suatu saat nanti kita kan berdampingan
Dipayungi oleh janji
Hingga nanti kita tinggal menunggu
Siapa yang berlalu

Jangan kau pergi...
...kerana aku tak mau sendiri
Berteman sepi.

AL, 16/7/2019

'Invetebrata'

Di sudut-sudut kota
Invetebrata menyeret tubuhnya
Bermodal saku celana
Dan tempolong bekas vodka

Menyeret melewati dinding-dinding aduan mala
Tercoret oleh tinta-tinta dari alam bawah sadar para sengsara
Luka-lukanya di sekujur badan
Bekas pukul petugas
Senantiasa menjadi kawan bercengkerama
Lewati sekelumit cerita
Dalam alkisah peminta-minta
...
Peraduannya di depan mata
Di bawah tiang lampu merah
Kini menunggu iba
Tadah dan pasrah
Hidup keluh kesah

Hitam dan kelam
Malu kadung dipendam
Bekas seretnya masih membekas dalam
Di samping jembatan dekat terminal

Ungkap meminta kepada takdir
Namun takdir bagai tak perduli
Maka Ia meminta hingga datangnya senja
Tanpa kawan bercerita
Di trotoar si peminta-minta
Yang tak jauh dari istana
Menunggu tangkap petugas mulia.

AL, 16/7/2019

'Hitam'

Tenanglah di sana
Kami menaruh hormat

Jelas menjadi korban
Dari cerita tanpa kesimpulan
Berbuntut panjang

Kepada setiap darah
Dan kongkalikong
Semua belum usai
Simpanlah dan jaga

Kehidupan tak akan berjalan wajar
Dengan kehilangan tanpa sadar
Yang tak akan pernah tenang
Hingga kiamat berpendar
Insan-insan terkapar

Tenanglah di sana
Kami menaruh nada sumbang
Untuk pemantik kebenaran
Yang dijunjung bersama
Meskipun getir mendabik
Kami tetap berjalan
Berbuat yang bisa dilakukan.

AL, 16/7/2019

'Reruntuh Di Atas Kayuh'

Jelaga tirta meraja rasa, dihinggapi samudera bara, ribu lelara..
Telaah seiring berhamburan rasa, menikam sembilu, memadu upaya
Ada wajah tiada milik mahkota, sekedar jelata, meramban ayunan bergelimang pelita
Reruntuhan kini perlambang durjana.. kala mengayuh upaya dianggap sampah belaka
Segera habisi kelakar percuma, biar lepas jiwa dari ujung raga..
Segera amarah karungi hasta.. jangan berhenti pada sia-sia, bungkam dalam suara, jangan kayuh engkau henti akhirnya

Kini sedari lama ambil saja darah-darah..
Reruntuh di atas kayuh..
Tak apa sebab bahagian cerita..
Reruntuh di atas kayuh..
Hidup sekedar takdir, rencana pemilik segala, yang mencipta sebab, hilang batang hidungnya..

Maka jangan lagi hina dianggap pada siapa-siapa..
Sebab kayuhnya hanya butuh genangan tirta..
Jangan lagi hentikan nafas pengayuh jelata..
Sebab pikir siapa tak tahu menahu didalamnya.

AL, 10/12/2018

'Anak-Anak Flyover'

Aku berjalan pelan... menuju peraduan
Dengan kaki tangan, yang hitam lebam
Isak tangis terdengar jauh di kerumunan
Di bawah flyover anak kelaparan

Ditentengnya gitar dan gendang rakitan
Bocah-bocah kecil menghitung penghasilan
Ditumpahkan gelas bekas minuman, berisi receh hingga uang ribuan
Kala itu kuputuskan mampir sembari memaknai
Mereka yang hidup dari berisik, dan hidup tanpa kasih dini
Yang orang tuanya pergi, yang induknya tiada lagi
Hidup dari berisik, mengadu nasib, mengadu pada pelik

Ku hampiri dan ku sapa bocah-bocah itu yang bertelanjang kaki
Aku tanya yang Ia makan hari ini...
Aku tanya yang ia dapat hari ini...
Aku tanya yang ia obrolkan malam ini...
Tapi seketika tanya berganti murung diri...
Sekumpulan majikan dengan tato di tangan kanan kiri...
Datang menghampiri...
Merebut hasil, menyisakan beberapa receh dan ludah serta caci maki

Bocah-bocah menangis sedu sedan...
Ladang nafkah diobrak-abrik setan
Aku tak tahu menahu...
Jelas rautku kasihan
Maka jatah makan kali ini ku hibahkan
Maka aku biarkan, sebab urusan Tuhan tetap urusan Tuhan
Biar hari ini tak kenyang, sebab cukup rizki ku tuang melihat mereka berebut riang, dan hari ini dibayar senang.

AL, 12/7/2019

'6719'

Dilema kubah khatulistiwa...
Setiap diri menampakan rupa, yang ada sekedar hukuman mati, hukuman siksa...
Dan kencing dari raga tanpa nama...
Buah simalakama...
Hidup dua arah, dua dunia...
Kuisioner tentang nyata, kala fakta sekedar nyanyian belaka...
Dan hidup diseret begitu saja...
Tanpa aliran benar
Tanpa sandar
Tewas bergetar
Diri dilepas liar
Gusar.

AL, 6/7/2019

'Franz Ferdinand'

Ia jatuh... dunia sekarat
Mata tenggelam, nafas terakhir terhela
Merenangi batin sri sultan...
Terkalang genderang tembakan...
Cerita... dan awal mula

Anak-anak dirangkul, sebaya berkumpul... sementara induknya memberi pikul
Tentang agenda dan propaganda
Genosida sebab adu pukul...

Induk perlawanan... saling merengkuh tabiat, rekonsiliasi dan jabat
Di masa yang mengharuskan membunuh cepat...
Sebelum diperkosa pengkhianat...

Orang-orang buta menangis...
Yang tak tahu menahu...
Menanggung tragis
Di arena antagonis...
Di medium kritis....

Ia jatuh... dunia sekarat
Satu rupa berjuta akibat
Sang terhormat...
Zaman penat.

AL, 25/4/2019

'Sasana Sendu'

Cukuplah pandangi daun berguguran
Terakhir kali ketika janjimu kulupakan
Sudikah kau benahi?
Karena setiap nama tak sama lagi

Topeng-topeng
Tak bertelinga
Diksinya tajam menembus sanubari

Satu-satu berjatuhan
Diinjak setan bertuan
Skeptis tak digubris
Naif terbalut negatif

Musim kemarau
Diangkasa mengigau
Diracun lidah
Dicumbu resah
Pada akhirnya: dusta

Tak dibutuhkan
Tanyaku tentang dosa
Terjawab sudah
Pada akhirnya
Aku didalamnya
Aku ikuti cahaya
Meski akhirnya ditelan batara kala

Apa yang ku punya disini
Habis dikebiri
Pertanyaanku kini usai tak berbekas
Sebab aku tak sanggup tuntas
Hampa kehidupan
Tumbuh lalu dihisap kebingungan

Dia yang menginjak dengan sepatu
Menampar dengan dasi
Melemparmu dalam mimpi
Yang mustahil terjadi.

AL, 16/11/2017

'Sajak Balaclava'

Bangun pemuda pemudi, panggilan anarki..
Orok pemberontakan di rahim-rahim pemikiran
Satu yang dituju, sekadar perlawanan..
Bukan perlawanan sebab mencari keuntungan
Ini perlawanan incar kebathilan..

Bangun pemuda-pemudi, panggilan anarki..
Singsingkan lengan, bawa panji-panji
Panji-panji satu.. panji-panji negeri bukan panji asal jadi
Bangun pemuda-pemudi, panggilan anarki..
Raung berkelakar ini bukan celoteh sia-sia
Ini celoteh panggilan ancam pada kontra-reformasi, ini nyanyian revolusi

Maka pijakan kaki di aspal, biar membekas sampai hari kiamat..
Hari-hari orang bejat ditimbang amalnya kemudian di siksa sampai berkarat
Maka awali hari ini dengan kopi, kopi-kopi berisi amarah dan ambisi
Jangan ada kecewa, jika berhenti.. pastikan mereka lebih dulu turun dari pucuk segitiga negeri

Bangun pemuda-pemudi... dengar panggilan anarki
Biar teriakanmu datangi cukong-cukong kriminil, biarkan suaramu datang menghantui
Bangun pemuda-pemudi.. dengar panggilan anarki
Simpan takut, sebab pengecut akan kalut..
Simpan ragu, sebab pecundang akan tuntas lebih dulu..
Bangun pemuda-pemudi... dengar panggilan anarki..
Jangan pernah terpukul mundur, meski besok mungkin kau terbangun di lantai bui
Tetap satukan nada-nada orasi..
Pada kriminil penguasa raya..
Pada pelacur hirarki.

AL, 10/1/2019

'Bhinneka Sejuta Tuju'

Realitas, ambigu, semakin rancu
Mereka bermain api
Sedang putus umur semakin dicekik waktu

Resesi...
Dalam ilusi hidup sebatang diri
Yang menyatakan perangai
Dan hidup tak bertuan

Reduksi...
Distopia karangan sendiri
Tubuh kering ditiduri mimpi
Jikalau ada yang bicara perihalnya
Ia berdiri selayak tahta delusi

Dualitas... dua sisi
Dari hilir dibawa hulu
Dari pesisir dibawa abrasi
Sejuta nasib dibawa ambisi

Bukannya meragu...
Maka lihatlah di belakangmu...
Siapa-siapa saja cendala aji mumpung
Yang menjadi parasit
Dan mencari untung
Dengan dada membusung

Adakalanya kita tahu...
Mereka membawahi nafsu
Slogan-slogan di pamflet-pamflet
Jelas terpampang rupa...
Bhinneka sejuta tuju.

AL, 31/5/2019

'Tangisan Orang Buta'

Di atas daki-daki kotoran para pejalan kaki
Rerintih suara orang menagih janji
Janji dibawa pergi tak kunjung ditepati
Hingga ajal mengajak pergi

Orang-orang ramai menggertak.. menggertak meja melawan lalat tua
Lalat-lalat di atas kopi pagi, lalu kepala mereka dengan mudahnya dihantam belati
Dihantam keras cacian para petinggi, dipaksa turun kasta jadi tahi

Siapa peduli?
Siapa lagi yang punya teman sejati..
Munafik jadinya, tak berempati
Jikalau hari ini malam tak terlewati, maka kau lihat tangis orang buta yang dipasung abadi

Sekujur dosa khianat para penjerat..
Tangis dan tawa nampak senggang terlihat..
Orang buta melangkah tak pasti
Menangis merintih, melihat gulita.. melihat hampa, dibungkus maki

Lantas mengapa?
Istana bapak tua, berdiri megah.. melambangkan tahta, yang dijunjung setinggi-tingginya
Lantas mengapa?
Di seberang bantaran kota, berdiri reyot sekarat... melambangkan jati diri rakyat

Orang buta menangis..
Meratapi segala angan
Tentang keadilan..
Tentang kesejahteraan..
Tentang permusuhan..
Tentang peperangan..
Tentang pembunuhan..
Pembungkaman..
Pembodohan..
Pembohongan..
Tentang hari ini Ia tak lagi dapat makan..

AL, 10/12/2018

'Eks'

Merangkak di belakangku...
Sejuta candu pada tapak yang melangkah dengan ragu
Waktu untuk membunuh
Hanya janji yang lusuh

Tuhan, bukankah kau tahu?
Ini tiada lagi dapat berakhir
Kemudian aku tanyakan...
Tentang penyesalan

Bukan maksudku...
Sebab racun tak berpaling rupa
Ia menghendaki lelaku
Tiada satu mempercayaiku
Maka Ia berikanku nafsu

Pasung, hayatku.

AL, 20/5/2019

'Naungan Atap Terminal'

Seperti biasa... saban waktu sama sahaja
Aku tak buat beda, tentang manusia yang termenung dengan tato menohok sekujur raga
Terbangun di kursi tunggu terminal tua
Dengan bau arak menyeruak dari mulut seorang setengah baya

Setiap bangkitnya fajar ialah awal memanen para fauna
Entah dengan tawar menawar harga, maupun dengan menawan paksa
Di naungan atap terminal, semua terjadi begitu saja...
Tempatku bekerja, megais pundi-pundi uang sewa
Siapa berani ancam mengancam, siapa berani menghina
Sebab bila satu kali ku dengar suara itu menyerobot gendang telinga, maka habis pula nyawanya
Harus pula dipahami, bahwasanya kuasaku menyeruak dari sudut-sudut terminal tua

Seperti biasa... saban hari tanpa makna apa-apa
Hanya orang yang beristri rembulan dan beranak kerlip lampu taman
Hidup menyeret dosa dan mengepul neraka
Kembali tertidur dengan pulas
Di bawah naungan terminal
Berharap esok kembali terbangun dengan nafas.

AL, 17/7/2019

'Mendua'

Beribu tanya ku buka tabirnya
Jelas, bukan hal yang patut diterima
Bukan pula dimaafkan begitu saja
Bila kau tak suka, mengapa tak enyah semenjak lama?
Tak perlu bertanya perihal kecewa
...maupun luka
Tak perlu bertanya perihal cemburu
...maupun hikayat yang t'lah lalu
Bila pada akhirnya setia dibalas mendua
Sadarku hanya bagian dari jantan di ruang tunggu

Malam ini seharusnya kau tahu
Aku bukan lagi lelakimu
Tak perlu engkau berkalang maaf
Menuduh khilaf
Sebab yang ku tahu semenjak dulu...
...ku tak tercipta untuk terlalu lama menunggu.

AL, 17/7/2019

'Insan-Insan Pedalaman'

Mereka yang hidup berkerumun
Membagi mandat, menjaga sarangnya
Yang enggan perduli dengan carut marut mayapada, dengan riuh gempitanya

Yang dinaungi hutan, dipayungi pepohonan
Dimandikan air hujan, dikenyang hewan buruan
Dengan busur panah dan parang dari kayu-kayuan

Insan-insan pedalaman
Kini bersanding kemajuan
Hidup yang diusik deru senapan
Pula bertanding dengan mesin-mesin penggerus peradaban
Hingga ranting terakhir yang jatuh diganti
Dengan tembok beton meluas beruntutan
Insan-insan pedalaman dikalut kebingungan...
Dihantam predator perkotaan
Yang membawa hewan-hewan sebagai perhiasan... tanah yang dibakar menjadi ladang, dan langit yang biru kini menghitam
Insan-insan pedalaman dibuat bingung tak karuan

Kini runtas segala warisan
Kini buta segala arah perjalanan
Insan-insan pedalaman hilang diantara rerumputan
Menggali sendiri ribuan kuburan
Dikucilkan...
Dianggap fauna tanpa pikiran

Insan-insan pedalaman kini menagih dan mempertanyakan
Tentang peristiwa penghinaan
Sebelum alam memberontak
Sebab bagi mereka semesta ialah kawan

Insan-insan pedalaman, jatuh berguguran.

AL, 17/7/2019

'Kumulunimbus'

Rentang berselang, besi terbang hilang ditelan awan
Jatuh berkalang karang, habis dicabik lautan
Burung angkutan kereta kencana
Kini tiada beda

Semoga tenang, semoga diterima dengan lapang
Cerminan hari ini tinggal hikmah yang diambil jangan sampai hilang
Supaya jalan selanjutnya yang dijelang
...
Selamat berdampingan.

AL, 17/7/2019

'Cinta Kerempeng'

Cinta kerempeng, cinta-cinta kaleng
Didukung lagu cengeng
Aku cuma geleng-geleng
Cinta kantong kresek, sebatas celana dalam rombeng

Cinta kerempeng, cinta-cinta jereng
Masa depan ditenteng hompimpa alaihum gambreng
Cinta anak celeng
Berakhir di semak-semak maupun atas loteng.

AL, 17/7/2019

'Kumulunimbus'

Rentang berselang, besi terbang hilang ditelan awan
Jatuh berkalang karang, habis dicabik lautan
Burung angkutan kereta kencana
Kini tiada beda

Semoga tenang, semoga diterima dengan lapang
Cerminan hari ini tinggal hikmah yang diambil jangan sampai hilang
Supaya jalan selanjutnya yang dijelang
...
Selamat berdampingan.

AL, 17/7/2019

'Bau Kentut'

Parlemen bau kentut
Bukan lagi urusin rakyat
Malah urusin perut
Parlemen bau kentut
Fraksinya banyak yang butut
Jadi provokator, jadi biang ribut
Memang bau kentut
Duit orang dikentit, cuma pintar adu mulut

Aparat bau kentut
Bukan lagi kasus-kasus diusut
Tinggal uang selesai tak jadi kusut
Memang bau kentut
Rajanya adu pukul dan adu sikut
Jadi bekingan para kucing gendut
Jadi suruhan para penebar maut

Ormas bau kentut
Biang onar biang kalut
Modal nasi bungkus modal duit
Jadi preman iman
Jadi preman kepentingan

Mahasiswa bau kentut
Jadi biang ribut, biar dibayar asal ikut
Ikut rusuh ikut sebar takut
Ahli ilmu pula ahli gelut

Bacot bau kentut
Retorika jembut
Kompetisi adu saling celat bangkrut
Dunia makin kalut
Diisi kemelut
Dihantam ribut
...
...
Dunia bau metana, bau polusi, bau karbondioksida, karbonmonoksida
Dunia bau kentut!

AL, 17/7/2019

'26/8-7/9-99'

Aku berdiri meracau semaunya, habis pikir, menuntut takdir

Lelah tentang epilog, ku lihat di sini hanya sendiri, tak ada beda lagi

Dapatkah jiwa ku temui? Sebab bukan lagi pengandaian, melankolis pupus atau sekedar mahfuz

Ibaratnya bukan nampak ada sekarang pula, ini menunggu sampai kisah berkerak, sebab dilacuri pula oleh jarak

Demi apapun... dan telaah ini hanya permainan diksi, tak sesukar Fibonacci

Walau ku akui, memang terkadang hanya rekaan palsu, palsu kadang gelap, yang kadang terlampau kalap

Ingatlah selalu, selalu seperti itu dan kuanggap lahir kemudian bertemu, dan mati sebagai satu

Sengak memang, dikau kernyitkan kesal kepadaku, meludah,seakan dari singgasana maharaj!

Enggan melangkah satu langkah maka berakhir dianggap sampah, dianggap mati, namun belum pula pejal langkah terjal, ratu beranjak pergi

Fatamorganaku maka kini semakin membabi buta, dengarlah kau seakan dari tahta maharaj!

Tidakkah kau peka? kalau boleh lebih hina anggap saja iba, tak apa... sudah kadung hilang akal sedari dulu, seakan hidup semu

Ingatlah Ratu, aku bernyanyi dan menulis sejuta frasa tentangmu.. aku tak membual, bukan pula khayal

Adalah yang selama ini aku cipta, darimu segala kata, terkadang aku hampir menyerah, hampir tenggelam hari-hari... hah! ironi

Nafasku sekedar berhembus sekian waktu, dan disana sembari melepas hawa, aku membayangkanmu berulang masa

Nekatku... kuharap sepadan

Terbitlah... sebelum tamat

Imajinasi... nyatalah terjadi.

AL, 18/5/2019

Rabu, 25 Maret 2020

'Jubileum'

...di ujung batang perkara..
Perkara terpatri dari benih-benih terka
...dari tabloid berita..
...dari gosip televisi dan telewicara
Zirah dan panji...
Fat Man... Little Boy...
Dijatuhkan dari peraduan tinggi...
Dihunus di leher tetawan perang
Perang biorama...
Abdi fosil berharga...
Tersutradara...

Washington di mana-mana...
Satu dua kata, perihalnya...
Nafsu utama, terencana..
Rumah pengungsi, malam ini hangus tak berupa...

Dinding sekat tampak mata...
Tampak diada-ada..
Klandestin rupa-rupa...
Washington di mana-mana
Dari Saigon hingga Lima...

Kuda pelana ditanam... meski di ujung dunia..
Liberty tertawa, tawa adidaya...
Sebar rahim Manchuria
Doktrin Truman dan tanah My Lai... dua kisah kadung kontra
Washington ada di mana-mana
Segitiga satu mata...

Juta peristiwa yang tumbuh senjakala...
Dosa-dosa di tanah do'a...
Ada ratusan lisan satu tujuan...
Maka veto barang berharga...

Istilah tak mampu gambarkan segala
Seringai Rushmore...
Rentetan rumor, plutonium dan tumor
Adhesi sebab obligasi, incar tanah teledor
Eleksi-eleksi mengekor, demokrasi kotor..
Lidah kudeta, aksi teror dan genosida horor

Akar segala problema... riuh suara-suara
Madison Square Garden, di sana kemudian terlupa...
Edaran perang beserta edaran traktat
Runtuhan rumah sakit dan anak cacat...
Irak dan Saddam...
Korea, Vietnam..
Abraham menanggung kelam.

AL, 30/3/2019

'Di mana Agamaku?'

Aku lihat Agamaku waktu itu..
Di mana-mana, di setiap kata..
Agamaku ada di kata-kata bijak
Yang disadur lalu cepat beranjak
Agamaku ada di lirik lagu
Yang indah nan merdu
Agamaku ada di ladang debat..
Di pamflet-pamflet
Di spanduk orasi
Ditunggangi..
Agamaku ada di tangan penipu
Meski banyak yang tak mau tahu

Agamaku ada di kertas-kertas koran
Kertas yang dibaca lalu ditinggalkan
Agamaku ada di kampanye pemilihan
Terlihat ramah namun selalu dipertanyakan
Agamaku di mimbar kekuasaan
Agamaku lalu dipermainkan..
Di atas kepala calon bandit perkotaan
Di telapak penebar mudharat kebencian
Dengan mudah dikibuli preman
Didustakan..

Agamaku ada di pelormu...
Agamaku ada di cucuk kerbau
Agamaku ada di caci makimu
Agamaku yang seakan mesiu

Lalu kemana lari filosofi agamaku?
Dimana suara senandung surau itu?
Dimana lantunan lafadz yang merdu?
Dimana mereka yang mengaku guru?

Bimbing aku..
Dan mereka yang sama denganku
Dari dunia yang semakin rancu
Kemunafikan bak benalu

Agar Agamaku tetap bisa kujaga
Dari pagar-pagar berduri huru-hara
Agar Agamaku tetap pada tempatnya
Tanpa dipedihkan gas air mata
Agar Agamaku tak jadi janji-janji penguasa
Diperkosa hirarki, dijadikan senjata
Agar Agamaku tetap murni
Agar ideologi bukan kiasan semata.

AL, 16/11/2017

'Restorasi Para Sukma'

Tentang dosa-dosa, dan upaya durja... pendusta yang berjanji... kemudian kini bangkit sempurna
Cukup klise adanya...

Terkubur dalam lumpur berbatu, lumpur penuh kotoran, suatu asma sekawanan sahib tunggal mata... bangkit dari kematian
Kebingungan, dan delusi menyeberangi praduga
Siapa tak mengenal siapa
...
Restorasi para sukma
Dalam padang pembuangan
Dalam ladang kerangka
Tanpa batu nisan

Suatu masa yang dijanjikan, hingga yang tertiup tertiup terakhir, bangkit tanpa kawan
Segala dipertanyakan...
Yang kerap menanti kini wujud pembuktian
Dan telunjuk akan menunjuk, mengancam dan tak ada suatu akal cukup mampu membuktikan
Restorasi para sukma
Bertelanjang segala
Di muka timbangan...
Pertanggungjawaban.

AL, 12/7/2019

'Srebrenica-Potočari'

Siulan hari semenjak tragedi, dentum laras membisik kenang
Saat ribuan kelakar diujar deras lidah komandan
Berpaling kisah delapan ribu kematian..
Tiap waktu nyaris terlupakan
Terlupakan...
Dosa diujung senapan

Sebuah cerita tentang manusia yang mulai ditawar
Cerita kepala yang mulai dicari tajamnya paruh nazar
Ahh, aku tak tega ungkit cerita..
Dedahan keringpun mungkin akan patah..
Tangisan air mata mungkin akan banjiri lembah
Kerana dengar perihal cerita maut semesta..

Kisah ini, tapal batas.. perihal ras
Yang tak kunjung tuntas..
Sebab cenanga membabi buta, dalih apa yang mampu membela?
Mereka yang sengaja melanglang..
Pula dalih pirang yang lama hilang..
Alibinya mengaku diserang..
Bersama ribu-ribu pengungsi malang..

Yang sembunyi, beruntung, berlari luntang lantung
Yang dicekik mati, diseret, dimaki, ditembaki, digantung..

Desir angin kala itu, berbau..
Sebab tersiram mesiu peluru
Yang ditanam di kepala, punggung, rahim Ibu
Gelimpangan, jelma nyawa tiada dosa
Terkapar: ribuan manusia, bayi, manula, cacat selamanya dan resah cipta luka

Ingatlah, ada yang mati di temaram senja..
Anak manusia..
Dibunuh pula anak manusia..
Tinggal kerangka, di sabana Srebrenica
Di rumputnya: darah, dan guguran tanah kubur, dari roh yang bertanya, "Sebab apa?"

Iblis itu, berwujud manusia, masihlah ada..
Nyawa tua, muda, wanita, balita, ditawar harga..
Meski tak lama: melayang jiwa-jiwa
Rentetan peluru dijadikan pelaku..
Serigala gunung tak sudi turun
Lalu sengaja termenung, hindari kurung

Jeritan insan tanpa nisan..
Yang hingar bingarnya tak dihiraukan..
Srebrenica..
Lumbung kematian..

Nyawa tak berdosa kini di bawah tanah
Terkubur bersama sumpah..
Sumpah bendera setengah tiang
Bendera mereka yang diserang

Mereka berteriak pada bintang..
Mereka berupaya pada nyanyian masa lalu para binatang
Maka dengar dan abadikan; perang tak melahirkan siapa yang menang..
Ia rahim bagi jutaan luka untuk dikenang

Srebrenica.. kala sembilan lima..
Tak terlupa..
Kerak darahnya..
Di tangan para terduga.

AL, 10/1/2017

'Gender Camp #1: RUU PKS'

RUU PKS adalah sebuah cerminan akan banyaknya permasalahan syahwat di negeri ini, masalah yang terkadang akut dan tak sanggup diredam lalu berhenti, masalah yang berlanjut sejak dijajah kompeni hingga zaman maunya sendiri, masalah tentang sejengkal dibawah perut yang terkadang buat dahi mengkerut, permasalahan kemelut yang tak kunjung selesai diusut

Maka kini kita disuguhi asa, tentang jawaban dari soal yang sulitnya tak terkira, tertuang dalam wacana perihal Undang-undang anti nafsu berandal, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Namun kawan, sejatinya pro-kontra itu wajar terjadi
Ini negeri demokrasi bukan negeri milik pribadi, harus ditanggapi dengan kepala dingin bukan kepala berapi-api

Sejatinya kekerasan seksual adalah hal yang tidak terpuji, bahkan seringkali pelaku tumbuh bak bersinergi, maka dari itu dengan adanya RUU PKS, adalah suatu harapan bahwasanya harga diri tak boleh kempes, maka penuntasan kasus haruslah beres

Untuk kita para akademisi....
Entah swasta atau negeri, pelecehan seksual tak memandang di mana Ia berdiri, Ialah parasit berupa rupawan nan berduri, maka dari itu sebagai pelopor angan negeri, maka penyimpangan harus kita lawan dan hadapi, bukan hanya menanggulangi tapi dicegah supaya tak mudah merasuki

Malam kawan, semoga di lain hari kita bisa lagi bertatap muka untuk berdiskusi, entah dengan ditemani senja hari atau hanya duduk dengan seruput kopi...karena disana kan lahir rahim-rahim solusi yang lahir dan enggan diaborsi.

AL, 15/3/2019

'Aku Adalah Tersangka'

Aku adalah tersangka...
Yang menyisihkan waktu
Membubuhkan kata

Aku adalah tersangka...
Yang menatar makna
Dalam frasa
Untuk menggoda

Aku adalah tersangka...
Yang banyak bicara
Sebab adinda
Enggan bersua.

AL, 2/7/2019

'Insan-Insan Pedalaman'

Mereka yang hidup berkerumun
Membagi mandat, menjaga sarangnya
Yang enggan perduli dengan carut marut mayapada, dengan riuh gempitanya

Yang dinaungi hutan, dipayungi pepohonan
Dimandikan air hujan, dikenyang hewan buruan
Dengan busur panah dan parang dari kayu-kayuan

Insan-insan pedalaman
Kini bersanding kemajuan
Hidup yang diusik deru senapan
Pula bertanding dengan mesin-mesin penggerus peradaban
Hingga ranting terakhir yang jatuh diganti
Dengan tembok beton meluas beruntutan
Insan-insan pedalaman dikalut kebingungan...
Dihantam predator perkotaan
Yang membawa hewan-hewan sebagai perhiasan... tanah yang dibakar menjadi ladang, dan langit yang biru kini menghitam
Insan-insan pedalaman dibuat bingung tak karuan

Kini runtas segala warisan
Kini buta segala arah perjalanan
Insan-insan pedalaman hilang diantara rerumputan
Menggali sendiri ribuan kuburan
Dikucilkan...
Dianggap fauna tanpa pikiran

Insan-insan pedalaman kini menagih dan mempertanyakan
Tentang peristiwa penghinaan
Sebelum alam memberontak
Sebab bagi mereka semesta ialah kawan

Insan-insan pedalaman, jatuh berguguran.

AL, 17/7/2019

'Residente'

Bermacam kontrol
Berjuta agenda
Bersebaran armada
Memperalat alutsista

Penghilangan para pengungkap
Pembunuhan berencana
Nepotis bersekutu
Kuantitas berimbang
...perihal pembagian kuasa

Lingkaran setan
Tanpa henti
Satu orang ditemukan hilang nyawa
Sebab banyak bicara
Nominalnya tak terhitung lagi

Bisnis tetap bisnis
Tuhanpun tak perlu digubris
Kebenaran adalah cerita mistis
Kebohongan kan selalu manis

Informasi akan terus disaring
Penduduk akan digiring
Pemikiran akan digunting
Disesuaikan tendensi drakula bertaring

Bila hadir momentum
Akan dihardik sebab itu tak umum
Dan vaksin anti-tesis akan disuntikan
Propaganda akan menjadi serum

Bermacam cara
Berjuta aparatur
Bersebaran pendustaan
Diperalat majikan
Maka mereka akan melawan...
Dari beragam penyuara
Berjuta tanah kubur
Bersebaran pemikiran
Diperalat kesadaran.

AL, 10/7/2019

'Kucing Kampung Dan Angora'

Cerita metafora
Dua mahluk spesies sama, beda rupa
Pula roman, pula harga
Kucing kampung dan Angora
...
Kucing kampung dan Angora
Jelas beda nasib bukan sekedar beda nama
Kucing kampung terkadang hidup dalam pekat jalanan, kucing Angora hidup dalam istana
Kucing kampung makan ikan sisa, kucing Angora makan dari Mall bintang lima
Kucing kampung berkilo-kilo tapaknya memaki jalanan, kucing Angora gemuk tak karuan sebab lupa cara kelaparan

Bila bicara harga diri, mungkin kucing kampung tinggal kerangka
Sementara harga selangit sudah takdir si Angora

Kucing kampung kadang meradang...
Ditendang... dilempari tulang sudah nasib kucing kampungan
Kadang disiram comberan, dipukuli hingga pingsan berjam-jam
Meratap hidup sebab anaknya terkadang mati hasil hubungan sembarangan
Dituduh maling, kadang ditangkapi... disuntik kebiri
Kucing betina mandul... yang jantan impotensi
Sungguh ironi nampak kucing kampung menatap saudaranya sendiri...
Si Angora gemuk lahap makan termenung acuh tak perduli
Nongkrong depan Televisi, di pangkuan majikan sudah nikmat sehari-hari
Kucing kampung dan Angora
Beda jenis beda kasta...
Beda nasib beda harga

Sebuah hikayat metafora
Tentang hidup yang tak berjalan semenjana
Kala nikmat yang tiada tara berpaling muka, kepada suatu rupa sengsara...
Kucing kampung dan Angora
...
...
Menghidupi ambang kasta.

AL, 17/7/2019

'Janji Bulan Agustus'

Berdiri tegak
Tiang-tiang singgasana sang saka
Di desa, kota, di mana saja
Kibarnya bagai merekah
Dibelai angin menggugah
Nyanyian tanpa lelah
Meski dirundung susah

Lalu sebuah tanya
Tiada lagi punya makna
Cerita nafsu birahi yang berkuasa
Singkap sebuah nyata
Setelah kita lihat dunia
Sang saka bagai merintih
Melihat pertiwi semakin tertatih

Sakitnya selalu terbayang
Pedih tak tertahankan
Bumi pertiwi kini
Dicongkel wibawanya
Oleh pandu-pandunya

Tanah ini yang ramah
Jadi gudang segala amarah
Tanah yang katanya indah
Jadi tempat sandaran setiap resah
Sila-sila yang kau hafal di dalam kepala
Yang diperkosa brengseknya penguasa

Dayanya diperah
Cengkeram garuda bagai lemah
Tanah alibi
Tanah segala ironi
Tanah janji
Tanah keadilan yang bersampul janji

Sang saka bukanlah kain murah
Tiangnya bukan tiang patah
Tercipta dari kerak-kerak darah
Mereka yang gugur berkalang tanah
Kini sekedar gurauan
Anjing berupa setan
Kini sekedar hafalan
Dan lantangnya suara nyanyian

Sembuhlah kau Ibu Pertiwi
Kembalilah satukan jiwa
Menuju peraduan tanpa air mata
Yang kian kusut ditelan masa

Yakinkan kami
Tentang masa penuh mimpi
Agar kami bisa bicara
Tunjukan pada dunia
Kami bukan sapi pembajak
Yang habis direnggut kuasa congkak
Kami adalah cita-cita
Yang semoga diharapkan oleh nyata.

AL, 30/9/2017

'Seruak Tanah Khatulistiwa'

Pancaran romannya... runtut nusa di bawah cakrawala
Ladang yang tumbuh apa saja
Menyeruak memanggil...
Zamrud khatulistiwa

Anugerah yang datangnya disyukuri
Tanah yang beruntung diwahyukan beribu rizki
Tiada umpama mampu memberi ibarat
Tiada istilah memberi isyarat
Akan tumpahnya nikmat
Di tanah yang diberi mandat

Dari timur hingga ujung barat
Dari selatan hingga utara, dari mana semenanjung hingga selat
Tiada terlewat...
Di antara pijak-pijak, tanah yang subur bermacam tempat

Seruak tanah khatulistiwa
Pula berbhinneka insan yang menaunginya...
Tanah mustajab, atap segala warisan
Yang pinta lestari, pinta dijaga
...
Supaya tak terkucil di rumahnya
Tak termakan tikus-tikus liar
Agar panjang berusia... berumur selamanya
Tak berkarat, tak sekarat
Tanah yang pinta simpul... pinta mufakat berkumpul
Tanah yang diberi mandat, tanpa prasyarat
Rawatlah rawat, jagalah jaga... meski daun terakhir gugur di dunia
Tinggalilah... kenalilah
Tiada sembarang mendabik pula kerana kekayaanya, sebab mulia tetap kepada kuasa-Nya
Maka lestarikanlah, maka naungilah
Dengan sentosa... mengaitkan hasta
...di seruak tanah khatulistiwa.

AL, 17/7/2019

'Biduan Desa'

Biduan desa, kembang jelita
Abang terenyuh mendengarmu bersuara
Menaruh rasa terhadap kata-kata
Beriring dengan nada

Biduan desa, bunga ayu nan muda
Abang harap kita dapat bersua
Supaya abang tak terus menerus dipasung imaji belaka

Kasihku, kasih yang ku pinta
Biduan yang cantik nan jadi sasar pujian mata
Maukah bersanding dengan abang?
Yang sekedar sudra dan hidup seadanya
Hidup dari mengais rizki dari kuli hingga pekerja yang kadang didustai gaji

Sudikah berdua seatap dengan abang?
Pemuda jelata dan hidup dari mengumpulkan pundi-pundi keringat
Pundi-pundi yang kadang tak diharga
Kadang pula mendadak di-PHK, digantung outsourcing hingga dipaksa lembur tanpa tambahan dana

Kuatkah sayang dipinang abang?
Yang sedari dulu sering ikut demo, sering diincar polisi huru-hara, mata yang kenyang gas air mata
Sebab melawan majikan, melawan kucing-kucing tua

Oh biduan desa, putih mulus dan anggun rupa
Abang mencintaimu tanpa pinta apa-apa, hanya sekedar setia menemani dari kini hingga usia beranjak senja.

AL, 15/7/2019

'Bingung'

Kamu ini kenapa?
Kadang mau, kadang menghina
Aku ini sudah kadung lama
Jangan khianati pula
Jangan buat aku putus asa
Apalagi putus jiwa
Jangan pernah!

AL, 16/7/2019

'Hok Gie'

Tiada hidup berjalan wajar
Ketika Ia berkelakar
Ia hidup di segala kematian
Ketika sunyi memena tulisan

Sulit bagi diri untuk tak perduli
Yang ia perlakukan terhadap kritik dan aksi
Ada kuda pacu berjalan sendiri
Dengan bunga layu di antara dua sisi

Yang memandanginya di tepi bantaran kali
Yang menatapnya di reyot gubug miskin
Yang menerornya dengan belati
Yang mengincarnya dengan senapan mesin

Seakan semesta memakinya
Kala ia terlibat mengangkat senjata
Senjata yang berada di tulisan berbahaya
Ia haramkan gentar
Ia tetap berujar
Bercengkerama dengan senja, bercengkerama dengan tepian serakah

Maka biar Ia tenang diselimut awan
Diselimut malam
Diselimut cerita
Tentang frasanya yang tak pernah tenggelam
Tentang kisah Sang Demonstran
Yang mengalir dari arteri perlawanan
...
Ini mungkin yang mesti diperbuat, sebab hidup hanya berakhir satu tamat, meski satu jalan hanya di secarik catat, tentang melawan dengan pertaruhan harkat rakyat, lebih mulia ketimbang hidup dipertunduk; dilumat bajingan, ditelan bangsat.

AL, 15/7/2019

'Zirah'

Zirah usang, di medan perang
Yang menempel di kerangka dan tengkorak
Dengan perisai kayu dan tombak
Jasad-jasad layu di medan gersang

Zirah dari yang hilang, di palagan tanpa pemenang
Yang tergeletak bersimbah darah dan bersimpuh pada arena jadah
Kini nyawa terakhir t'lah tiada
...memandang kolega yang habis ditikam semiotika, dan telunjuk perwira di dalam geladak baja

Zirah yang dihadiahi kenang, penghormatan bintang, takdir yang dicipta sengaja dibuang
Kini nyawa terakhir menunggu harinya tiba
...menantikan hari mereka, di meja perjamuan selamat datang

Zirah yang dibuat dari besi-besi karatan
Jelang hari tanpa surya
Esok kan kembali menatap kenyataan...
Dari jari jemari sang raja yang haus akan hiburan
...di medan gladiator dan pengkultusan
Kultus akan siapa yang kemudian angkat kaki
Atau angkati saudaranya...
...di peti mati.

AL, 28/7/2019

'Setiap Jengah'

Terkadang aku mengaku kalah
Dengan tatapan itu
Setiap jengah...
Kutatap lagi dua mata belo, tak lekas jemu

Di waktu malam minggu...
Pun aku tak keluar sarang
Cukup mengobrol semu
Dengan suara bayang

Ah...

Terkadang takut tentang cerita yang kan datang...
Terlebih dahulu pesimistis
Terlebih lagi aku hanya kalangan anak bawang
Bukan elitis...
Bukan petik jempol nasib langsung berubah drastis

Oh betina...

Kalau tak sudi tak mengapa...
Modalku bukan modal bintang lima
Atau pangkat sersan dua
Modalku cuma kalimat-kalimat filantropis..
Yang memang bak sandiwara
Tapi bukan yang kau kira...
Tak sekedar berhenti di ujung wacana.

AL, 25/3/2019

'8'

Dan...
Sama pula suatu dongeng
Cerita tak ada berbeda
Dari negeri kerangkeng

Dan...
Nampak pula telaah mati
Yang gugur tak pernah terganti...
Semenjak terakhir kali...

Kau...
Meski t'lah berganti mahkota...
Meski tak lagi anggap sama
Garis derita beda cara

Maka
Kau
Suara-suara dijagal

Diam
Kau
Jegal, dan asasi dipenggal

Ibarat nafas dalam ombak, nelangsa entitas sendiri, idealis abadi
Nampak ejakulasi, geliat angkara rusak adanya
Derma amarah manusia akhir-akhir ini
Orang-orang rela antre nikmati gemulainya
Neraka adakalanya mendekat, umpatan negeri
Ego rupawan entaskan keyakinan, sejalan iman
Sebab orang-orang ajar lisan
Ikatan manusia antarkan nestapa
Ajari gerombolan agungkan manusia... Ajudan.

AL, 26/5/2019

'Halaman Belakang'

Semenjak nafsu...
Semenjak kau beranjak berlalu...
Nada dari nyanyian Ibunda
Kini renta dan dianggap fabel belaka...
Mari ku tunjukan... lewati jalan setapak
Mari ku perlihatkan... jalan-jalan kering retak

Flora menuntut dari embun-embun pagi...
Dari surya menembus tanpa terhenti...
Longsoran tanpa prediksi...
Bah tanpa Musa
Tanah tanpa hawa
Humus limbah, ranting-ranting jelma Sahara

Mengapa kelakar?
Ibunda jatuh sakit tak tersadar
Maka anak-anaknya...
Berhamburan, menebar kasar...
Seruan, dan ajar
...ajar cara melacurkan tragedi, dan perkosa tanah sendiri

Halaman belakang tak lagi hijau...
Ditenggelamkan meja-meja gurau...
Yang sumbangsihkan hasil...
Jerebu keparat dan ladang bangsat
Maka Ibunda kehilangan cerca asa...
Sebab durhaka adalah utama
Dibanderol harga...
Dan detak Ibunda perlahan hampa.

AL, 5/4/2019

••••
Laju deforestasi di Bumi antara 2014 dan 2016 mencapai 20 persen lebih cepat ketimbang dekade silam. Artinya dunia kehilangan tutupan hutan hampir seluas pulau Jawa setiap tahunnya.
Temuan ini didapat antara lain melalui analisa citra satelit.

Meski upaya menghentikan deforestasi telah berlangsung selama beberapa dekade, sejak tahun 2000 hampir 10 persen hutan alami mengalami fragmentasi, degradasi atau ditebang.

Laju kerusakan hutan pada 17 tahun pertama abad ini mencapai 200 kilometer persegi setiap hari. (Kompas)

'Memorandum'

Markah seakan gambarkan segala..
Yang tampak di mata, tanpa sengaja bermunculan terka
Bramacorah, hingga mata-mata yang mengaku bicara apa yang ada...
Bicarakan tentang suatu insan..
Yang mereka anggap t'lah lama tiada
Dikubur perkara..
Ditenggelamkan biorama fana

Seringai dan wicara seakan ketahui cerita isi semesta
Menghardik insan tanpa ketahui asal mula
Maka pamflet-pamflet tersirat dari ratusan tatap mata
Bicara padaku tentang hari-hari..
Tentang jejaka dan kematian kata-kata
Tentang hari ini terbunuh oleh pengadilan pena

"Aku masih disini!" maka dengar kala mulutku jelaskan segala...
Yang kau tahu mungkin sekedar wajah tanpa nama
Telaahmu tak cukup buatku sengsara
Aku disini, beserta kertas-kertas yang dibungkus jalan cerita

Menghardik, aku tak anggap itu budaya..
Biar tunjuk rupa sendiri, bukan ku tunjuk paksa
Sekedar bahagia semu.... bak serigala mendapat mangsa..
Biar cerita perlahan merangkaki bab-bab dengan senyap tanpa suara...
Dan buku-buku di rak tua pada akhirnya...
Menatap mata-mata pongah, memorandum kan tercipta... yang ku tuai bukan sekedar retorika.

AL, 23/3/2019

'Gamang'

Diamlah... mereka akan mendengarmu, dari sudut-sudut Istana dan sindikat sejuta mata
Seperti yang kau lihat, bajingan di sana sini... berulang kali menukar waktu, diombang-ambing mati
Diledakan meriam... diincar bungkam, dibekam diam, bersuara dalam makam

Diamlah... kecoa mata-mata disekeliling, menatap tak berpaling, sensitif bau lembing..
Seperti yang nampak ada, ceceran darah disebabkan tanya... Hati bergelimang ego, dimenangkan nama
Riil adanya, fundamen falsafah... di atas segitiga, rantai makanan bernaungnya

Diamlah... lakukan semestinya... jika yang nampak mata ditakdirkan binasa
Merangkak... masuki gorong-gorong, bau kolong-kolong, tuju para pembohong

Tetap menantang... Enggan diri gamang, meski tidur beralas pedang... yang ada hanya menang.

AL, 30/3/2019

'Kanan-Kiri'

Hardik perantara tunjuk jari, namun tiada bukti...
Probabilitas mengumbar jati diri...
Nifak massal segala lini...
Kawanan cerca balas memaki...

Seakan arena sabana
Ribu gegabah pekak telinga...
Lara terasa... sebelum empedu ditelan bersama

Dendang khianat...
Tendensi jerat
Janji kerabat...
Tersirat jabat

Maka martir-martir tolol pasti terlupa...
Oleh gembalanya...
Kemudian terhenti dalam surat wacana
Ejakulasi dini janji-janji
Ludahi berulang kali... bramacorah lahir saban hari
Memang jalan takdir
Wajah serupa kanan kiri
Tak habis pikir...
Sebab pikir cuma sekali.

AL, 4/4/2019

'Katalis'

Renangi jauh kompetisi...
Kala kau acuh satu yang pasti
Kembalilah nanti...
Kerana semua
Tak abadi...

Lihatlah insan ramai mendagi...
Menaruh nara di ladang mati...
Maka usaikan dan lekas kembali
Fatwa alam tak bisa kau dustai..

Renta akhir catatan falsafah...
Tujuan hidup sekedar resah..
Kembalilah...
Sudahi lelah...

Kendati diri coba hindari
Yang kan datang takkan terhenti
Pulanglah kini
Lekas akhiri

Juta problema... tanpa solusi
Kian hari semakin menjadi
Katalis menjawab pasti
Satu insan berserah diri...
...lagi
....mati.

AL, 29/3/2019

••••
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap 40 detik, seseorang di dunia mengakhiri hidupnya. Angka ini setara dengan 800.000 juwa setiap tahun yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri. (VOA)

'Pancasona'

Ku panggil lirih...  kau yang berbaring
Yang bersamaku, jiwa-jiwa nir nyawa
Angkara, dan sifat prasangka
Waktu bersurai kelam...
Nyawa tenggelam... yang sumbangkan dendam...

Maafkan aku...
Kesekian kali, hidupku rasa tak lagi arti...
Jika yang ada, dendam kesumat...
Tak diungkapkan, hanya dijerat...

Di malam ini... kau lihat sepi
Ku panggil lirih... roh orang mati
Sampaikan salamku... pada Ia, yang buatku murka, berikan tanda...

Pancasona... dan mantra-mantra...
Tolong katakan... perihal dosa...
Dan kini kuungkapkan cerita lama..

Ku tak perduli, entah itu pedang atau belati..
Kesankan aku...
Akhiri Ia...
Ku panggil namamu, dalam durja

Yang ingin ku tahu...
Segera usai, dan darah berderai
Sampaikan padanya..
Kisah lama
Hari ini, tak lagi ada

Pancasona... dan mantra-mantra...
Tolong hantarkan detak terakhir...
Bawalah Ia dalam getir...
Dendamku kini harus berakhir.

AL, 30/3/2019

'No. 169'

Adakalanya wibawa perlambang petaka
Hipnotis mata andalkan rupa, mencari peran, mencabik mangsa
Satu-satu turuti apa yang begundal kata
Niscaya ratusan burung gagak mengepak ancam mautnya..

Ini derita dari tangan-tangan perkakas para pesuruh
Dari situ tercipta bau-bau kencing para musuh
Jika aku hitung berapa peluh ku dapat dari pakaian compang-camping nan lusuh
Maka bisa ku cipta samudera sebagai alas kayuh

Ohhh begundal-begundal dari telaga dosa penuh asam
Kenapa hantar lagi nama-nama yang mencoba berdiri dari suram
Mengapa engkau siram lagi harga diri bagaikan mereka sekedar nyawa yang sudah tak punya arti?
Ohhh melepuh sudah kulit pendosa kerana air panas yang membasahi muka
Tak lagi punya rupa, malu sekedar judul belaka..

Inilah kesekian kalinya..
Totalitas para penggagas
Merobek moral bak penindas..
Dosa mengalir deras..
Nafas dialiri minuman keras.

AL, 11/12/2018

'Sumpah Jabatan'

Aku bersumpah..
Atas jabatan..
Atas segala gaji dan kenaikan
Atas segala absensi rapat untuk liburan
Atas segala kepentingan pribadi dan golongan
Atas segala dalih merongrong uang negara
Atas segala kebutuhan yang tak penting namun masuk anggaran

Aku bersumpah..
Atas nama atasan..
Yang berbagi keuntungan
Atas dasar kesetiaan
Dan mencari penghidupan meski sudah kaya raya, mobil mewahpun berjejeran

Aku bersumpah..
Menjunjung tinggi martabat
Martabat komplotan bukan martabat rakyat
Atas segala hiruk pikuk rapat
Atas segala bagi hasil yang kami dapat

Aku bersumpah..
Menjalankan segala kewajiban
Jika di sana hadir kamera dan wartawan

Aku bersumpah..
Menjalankan misi mensejahterakan
Antar kawan dan anggota keluarga supaya mapan

Aku bersumpah..
Untuk setia hadir dalam masyarakat, hadir berparade
Itupun jika waktu tiba untuk berkampanye

Aku bersumpah...
Menjalankan apa yang rakyat titipkan..
Rakyat ingin makan..
Kami wakilkan..
Rakyat ingin liburan...
Kami wakilkan...
Rakyat ingin gaji menggiurkan
Kami wakilkan...
Rakyat berseteru...
Kami selalu ikutan
Sebab lumbung pertikaian
Bagi kami sangatlah menggiurkan..

Kami bersumpah..
Untuk tak dilengserkan
Jika berani...
Entahlah, sebab kami tak perduli.

AL, 8/1/2019

'Semalam Suntuk'

Semalam itu, keluh dan peluh seorang penata diksi
Kemanakah pergi?
Semalam suntuk mencari-cari
Kalimah yang hilang, yang Ia nanti
Semalam suntuk saban hari
Mengernyitkan kening seraya berkelakar semaunya sendiri
...
"Tiada pas, tiada harus seperti ini"
Kecewa beraduk emosi
Semalam suntuk tak sanggup lagi
Penata diksi kian dibawa ambisi
Pena berubah belati
Jatuh tersungkur... beserta tulisan terakhir tentang siul depresi, yang ditulis di secarik kertas, dengan pena bertinta darah nadi.

AL, 18/7/2019

'Ya Sudahlah'

Sindikat melekat di atas mimpi berkarat
Bandar judi duduk di kursi hasil mencuri
Hasil mencuri, satu komplotan dapat komisi

Dapat komisi; oknum licik, oknum tengik, tiang listrik

Ahhh...
Tetapi aku tak mau tahu..
Sebab aku takut dibelenggu..
Ya sudah kalau begitu..
Bandar judi adalah panutanku..
Bau tubuhnya adalah residivis tak tahu malu
Ya sudah kalau begitu..
Aku ikuti saja.. barangkali sekebal itu..

Biarlah..
Aku dikangkangi tikus..
Setidaknya tikusku pintar..
Tikus culas, ahli peralat cicak
Tikus buntung, tetapi Ia pandai mengelak.

AL, 31/3/2018

'Sajak Tak Dipotong Pajak'

Ini bukan sajak
Tak kandung kalimah bijak
Tak buat terbelalak
Sekadar ujar mendadak

Ini bukan sajak
Pikirku lagi sudah penuh kerak
Akalku sudah lama terkoyak
frasaku sudah sedari dulu tak sanggup berlagak

Ini bukan sajak
Sekedar kata beruntut rima dari pendam diri yang sesak
Kini keluar begitu saja bak tersedak
Ku tulis dalam kertas maya
Supaya tak kena potongan pajak

Ini bukan sajak
Ini muntahan rindu yang lama ku tenggak
Tak lagi lazim hanya kerana itu, lelaki berteriak
Dari sini maka kuat percaya ku pantak

Ini bukan sajak
Tak bermaksud goda dikau supaya lunak
Tak bermaksud jelma sandiwara penuh duri landak
Tak bermaksud jelma pujangga asal gertak

Ini cuma barangkali

Barangkali takdir mengajakku beranjak
Temui dikau bersama Emak dan Bapak
Tak lupa ku beli dahulu satu nampan martabak
Ku tahu Bapakmu galak

Maka tolong....
Maka tolong percayaku jangan adinda rusak
Ku titipkan adinda dalam sangkar petak
Sebab sebentar..
Sebab sebentar dikau ku tinggal berak

Ini bukan sajak..

AL, 28/12/2018

'Dewa Penguasa Raya'

Ini sajak aku cipta..
Dari panggilan para dewa
Yang memancingku bicara..
Sebab banyak cerita..
Harusnya cerminan batara kala
Kuat tiada tara..
Ya, kuat dan perkasa..
Tak sanggup kusentuh..
Atau tanganku melepuh..

Hai Tuan..
Tidurlah, meski tidur terduduk
Memang tak baik banyak mengantuk..
Hai Tuan..
Amuklah, ramai-ramai mengamuk
Tak baik amarah banyak ditumpuk
Hai Tuan..
Mintalah, apa yang diminta..
Tak adil rasanya birahimu dibagi rata
Hai Tuan..
Ambilah, bawa apa yang ada..
Tak elok rasanya kesempatan dibuang percuma

Haha.. tawaku adalah lagu untuk itu
Haha.. kebalmu segalanya kini..
Haha.. dewa-dewaku yang banyak merindu
Rindu nyanyikan lagu-lagu merdu
Rindu syahwat saru..
Rindu pulang pergi sambil lalu..
Rindu komisi, rindu setara plat nomor satu
Rindu Tuan dermawan, tuan bagi-bagi jatah modal malam minggu

Haha..
Tapi Dewa ku juga cantik dan tampan
Dewa.. yang rupawan.. mendayung sampan
Tuju peraduan, tatap impian
Impian di hati kalian
Ya.. meski impian tak kunjung sampai, setelah itu keras dijatuhkan
Hai Tuan..
Kami kalungkan..

Aku tak sanggup daya upaya
Mengalah sebagai hamba
Di ujung kaki singgasana
Sekedar pengantar pesta..

Hai Tuan.. jutaan kepala segera penuhi penjara..
Dari jari.. dan kalimatmu saja..
Hai Tuan.. jutaan mata akan mengutuk senja
Dari pelosok.. hingga gedung kota
Hai Tuan.. jangan acuh atau engkau menjelma bulan-bulanan..
Hai Tuan.. pantatmu seharga miliaran
Dari kantung kita..
Rawat dan jaga..
Kalau lepas..
Pantatmu kami sita.

AL, 15/2/2018

'Aspartam'

Layar kaca.. dominasi manusia, terpampang tarian-tarian nirwana di lubang jahanam
Haram jadah terus menerus bicara entah kapan berkalang diam
Layar kaca... aspartam dunia, palsu dianggap ramai.. kini ditelan mentah bak adiksi
Maka lihat jelaga kepalsuan-kepalsuan dibangun atas pondasi-pondasi materi
Aku bicara, dalam mulut yang dicipta tak sempurna, sementara sisa-sisa mulut menganga gagap.. tak peduli jendela pagi ini mendadak gelap
Di sana ludah-ludah tikus membungkus tubuh para pengurus...
Maka perihal itu dijadikan alasan.. tentang pembantaian moral, pemotongan falsafah yang tinggal kerangka pajangan

Rebahkan kaki di atas sofa.. melihat ribuan penaklukan atas jiwa-jiwa yang tak berhak dihanguskan
Dianggap drama murah, dijadikan cerita gurauan biasa..
Sementara korosif membantai pikiran, karsiogenik menggerogoti iman.

15/7/2019

'Sepiring Berdua'

Kau tunjuk rona, mewarnai langitku...
Yang kita tatap sama, di bulan lalu...

Jatuh berumbai... di atas teratai
Dingin merdu tak lekas usai
Hasta berbalas sentuh...
Kisah tak lagi keruh...

Sepiring berdua...
Dua rupa, dua bola mata...
Nada balalaika riuh suasana
Buai mesra lisan berkata
Tak lagi kecewa, menunggu terlalu lama...

Kini aku temanmu...
Teman hingga nanti...
Sepiring berdua...
Sampai pada waktu mengajak pergi...

AL, 30/3/2019

'Serambi Kamar Mayat'

Terlampau mendidih, hari ini akan panasnya nafsu pembalasan dendam
Para nomad beranjangsana di ufuk sengsara, yang sengaja ditaruh untuk melumat nyawa-nyawa
Serambi kamar mayat ditengarai diduduki penjerat
Dengan prasyarat bahwa kematian disebut sebagai akibat
Sementara tuksedo Bangsat sama sekali tak tersentuh jasad
Hanya ada bekas lipstik lonte... uang sogokan rakyat, dan sumbangsih penjilat

Serambi kamar mayat yang berisi peluru serta mesiu dari sumbangan orang tak mampu
Dan anggaran dari upeti pengrusakan
Dan armada alutsista yang dipakai membunuh tergugat
Untuk merebut lahan dan hak para serikat
Untuk menjadi anjing penjaga gerbang-gerbang bejat

Tolol dalam kontrol, dicekoki cek kosong dalam surat botol
Tolol dalam kontrol, sampai mati bersekongkol

Serambi kamar mayat, teras-teras hikayat
Perihal persekutuan bangsat
Racun-racun yang dibuat
Diminum kala pesta perayaan
Dari penghasilan hasil pembantaian
Yang saban waktu meningkat pesat.

AL, 11/7/2019

'49'

Dan masih berjalan
Benah kehidupan
Aku disini
Di pangkuanmu..
Maafku, sebab belum mampu
Memikul sendiri semua benalu

Terimakasihku...
Yang senantiasa kusandingkan
Di atas surat tanpa tulisan
Di atas kertas nota tagihan...
Yang kubawa dari tanah rantauan

Terimakasihku..
Atas apa yang nyata engkau berikan...
Seringkali mungkin ku banyak bertingkah...
Selayak bajingan...
Namun yang terngiang kau balaskan
Seruan kebajikan...
Kala kini kau nikmati...
Yang keempat puluh sembilan.

AL, 21/4/2019

'Toleran'

Kepalsuan itu senantiasa membatu, dan durja keras menggerutu
Bukankah jiwa tak toleran?
Menerima masukan yang tak sesuai kodrat
Namun itu terjadi, dan menjadi kebiasaan
Kalakian, kejelasan semakin buram, tawa hanya akan muncul ketika terjadi penghilangan nyawa
...dan kebahagiaan hanya milik pembunuh berantai
....
Epilog yang terjadi, kemudian apa boleh dibuat?
Yang tersirat semakin tersurat
Bukankah jiwa tak toleran?
Dirasuk oleh kompetisi sabung
Dengan kaki dirantai pasung
Kalakian, kerancuan adalah satu-satunya jalan, senyuman hanya milik pemenang di pengadilan
...dan keadilan akan muncul sebagai tendensi supaya sesuai keberuntungan
...
Maka bolehkah berkata bahwa Russian roullete adalah kita?
Sulit menyanggah bahwa kita hidup memang saling mengorbankan
Lantas apa beda kala kau berkata bahwa maksiat itu sebuah dosa...
...sedangkan kau sendiri meraup untung di arena perjudian.

AL, 3/9/2019

'Mangkat'

Ketika kali terakhir ku dengar nafas terambil...
Pada jengah langit malam
Engkau lama terbaring sendiri
Jelas langit tak sudi...

Lalu mereka merenggutmu...
Kini sampaikanlah... bahwa kau pergi membawa banyak pesan
Kini kau bersamanya...
Engkau pulang!

Kelabunya rona hari...
Roman itu menghitam, dan mendung menghujam
Pada mangkat pertengahan malam...
Nafas yang terakhir dihela, dihembus tenang...
Pada salvo perpisahan
Ialah perelaan...
Kini kau ditemaninya...
Engkau pulang!

Maka katakan padaNya tangismu
Maka katakan padaNya keluhmu
Waktumu t'lah datang
Kini kau dihantarkannya, tatap yang kau percaya
Tegakan kepalamu, tegakan kala kau disuguh tanya
Engkau pulang!

Maka katakan padaNya semua bisumu
Ketahuilah... dahulu aku amat sering mendengarmu
Dari tetes air mata tanpa alasan
Maka sakitmu tempo lalu adalah pertanyaan
Dan lelapmu kini adalah jawaban
Lelap yang datang tanpa tanda
Tanpa ronta dan tanpa nampak jerit derita
....
Perihal hari-hari mengenai pertanggungjawaban
Serta pengadilan langit
Tetaplah pada keniscayaan
Namun mereka akan lebih dulu mengenal namamu
Dari segala ayat yang lirih kau lafadzkan
Dari lantai yang retak kau hantam
Dari pilar-pilar yang kau dekap erat
Dan jalan juang yang tak kau singkat
...
Dalam tenang
Mereka akan segera datang
Katakan dengan yakinmu di hadapanNya;
Katakan padaNya;
"Ini rumahku. Aku kembali, dalam abadi, aku datang... aku pulang!"

AL, 3/10/2019

'Hulu'

Rancu huluku tabu...
Dendang tak lagi syahdu
Trauma masa lampauku
Mendabik diri selalu

Rancu huluku tabu...
Fana merah dan seksi biru
Bayang masa lamaku
Mengarahkanku tanpa ragu

Rancu huluku tabu...
Tamparan itu nyata bagiku
Belati dan pisau-pisah dapur
Menghias kenanganku

Rancu huluku tabu...
Apa yang Ia perbuat
Membekas pekat
Menjerat erat
Rancu huluku tabu...
Aku lahir kembali
Beserta masa-masa tragedi
Rancu huluku tabu...
Ia meraba suci, dan memuntahkan caci
Ia memberiku hina, dan mendekap semalaman...
...hilang tanpa suara.

AL, 5/10/2019

'Euthanasia'

Terkadang kita menapak dua arah
Dilema tak ramah
Terkadang kita menopang masalah
Digoda menyerah...
Luka tak sembuh sekedar oleh petuah
Diramahpun tak ubah

Aku semakin tunduk dan dicekoki... oleh hipnosis beserta ilusi
Delusi dan dehidrasi
Aku haus pencarian arti

Aku ketakutan setiap datang pagi
Aku menyaksikan sekelibat bayang tentang janji
;janji yang mesti ditepati
Aku takut dengan ranjang tidur yang ditata teratur
Dan jarum yang dijadwal menghujum...
Aku takut akan parasit dan lara simultan saban terbesit

Dari kalam dari setiap erangan lalu
Terakhir kali... aku sudahi
Dan benahi, melambai pergi
Biarkan tertidur pulas tak kembali
Aku akan terlelap dan terlepas
Bersama setiap bias
Bersama waktu, bersama satu, bersama lantas, tanpa batas
Biarkan aku mendekap entitas, menyapa pemilik sukma, merangkak dan tuntas.

AL, 28/9/2019

'Entitas'

Teras yang ada, sebagai tempat perjamuan...
Teras yang ada, dijadikan arena pertarungan...
Lantas yang tersisa... menjadi darah dan menjadi fondasi
Kematian, kapan waktu kita kembali... hanya saat orang yang kita cinta mati di antara reruntuhan

Para tetuah mulai mengikat talinya... mengarah pada setiap sudut mata
Agar yang satu tak menjadi beda
Para jenderal tersenyum dan prajurit ditinggal hingga tumbuh bunga kerangka
Entitas tetap entitas...
Terlintas mengapa khayangan belum pantas kau pandang dengan jelas
Katakan padaNya... berikan waktuNya
Supaya parit-parit yang terisi oleh nanah
Mengering dan menjadi mata air lembah
Katakan padaNya... berikan waktuNya
Anak balita yang terlahir kini tak mempunyai nyawa
Dan yang berdiri pertama beritikad durja

Para tetuah mulai mengikat puppetnya... mengarah pada laba semata
Agar serenade tak bergumul beda
Dan cita yang mereka punya dilunas segera
Sayang sungguh sayang
Taruhan pula para puppetnya
Yang mati kelaparan...
Yang mati tergusur...
Yang mati saling tembak...
Yang mati tak dikenal nama.

AL, 13/10/2019

'Sementara Aku Sendiri Tak Melihat Senja'

Hari ini kau bilang cerah...
Hari ini kau bilang langit biru...
Aku tak lihat apa-apa;
Hanya sekumpulan debu abu-abu

Hari ini kau bilang indah
Hari ini kau bilang saat tepat melihat pandang jauh di ufuk sana
Sementara aku sendiri tak melihat jingga senja
Sebab jarak pandang tak sampai di pelupuk mata

Hari ini kau bilang udara segar
Hari ini kau bernafas sampai paru-parumu puas...
Sementara yang aku hirup udara tak pantas
Dikerumun butir-butir pekat
Dan dikerumun hawa panas

Hari ini kau bilang saat tepat habiskan waktu bersama keluarga
Bersama pacar dan kolega
Sementara hari ini adalah jadwalku... mendapat giliran di ruang tunggu
Sebab ISPA dan sesak nafas sudah jadi akar benalu

Sementara aku sendiri tak melihat senja...
Sementara udara tak hadir seperti biasa...
Hari ini langit memerah tak sekedar jingga
Hari ini langitku panas hawa amarah.

AL, 13/10/2019

'Nil'

Dan mulai orang-orang bersenggama dengan kata
Menyebut dan menerka, sedangkan diri t'lah lama buta
Kemauannya satu... menjadi yang pertama
Orang-orang merombak diri, menjadi bom waktu
Ada tunawisma tak bernyawa... mereka menatap tak perduli apa
Orang-orang mulai merakit senjata dengan ludah dan lidah, kemauannya satu... menjadi yang pertama

Tiada mau orang berpikir bahwa "Aku adalah mereka"
Atau "Mereka adalah aku..."
Orang hanya berpikir; Aku adalah aku
Jumawa dalam utama
Kemauannya satu... menjadi yang pertama

Sehingga bila ada yang mati saat ini
Disebabkan oleh ayunan belati
Inilah kebiasaan... berlanjut simultan
Orang-orang menatar diri, bersiap untuk babak baru
Mereka akan mengincar apa saja, menjadi telanjang dan mengalih drama; bahwa mereka adalah barang puja
Orang-orang takkan berpikir bahwa; "Aku adalah mereka..."
atau "Mereka adalah aku"
Orang-orang takkan berpikir rasa menjadi berbeda, rasa menjadi mereka atau dia...
Kemauannya satu... menjadi yang pertama
Maka matilah siapa saja hari ini...
Orang-orang takkan peduli kecuali kepada kenikmatan saat mereka beradu birahi.

AL, 13/10/2019

'Intermisi'

Aroganku...
Melambai...
Sejumput peka
Tak kuasa
Sudah muncul sebagai tanda bahaya
Aroganku...
Dengan obsesif
Dan posesif
Aroganku...
Kepada hidup
Kepada mati
Kepada pencipta
Aroganku...
Adalah cita-cita.

AL, 13/10/2019

'Kala Cinta'

Dari ujung kisah cinta.. aku tak percaya, disana lahir sebuah cerita
Rasaku hanya lisan, ungkapku hanya kata
Ku katakan bagaimana terlalu banyak ku korbankan masa
Ku katakan perihal "Terlalu gila aku menunggu semenjak lama"
Apa sudi engkau kiranya?
Maka kuharap engkau menerima.. sebab aku menunggu dalam angkara

Empat mata aku bicara, kala bibir tipismu tajam hujam telinga..
Buatku merasa tiada lagi harapan
Harapan hanya prolog tiada makna
Yang selama ini mentah-mentah aku percaya

Aku tersungkur.. tersungkur hancur
Tak tahu lagi berbuat apa.. sekedar hampa dan seribu rasa kecewa
Asa kini dalam terkubur
Perihal satu juta duka, tak lagi bisa terkira

Mari sayang.. aku suguhkan.. kini kita memulai sebuah dosa, tercipta dari taklid buta
Setan bersamaku.. Ia pula mencinta
Namun dengan caranya...

Aku selalu bertanya.. mengapa tidak engkau coba menerima?
Aku tak percaya engkau berupaya membunuh rasa
Maka kini yang ku tahu hanyalah murka
Hanyalah dalih menebus segala

Kini ku genggam di antara jari
Ku hunuskan ujung belati
Apa yang cepat membuatmu tamat
Kini menancap, menembus tepat
Di jantungmu..
Di arteri..
Di garis nadi..

Engkau tersungkur..
Tak lagi bisa berbuat apa-apa
Nampak kulihat tubuhmu terbujur, penantianmu hancur
Perihal apa yang sebelumnya engkau ucap, Sayang.. kini tak lagi mampu dirimu berkata

Aku tak merasa melankoli
Aku hanya menunggumu mati
Akhir nyawa, akhir jiwa, akhir alasan kala semua bermula
Biar dirimu terbang tanpa raga, dan kini semua nampak sempurna
Biar tiada lagi rasa kecewa, seakan semua tak akan berakhir segera
Ini awal yang aku cipta.. resapi dalam lara
Tiada lagi sesal karenamu, aku hanya mengharap engkau selalu ada
Kini setan bersamaku... Ia membentak akal, Ia pula mencerca.. menghina dan mencinta

Jangan coba engkau bertanya.. semua insan akan menerima takdirnya
Aku menari menapak bekas.. di telapak kaki tanpa alas
Darah membasahi lantai, sementara engkau terlelap
Selamanya, memanggil membuai dalam senyap
Engkau kini cantik..
Sangatlah cantik..
Kudengar setan berbisik "Selesaikan, apa yang kini telah disuguhkan, hantar apa yang selama ini kau harapkan"
Tak kusangka apa yang nampak aku lihat,
tatapan kosongmu Sayang..
Bisu tanpa kata, memang benar aku tak cukup hanya melihatnya
Aku bersyair.. menghangatkan suasana
Aku tak merasa durja, karena semua memiliki waktunya
Kini setan bersamaku.. kita sama mencinta

Biar yang dingin membiru kini hangat memerah
Aku sungguh terpaku bersama ratu tanpa nyawa
Menarilah bersamaku... Tutupkan matamu..
Sayang menarilah.. Menari di akhir hayatmu

Aku tak akan membuatmu berteriak.. hingga tertutup erat atas bawah bibirmu
Aku mencintaimu.. dan akan seperti itu
Tak akan ku biarkan ada nisan, atau upacara kematian
Tinggalah selamanya..
Dan menua hanya cerita belaka.. kita abadi dalam cinta
Sayang.. berilah diriku percaya
Karena aku terlanjur tercatat dalam pintu neraka
Biar setan bersamaku.. Hingga ujung hayat berikanku nama
Yang ku tahu kita sama mencinta.. ku lihat pucat pasi kini bercahaya
Mencinta satu insan.. aku hanya tenggelam, kini aku menerima
Aku mencintaimu seperti ini adanya.. kala engkau menutup mata dengan luka menganga
Tiada bicara.. tiada detak disana, tiada kata yang ucap akar perkara

Kasihku tetaplah disini.. Bersama setiap irama yang takkan berhenti
Biarkan nanti lukamu mengering bersama kerangka..
Dan dosa yang aku cipta
Meradang denganmu.. bersama
Aku tak akan biarkan ada nisan.. atau upacara kematian
Biar setan bersamaku..
Yang aku tahu, kita sama mencinta
Dan perihal dosa..
Tinggalah saja sebuah dosa..
Lelaplah engkau di surga
Karena aku terlanjur tercatat pada pintu neraka.

AL, 2/10/2018

'Ibu'

Tiada nama mampu menasbihkan, atau mahkota-mahkota
Atau sekadar tahta-tahta, barang harta, menggambarkan diri mampu berbudi dan melunas hutang atas darah dari akar air susunya

Aku dengarkan ramai riuh lulabi, pada pertengahan malam
Dan timang-timang, pada cahya sengat surya siang
Aku diajak bercengkerama dalam luhur kalimah-kalimah
Dan diajak bersua pada ajaran-ajaran makna
Ia memberiku bekal menatap padang binal
Mengarah pada persimpangan
Ia menatapku supaya mengingat pada tunduk dan lamunan pada waktu
Berujar bahwa luka sebagai pengajaran
Dan euforia adalah pengujian

Maka aku simpan kalamnya sebagai penuntun
Dan pesannya kuingat beruntun
Agar tapak yang ia tinggal
Tak percuma tertinggal

Dan semoga, senyum terakhir di masa nanti yang ku lihat; senyum darinya
Adalah senyum yang tunjuk tersirat, senyuman bangga, bahwa Ia tenang pada tuntas tugas; menjaga satu nara.

AL, 13/10/2019

'9102927

Satu-satunya yang kering hanyalah tanahmu
Bukan air mata...
...
Satu-satunya yang berkobar bukanlah optimisme
Tapi rimbamu...
...
Satu-satunya yang kering hanyalah tanahmu
Bukan luka...
...
Satu-satunya yang terkabar bukanlah sebaik-baiknya kabar
Tapi tersebar kabar bahwa rantingmu belum padam terbakar
...
Maka kemudian berdo'alah bahwa satu-satunya nalar yang hadir bukan hanya mimpi, tetapi tindak benar.

AL, 27/9/2019

'...dan Kala Hari Ini Pergi'

Aku merasa hampa.. tergerus petaka diujung terka, dipaksa berkutat dahaga
Berdiri di pesisir pikir, kupikir sakit yang nampak getir, ialah yang terukir terakhir
Namun aku salah...
Dan kala hari ini pergi..
Yang kuputuskan, sekadar napak tilas tiada makna, hanya lahir terbungkus elegi

Maka tinggal nama yang tergeletak tanpa suara.. dengan juta mata tajam menghujum dirinya
Hunusan  belati dalam menikam tebing hati.. membara dalam kantung-kantung mayat ideologi
Jerih payahnya pun dibayar caci maki, kebingungan merekah menari-nari

Aku kira sudah saatnya...
Seribu insan mesti tahu.. raga tunjukan segera
Tetapi tak semudah apa yang nyata
Yang nampak dalam netra..
Dan kala hari ini pergi...
Mereka berkutat pada senyuman sendiri, dan segala gempita pribadi...

Sementara ku bawa pantat dan isi kepala..
Di samping tembok dekat pembuangan sampah..
Pembuangan aksara-aksara..
Dan seribu ekspektasi tanpa bukti..
Ku hardik dan telaah pada kertas-kertas dan nyanyian-nyanyian tanpa nada..
Diri berlaku namun tak diampu..
Maka ku tanya sekali lagi, sekali namun berakhir secepat cahaya...
Inilah pada akhirnya..
Pikir ragu semakin dibelenggu..
Disabilitas retorika...
Dan kala hari ini pergi..
Bisu dan anggapan tak mampu..
Tak mampu tumbuh subur beribu-ribu.

AL, 10/3/2019

'Waham'

Meringkuk menengadah memandang tiada
Membungkuk bersila memaki hampa
Merajuk kepada dinding mengumpat apa saja
Halusinasi waham bercokol abadi
Dalam diri satu nara juta intepretasi
...miliar sangka

Waham tak sepaham, delusi tak mampu dipendam
Dengung dan nyanyian semakin dalam, tertanam dan fiktifnya beragam
Menari-nari tergerak jari jemari
Musabab apa tak ketahui... bisik itu kalut mendatangi
Merupa fana merupa kulit fatamorgana yang memaksa supaya diraba
Waham tak pandang logika, halusinasi menggagahi raya kepala
Melacuri tata, membuahi indera, melahirkan abstrak dan teriakan usaha lepas dari sengsara

Atma-atma istimewa...
Mandat-mandat tiada mampu dihindar
Perihal lara yang muncul tak mengenal siapa
Mengakar benihnya, membungkam jiwa.

AL, 22/7/2019

'Payungmu Masih Hitam, Ibu'

Di gang-gang bau yang anyir tak karuan
Seorang ibu menatap lurus kearah jalan menuju istana
Merongrong gempita perihal lupa yang dijunjung bersama
"Anakku lekas pulang" memanggil dalam sayup-sayup lemah sambil menenteng bingkai foto anaknya..
Dihinggapi nyamuk-nyamuk penghisap, juga dihisap bayang-bayang pembungkaman... dihisap drakula-drakula anti masa lalu
Ku lihat dari jauh, payungmu itu.. payungmu masih hitam Ibu..

Hari ini diam.. terdiam namun bersuara..
Dari parit-parit yang dicap nista, dari mata yang terkadang tak sudi ditatap istana
Berdiri berkawan surya, merongrong jiwa supaya sadar, tak lekas tiba-tiba amnesia
Sementara payung-payung di selasar tahta masih hitam adanya..
Menunggu roh keadilan memanggil pulang..
Menunggu palu meja hijau kerangkeng para jalang
Disisi tempat pembuangan, di gang samping kuburan. kuburan tanpa nisan
Kutatap raut wajanya satu persatu..
Kulihat ratapanmu dibayang payung hitam, Ibu...

AL, 9/3/2019

close
Test Iklan