Selasa, 04 Februari 2020

'Tarianku'

Gemulai ini menari, dari kaki..
Aku menari.. di antara sampah
Di antara reruntuhan puing kali
Di antara tangisnya orang susah..

Nah, lihat itu si kecil mengoceh merdu
Tadah tangan di hadapanku
Aku menari.. kemudian mengajaknya senandungkan lagu..
Dia bernyanyi sembari kerutkan dahi..
Nanahnya di sekujur telapak
Baunya kesana kemari

Aku pergi.. tinggalkannya dengan recehan
Di kota yang sumpek aku menari..
Kini di kolong jembatan
Di akhir januari

Aku menari, dengan nenek, dengan mama, dengan anak tanpa nama
Di teras depan triplek, tersusun jadi atap
Sebatas pandang, aku berpikir soal keyakinan
Di hati mereka..
Harapan..
Aku menari, aku ratapi.. dengan mereka, dengan bayi di pelukan

Aku tetap menari.. kini dengan petani
Petani yang menepi..
Di sisi ladang padi
Petani tersenyum
Dengan wajah pucat pasi..
Ia masih memandang, sementara gerak kakiku tak kunjung berhenti
Aku tak tahu apa pula yang Ia pandang..
Mungkin lembunya disana yang malas, menekuk kaki
Atau padinya yang tak tunjuk berisi

Aku selesai dengan peduliku..
Kini aku beranjak pergi..
Tinggalkan Ia sendiri..
Aku pergi ke pelosok, hendak menengok
Menengok rimba yang tersohor elok
Belum lekas sampai, aku hendak menari..
Menari dengan raungan gergaji..
Dan pembalak yang menanti pohon lekas mati
Aku mengajak mereka menari..
Mereka malah berlari..
Tinggalkan dedahan yang kering
Tinggalkan hutan yang hangus kerana api

Tak pikir panjang, aku ikut berlari..
Pergi selamatkan diri..
Satu-satu orang datang
Padamkan jago merah
Aku sempat perduli..
Lalu lupakan lagi..
Aku menari..
Dengan kepulan asap, dengan nada caci

Aku tak henti menari..
Saksikan orang-orang mati..
Di laut, di telan bumi, di dalam peti

Ahhh.. aku tak kuat
Kini aku berhenti menari
Tak sanggup lagi..
Kini aku menangis..
Tak sanggup berdiri
Aku memandang langit, jutaan burung-burung bangkai
Aku terlelap, nafas pengap
Aku tak sanggup bicara..
Burung bangkai patuk kepala.

AL, 23/2/2018

'Saban Waktu Di Kamar Kosku'

Saban waktu di kamar kosku...
Datang satu betina menyapa kala golakan nafsu
Ku sandarkan pada aroma parfummu, ku sandarkan dari malam sampai pagi, bersandar birahi pada harga diri...

Saban waktu di kamar kosku...
Betina terlentang mendagi puas, adakalanya bayaran tak pas, aku di caci maki lantas sebagai imbas

Saban waktu di kamar kos ku...
Acapkali berisik kerana suara-suara engas dari laga syahwat beringas
Terkadang masih terbayang kala masuk kelas...
Molek tubuh lemas... di ranjang empuk bermain tangkas

Saban waktu di kamar kos ku...
Sebab tiada waswas kesana kemari
Lakuku bebas tiada yang perduli, jadi insan kelabu tak ku sesali
Saban waktu di kamar kos ku...
Digelar alas bak permadani..
Hingga fajar ku nikmati

Saban waktu di kamar kos ku...
Ku raba dosa, tanpa tanggung-tanggung, tiada lagi tanya...
Betinaku tak mengapa ku buat nista, sebab cinta muda di ujung kepala tak mampu tertahan logika

Saban waktu di kamar kos ku...
Kini hilang, tak lagi nikmat sesaat berlaku
Hari-hari yang ada kini diburu
Pulanglah sayangku...
Biar kita lalui hari-hari yang lalu, dilain masa kita bertemu.

AL, 24/3/2019

'Palhaçada Del Parlamento'

Dansa aliansi, agnostik dan ahli teologi...
Amputasi konsekuensi namun tak hilang reputasi
Hari ini, sirkus para badut birokrasi
Ladang mandat sejuta rakyat, tak ubahnya diorama nafkah eleksi

Orang satu rumpun itu datang berduyun-duyun
Orang tak dikenal memaksa engkau memohon ampun...
Mereka satu rumpun... ternyata satu sindikat cendala majenun
Gulali rakyat dijajah janji pikun
Gulali rakyat manisnya dikerumun

Tarian-tarian kelab malam
Transaksi uang-uang haram
Badut-badut seram itu datang menikam
Kala aristokrat kenyang saling terkam
Rakyat sibuk diri baku hantam

Swasembada rasuah digedung tahta
Wakil siapa hasil mendulang dosa
Rakyat disuap miliaran riba
Rakyat dicekok omongan dusta

Erang sakit itu nampak jelas tak sekedar abstraksi kisah balada...
Tentang anak putus sekolah tak cukup biaya
Tentang epidemi akibat menghirup asap industri
Tentang lautan yang digaris patok swasta
Tentang ironi tanah sendiri menjelma profit pribadi

Badut badut kecil
Badut badut besar
Otak kerdil
Namun egonya barbar
Saling menghasut saling memanggil
Saling berebut tapi enggan andil

Ya.. mimpimu Ia bawa
Meski tak tahu tujuannya apa
Sirkus-sirkus di atas parlemen
Pajakmu kini lekas diurug semen.

AL, 19/4/2019

'Muerte De La Burocrática'

Hari terakhir akan datang kawan... kolegaku akan serang menantang
Kawan... kalian, mereka, kita...
Tiada lagi dibawah dunia pewayangan
Maka isi magazinmu, usap pelatuk khalasnikovmu...
Dari barat, timur, utara, selatan...
Dari setiap angka penindasan, kesewenangan dan frekuensi kemalangan...
Malam ini entah nanti...
Esok hari rebut hirarki

Bukankah bosan engkau?
Hidup dicekau?
Bukankah muak dikau?
Hidup tanpa huru-hara namun dipaksa sakau?
Kerana parlemen tawarkanmu risau, tawarkanmu pilihan orang-orang dari sindikat dan konsolidasi kacau

Bukankah kita mati lebih cepat sekarang...
Sebab diombang-ambing, dan ditanam peluru di pergelangan kaki...
Karena hendak bertahan dan dianggap pemberontak nir harapan..
Bukankah mereka menembakimu tanpa segan?
Bukankah 49 manusia itu dipaksa menjadi martir...
Dan ribuan hektar paru-parumu diserbu?
Oleh pemaksaan dan kriminalisasi dari pengadilan semu

Aku datang kepadamu kawan...
Mengabarkan berita...
Mengabarkan derita...
Dari nyawa yang semenjak dulu dijual supaya mulus mereka punya jalan kuasa...
Namun yang tersisa... hanyalah kerangka...
Di bawah pohon kelapa
Di bawah bendera setengah cela

Bukankah mereka jua yang kelak mengangkangi hak kita?
Dan tentang hilangnya suara-suara...
Kini hanya diperingati dengan diam, karena tahta sudah kadung tak punya telinga

Akan ada masa kawanku, tentang kematian...
Dan perubahan...
Dari mereka yang biasa hidup menggelandang di sabana hewan...
Yang setiap waktu dikencingi pengkhianatan
Oleh orang gemuk yang sudah kenyang tuntutan

Aku datang kepadamu kawan...
Bersama satu juta tengkorak yang ditumbalkan...
Kepada teman-teman mereka
Agar kita ketakutan membaca kitab-kitab peraturan...

Aku datang kepadamu, kawan...
Hari itu akan datang
Membawamu kedalam rona kemarahan
Dan kelak...
Tiada lagi segitiga
Dan dosa-dosa penumbalan bersama...
Aku datang kepadamu...
Dan hari ini terlahir benih serdadu.

AL, 17/4/2019

'Jugador De La Apocalypto'

Kala bumi diombang-ambing
Dan gunung-gunung ditumpahkan
Tiada lagi harapan...
Kitab-kitab pudar terbaca
Dosa-dosa terpampang nyata
Kematian berserakan
Memohon ampun...
Yang didapat hanya cacian

Kala dunia temui bab akhirnya
Matahari yang sejengkal jari
Membakar jiwa-jiwa
Mematikan miliaran raga

Kala kau sendiri pada akhirnya ketahui
Bilamana akhir menghantarmu pergi
Dan janji-janji yang dulu kau ingkari
Mencekikmu hingga tak mampu kau beri alibi

Kita pemain sandiwara
Yang pada akhirnya menyerah pada raja satu mata
Apokalips dimana-mana
Menghanyutkan semesta
Tanpa tersisa
Dan kerangka yang tertanam lama di bawah tanah...
Kembali pada dunia
Pertanggungjawaban bermula...

Maka kita dekatkan pada pengingat
Tentang hidup dengan martabat
Tentang hidup tanpa melaknat
Tentang hidup tanpa berkat
Dan tenggelam dalam maksiat
Tentang pemain hari kiamat.

AL, 18/4/2019

'Leviathan'

Kaderisasi parasit, meracau genit pada pagi yang tak kunjung terbit....
Menggoda ijabah, dikira cahaya ternyata api neraka
Legenda mengatakan... orang-orang bersinggungan dalam kadar keterlaluan...
Itu semua karena ketakutan, takut tak kebagian...
....kekuasaan

Maka orang-orang berujar dan mengejar...
Ada klandestin, banyak pula kaum bar-bar
Mereka melingkar, membentuk pilar
Ritualnya di luar nalar...
"Agungkan sang Pencipta", kata penyembah berhala mahar

Maka gala hipokrit sedang ramai di mana-mana...
Yang didampingi aroma-aroma pemujaan...
Sekawanan binatang berteriak "Berikan kami kemenangan..."
Sekumpulan fauna membalas pantun "Hancurkan, dan tenggelamkan..."
Apa yang aku saksikan... menjadi kesaksian
Kebencian yang tertanam...
Akan tumbuh sekian abad tak tertahan

Kini akan tiba waktu...
Ia akan mendatangimu...
Segera...
Maka kilah tak lagi berguna
Ia akan mendatangimu...
Kala kau menendang kepala saudaramu...
Kala kau mengiris nadi karibmu...
Ia akan mendatangimu...
Dengan satu netra menanti puja.

AL, 12/4/2019

'Klandestin'

Redup lampu ku lihat semu...
Kilat bercerita temani detik, menimang aksara-aksara yang lahir dari rahim malam
Oroknya tersimpan dalam pena, deru nafas yang kutarik susah
Ditatap mata-mata kanan kiri yang selalu sedia
Dengan baton dan kalimah kutukan yang disusun sedemikian rupa
Supaya aku diam.. dan mati sendirian..
Didalam gundukan dan mungkin tanpa batu nisan..

Aku tetap berdialog dengan hari-hari dan waktu kebebasan
Waktu kala lisan diumbar bak rindu merpati jantan
Kutaruh dalam kertas-kertas tulisan..
Dalam borgol tanpa pengadilan...

Nantikan aku, yang sudah lelah bersemayam..
Nantikan mulut yang akan mengumbar geram
Beserta rumput-rumput yang mengutuk hitam..

Nantikan kematianmu, dalam segala resah tentang pembongkaran
Akan fakta dan kebenaran...
Akan penyelewengan..
Akan kesewenangan..
Akan mereka yang merengkuh tujuan sembari melihatmu ketakutan..
Akan setiap catatan, majalah, layar maupun kertas koran..
Tentang siapa yang tertawa paling akhir, dan telapak siapa berdiri di sisi jurang penyerahan.

AL, 22/1/2019

'De La'

Reruntut alkisah...
Jabaran metafora, jerembab telaah
Tertuang setengah dalam secangkir anggur merah
Umpama tak cukup berkisah
Ujaran apa sanggup merubah

Bisu dibuat, tak berkata...
Kala sadar tak berupaya
Waktu lampau kembali ada...
Diam diri atau kembali sedia kala?

De la amore...
Mi amigo siempre...
Rerasaku beruntut bak defile...
Tercurah kini kembali bersua
Jelas tak ku anggap sepele

Ohh maharajalela... sejuta bida-bida
Bahkan tak menyentuhku, menyentuh bayang pun tak ada
De la senyorita....
Si uno, si uno amigo...
Ku hantar suratku... bilamana kau izinkan selayak itu...
Ku hantar meski jauh... dari puncak Vesuvius menyelam Mediterania... dari Alpen mendaki hingga Katalunya...
Dari Barcelona ku sebrangi kembali tuju Roma...
Bilamana suratku memang sudi engkau terima...
Ratuku... hingga raga belum bersua...
Maka lekaskan saja usia sekadar untuk tatap temu dua pasang retina.

AL, 3/6/2019

'Kanibal'

Hipotermia bersama luna, membeku... bersama meski tiada makna
Figura hidup terpendam, mati sendiri
Semburat nelangsa ditanggung pikul sebaya
Secangkir candu malam ini, tuangkan dalam benak pikirmu
Waktu memulai permainan, syahwat adalah kemenangan

Siapa itu kontrol? sebab kontrol ada di sini... di dalam tempurung kepala
Siapa mengarahkan? sebab pola arah ada di sini... di balik celana
Siapa yang mengatur? sebab aturan kami atur bersama... untuk digugat dengan durjana
Siapa tentang siapa? Tak ada siapa-siapa, tak ada apapun, yang ada sekedar lelaki tua
Di bawah flyover yang berjalan semaunya
Berkarib katak-katak dan gagak-gagak
Menyeruak keluar anyir dari mulutnya, campuran tembakau dan darah hasil sabung manusia
Diam sudah terdiam... nasib temaram menunggu tidur di makam
Jauh teramat jauh, sudah lupa arti, kadung jenuh...
Kanibal sisa-sisa penghidupan, orang-orang di bawah jembatan
Gorong-gorong dan terowongan
.
.
Yang menunggu santapan
Menanti korban.

AL, 30/6/2019

'Alkisah Tikus Sawah'

Dari sawah padi kemuning
Tikus-tikus bertelinga kecil
Di lubang-lubang terpencil
Tak jelas menyerang
Yang jelas ekor mereka panjang
Mengikuti setiap bayang
Terhuyung dibelakang

Saat petani melihat tingkahnya
Sadar si tikus selamatkan jiwa
Pura-pura mati pura-pura sekarat
Kala tikus sudah dekat dengan jerat

Si tikus memang sudah siap
Tak jadilah masuk perangkap
Dilepaslah si tikus tak kena santap
Dilempar tak dipedulikan
Si tikus gembira kegirangan
Sebab jauh dari kematian
Meski tahu itu cuma bualan

Si tikus berhidung mancung
Nasibnya selalu beruntung
Tak pernah masuk kurung
Apalagi mati digantung

Meski petani rugi
Meski petani dibodohi
Petani malas mencari
Petani tak lagi punya harga diri
Sebab tikus sudah kebal
Kebal racun kebal perangkap
Si tikus masih nyaman terlelap
Sebab petani tak sudi main tangkap.

AL, 4/10/2017

'Lacur'

Batu t'lah terletak... temaram t'lah beranjak
Namun fondasinya habis korosi, muramnya padat melonjak
Malam-malam bersama lamunan, ia tak kunjung temui, termangu tak tahu diri
Degup sia-sia saban masa, dihinanya berulang kali
Raut itu nampak kesedihan...
Raut itu diberondong kemalangan

Aku bicarakan dia...
Yang berjalan kebingungan
Dijaja setiap akhir senja
Mati di sela selangkangan.

AL, 12/9/2019

'Murka'

Kemuliaan tak menghendaki kesewenangan
Tinggi jabatan tak pula mengharapkan penindasan
Kekuasaan tak menghendaki kenistaan

Niscaya bilamana itu diperlakukan semena-mena
Maka akan timbul murka...
Bukan murka biasa
Murka yang agung dari tangan-tangan
Murka kolosal dari suara-suara
Yang didukung oleh ikut campur semesta
Yang didapuk menghakimi biang papakerma
Tak akan sanggup dihentikan...
Tak akan sanggup diombang-ambingkan
Sebab dari puncak gunung, padang lembah hingga bawah tanah
Akan diisi oleh amarah
...dan murka
Dari batara mustajab
Para serdadu rakyat, para tersangka yang bangkit dari pasungan
Para tertuduh yang bangkit dari tuduhan.

AL, 15/7/2019

'Buyar'

Lalu engkau terlelap
Aku yang lama berharap
Hanya keringat yang kuusap

Lalu engkau tersadar
Aku yang lama tak ingkar
Tenggelam diikat jangkar

Lalu engkau berlari
Aku yang lama menanti
Kau bisu tak perduli

Engkau kini mengejar asa
Aku yang lama taruh rasa
Kini bagai terlumur dosa

Lalu engkau temui ujung
Aku yang lama terkurung
Hatinya terpotong buntung

Lalu engkau tertawa
Aku yang akhirnya tatap nyata
Menyeringai ratapi cerita

Buyar
Ambyar
Bubar.

AL, 28/12/2017

'Biar Diam, Lalu Tiada'

Sesak berdesak tersirat isak tangis kering berkerak
Ditikam bungkam.. dikarung ancam, diserbu senapan laras panjang
Dihantam keras atas tungkak, keras bersuara mati tergeletak
Kata mereka "Biar engkau diam", lantas prajurit mana yang tak balik menyerang kala diserang dalam perang?

Kami bak tiada.. sebab kami menjual jiwa pada takdir semata..
Biar diam lalu dianggap hampa
Biar dieksekusi, digiring menuju penjara
Sebab singa menyergap dari semak tanpa suara
Lahir kembali dari lolongan serigala
Menyergap dalam gulita, bereinkarnasi menjadi suara-suara

Ku ceritakan sebuah cerita...
Lihat, bahwa tiada lagi manusia.. manusia sekedar khayal di negeri dongeng, negeri utopia
Mereka bertopeng sandiwara, mereka bidak-bidak, diolah sedemikian rupa
Dicipta bentuk, namun tak tertata.. tertata pikir, sekedar kikir berotak bankir
Hari ini kembali mati segelintir.. Besok mahkota setan mati tersingkir

"Biar diam lalu tiada", kata pengendali moncong senjata, kata para sipir penjara
Sementara aliran air kali nampak merah adanya
Karung goni berserakan, tercecer berisi nyawa
Namun yang mati sekedar raga, dalam kubur mereka bersuara

"Biar diam lalu tiada", namun yang mati tumbuh dalam segala
Tumbuh dalam telinga dan otak yang tak tersumpal rasuah, tak tersumpal dogma
Tumbuh dalam nyanyian sejuta nama
Tumbuh dalam kepala yang terakhir berdiri menjadi manusia.

AL,  9/12/2018

'Gagak Hitam Di Langit Rawagede'

Burung besi di langit pasi ramai datangnya
Gagak hitam di ujung ranting riuh bincangnya
Moncong bedil tak ragu diarak berkeliling
Tak ada angin, tak ada hujan..
Tarik pelatuk tak ambil pusing

Sementara kaki serentak diatas daging
Telapak tangan erat genggam jantung
Topi baja langkahnya perlahan sinting
Cari mangsa luntang lantung

Gagak hitam di langit Rawagede
Kelakarnya memerahkan tanah
Moncongnya tembus punggung
Di angkuh moncong-moncong perang

Kuburan massal digali
Yang mati sang penggali
Buah hati tak sempat berlari
Induk lari diincar mati

Gagak hitam lapar perut
Mencincang jiwa dalam kemelut
Nyawa-nyawa dipukul runtut
Gagak hitam pembawa maut.

AL, 3/1/2018

'Asapnya Cerutu Tuan'

Birahi menerpa langit-langit rumahnya
Menghitam namun tetap enak dipandang
Asapnya cerutu tuan
Serpihannya kotori lantai ruang tamu
Aku jemu..
Aksara yang terujar bak orang gila
Orang gila wibawanya hampa
Aku meladeni tawanya, meski ku pahami sejahtera diujung binasa
Sebab budak selamanya budak, tuanku tak cukup punyai rasa

Kini aku termenung setelah tiga jam bertamu
Pasrahkan telinga, kalimat terangkai hingga filosofiku tak sampai
Kurusnya tak sebesar janjinya
Anjingnya ada di dalam kandang
Menggonggong keras seraya menghardik
Aku terguncang, tiga jam setelah pulang

Aku pulas tertidur, tuanku kini juga keras mendengkur
Atapku bergetar keras, atap para budak, tempatku kucurkan lemas
Asapnya cerutu tuan..
Bekasnya di hidungku memaki keras memaksaku bangun 'tuk ambilkan gelas
Tuanku berkutat dahaga.. dia memang selalu berkutat dahaga..
Dahaga haus meski katanya hari ini puasa
Entah, tak kunjung selesai perkara, cerita drama tuanku di balik tirai sandiwara

Kini budak kerjanya sekedar kerja
Tuanku bekerja merangkai kata..
Terkadang luluhkan hati manusia, diatas pena
Bosan terkadang datang menggoda
Tawa budak di rekatnya surat jatah
Kuasa terbahak..
Budak tak rela tuannya retak
Asapnya cerutu Tuan hari ini
Seakan beriku harapan, meski kering kerontang
Tuanku tak segan beriku makan
Makan janji, makanan sisa sampai tahun depan.

AL, 17/12/2017

'Sua Alur'

Lengan-lengan romansa...
Berpadu dalam cerita
Sengaja bersua...
Bahasa amora...

Adakala paranoia
Takut macam seribu problema...
Wajar diri enggan rela...
Satu insan... siapa punya?

Hantu posesif berujar nama...
Bida jauh di rantau kota
Jika senggang kau punya...
Singgahlah meski tak lama...

Sua alur, satu jalur...
Satu rindu... tarik ulur
Satu kisah jejaka dan dara
Menaruh abadi
Satu jalan... satu solusi...
Permadani dan tali janji.

AL, 30/3/2019

'Lotus II'

Aku pernah melihatnya
Ia lebih indah dan berwarna dari teratai usang dan layu di sekitarnya...
Namun Ia tetaplah setara
Tiada kultus yang mendewa
Di bawah tatar cakrawala
Di bawah pandang Hyang mancapada
Sekalipun berbeda;
Ia sekadar hidup di genang air kotor berlumpur di tengah rawa.

AL, 31/5/2019

'Hyang Khamr'

Mereka membangun batas, tersekat amat kuat, mereka mendirikan dinding, tertanam begitu erat
Kalimah suci itu dalam buku-buku berubah saling tatar baku, yang sebelumnya terdaras kini tergerus berlainan iras
Tetuah mulai ditunggangi dan logika tak lagi berlaku
Entitas dipaksa beku dan norma-norma mulai dirancang dalil palsu
....
Delusi mulai membabat akal sehat
Titian yang diterima tak lagi pandang akibat
Populasi gerombolan gembong bertambah pesat
Domba dijajar dan diajar sesat
Mereka berebut nikmat, dengan belajar saling menuduh dan menuding khianat
Mereka menghisap ramuan kebal jerat kemudian mendikte catat malaikat
....
Hyang khamr...
Mabuk tak sadar
Kalap berebut antrian
Loket surga dibanderol prasyarat
...dan dijaja, didapat hanya dengan bayaran
....
Dimanakah Engkau?
Aku temui asmamu di pamflet-pamflet meja mafia
Dimanakah Engkau?
Aku temui asmamu di iringan orang-orang yang saling meneriaki
Dimanakah Engkau?
Aku temui asmamu di gerombolan anarki
Dimanakah Engkau?
Aku temui asmamu pada alutsista antara pihakku dan pihaknya.

AL, 27/8/2019

'Postmortem'

Dasamuka kecamuk manusia
Amuk massa disetir agenda
Empedu hidangan istana
Narasi kesepakatan suci; afiliasi pula syahwat birahi
Dalil-dalil propaganda
Congkak nafsu... kitab suci dijelma abu
Genderang perang di nyanyianmu...
Ayat-ayat suci tak lagi punya harga...
...dikencingi bersama
Tendensius semata

Hilang arah, kematian kini diatur serakah
Bukan lagi konsekuensi pribadi...
Sudah jadi penumbalan seakan mesti terjadi
Terhadap janji-janji
Yang tertuang dalam illahi

Keimanan kebencian, pembantaian
Tak ada beda, dianggap satu tataran sama
Mahadewa di mana-mana
Yang mengerti semesta
Menganggap ada dan tiada
Menganggap bela dan yang patut dihina
....
....
;kemudian orang-orang melihat mayat-mayat sebab kalimat-kalimat
Dan Tuhan yang mereka ajak kongkalikong
Dan surat-surat kopong
Dibawa mati...
Oleh balita dan lansia-lansia di medan sabung teologi

Tak ayal ia ejakulasi, sebab nafsunya terpenuhi...
Nafsu melihat orang-orang sekarat
Kemudian mereka menunggu ganjaran
Atas apa yang mereka perbuat
Dengan asma dan teriakan hikmat
Senyum dan tawa menanti kiamat

Pembunuhan berencana, kini dibela sebab sudah jadi tajuk iman; iman akan depresi, gangguan psikologis hingga penjagal yang dianggap orang suci
Iman akan hasad, melacurkan umat hingga dibaiat psikopat
Iman akan kitab-kitab yang kini berisi kalimah-kalimah umpat
Dipelintir, digugat, dipasangi pukat...
Menghardik, mendebat, menyalurkan orasi dengan jerat...
...kala penjahat kini dikultus sebagai mahluk paling taat
Yang dibuntuti umat.

AL, 4/7/2019

'Periferal'

Aku mulakan... tempat jauh dari peradaban
Dimana orang-orang akan mendorongku dengan retinanya...
...orang-orang itu bertanya, bermacam cara menyingkirkan hama
Dengan insektisida dan implisit-implisit tiada beda

Orang-orang itu
Orang-orang berkaki empat dengan ekor dan satu mata
...dengan tentakel mirip gurita
Menggenggam trisula serta capit penjerat di tangan kirinya
Mulut bertaring dan kulit merah muda
Bertelanjang dan berkeriput di mana-mana

Aku kini akan berjalan melewati rimba, mencari makanan yang tinggal sisa
Di dahan-dahan pepohonan...
Namun dahan-dahan pohon itu sudah kering terpotong, aku tak tahu bagaimana
Buah-buah itu ternyata habis lebih dulu... diambil hari-hari lalu
Sementara orang-orang mulai menatapku
Tatapan asing dengan bola mata merah, jelas tanpa mampu dipalsu
Mereka mengancam tanpa berucap, mereka menatap aneh dan saling membisik merdu
Aku lekas beranjak... dan berlari sebab aku benar tak tahu menahu

Tempat ini terasing... aku kembali memasung ingatan, namun bising itu tak pernah ragu merasuk diri
Tempat ini tak mungkin bersahabat... aku kembali pergi, setidaknya untuk coba pahami, tapi itu tak berujung sejati... aku yakini, ini wadah peti mati

Aku tak lagi perduli
Orang-orang ini memandang sama... mereka satu visi
Visi dari mereka, sedangkan mahluk nun jauh dari rimba... lambat laun akan terlupa

Aku tak mengingat apapun... mereka mewabahiku dengan amnesia
Visi anonim
Segala tanya yang diacuh
Serta norma tak masuk akal

Orang-orang itu hingga sekarang masih berwujud sama...
Aku tak menginginkan apapun... mereka meracuniku dengan hipoksia
Dimensi tak semenjana
Macam enigma
Hidup parabola.

AL, 28/7/2019

'Ada Lagi...'

Daku benci mendengar orang asing berujar mengenai tanahku...
Yang mereka kenal lewat deru peluru
Daku benci melihat orang asing menulis perihal tanahku...
Yang mereka kenal lewat hantam berjibaku
Daku tak suka menatap mereka yang menatapku
Karena mereka mengenal garis lukaku...
Dari hantam baton dan gas air mata

Daku bosan atas segala yang ditakdir tak sopan
Mengenai tanah yang dahulu dianggap padang intan
Padang yang beranjak menjadi ladang ranjau
Dan ladang tikus sakau

Ada kongkalikong di basement dan lorong-lorong
Ada konsolidasi di bawah gorong-gorong
Sehingga orang-orangku tersekat dan tak tertolong
Dijabatnya mereka titel cukong dan tong kosong

Daku benci perihal itu...
Karena tanahku semakin mashyur terdengar...
Oleh kesatuan berdasar, namun ditenggak tanpa nalar
Daku benci melihat tanahku sendiri
Yang sama-sama diduduki oleh mereka yang saling menduduki
Sehingga masa itu kian abadi... ada yang berhias diri, bersiap dipanggil dan diusap pantatnya untuk duduk di kursi warisan
Di kursi sambilan
Singgasana oligarki

Daku benci perihal itu...
Karena tanahku semakin menjual pamor
Dan tersohor
Oleh para penakar kuasa yang menjaja teror
Sehingga warta terkini semakin menjadi-jadi
Bahwa ada lagi yang dibawa hilang
Ada lagi yang ditembak mati.

AL, 6/10/2019

'Parafatamorgana'

Disforia mendidih di atas tungku sukma
Paradoks melanus, paradigma dibawa swadaya
Tinta menasbih catatan usia, parafatamorgana
Terbesit alang-alang menutup sekuel cerita, bertandang menafsir pandang retina

Melangkah nir jumawa, nadir berkalang nadar
Nadar percuma, madar digdaya
Terpendam dalam liang, kubur paranoia
Sesal tiada kira, kecewa tiada tara
Hikayat paralel, parafatamorgana

Narkosis tinggal sisa-sisa, kering kerontang tinggal kerangka
Candu menasbih akal, menatar ansietas
Mandi pada kubangan delusi
Makan dari jamuan ilusi
Hilang berpindar dalam kasemat
Tersingkir tanpa mandat, tersungkur tertunduk terjaring pukat
Di ujung gerbang tanpa garda, pembenaran persepsi dari hidup fajar hingga senjakala
Interaksi parapsikis, parafatamorgana

Ereksi halusinasi... dosis dominasi

Mati.

AL, 27/7/2019

'Kwartir Anasir'

Saling berpagut...
Saling berpaut...
Saling bertaut...
Saling berebut...

Daya alam diambang tanduk
Daya alam habis dikeruk
Mata air adalah air lumpur
Udara adalah debu kapur

Orang-orang makan asap
Lauknya hujan asam
Orang-orang main tangkap
Sibuk saling tikam

Sementara pokok batang kering kerontang
Penghuninya mati bergelimpang
Diurug dan ditimbang
Dilibas dan ditebang
Dilubang dan ditambang

Mayapada tudung terakhir
Namun air henti mengalir
Rimba tinggal bebatuan
...dan ranting-ranting diiris serampangan
Kwartir anasir...
Padang pastura tinggalah gurun pasir

Rantai makanan tinggal rantai pasungan
Hutan hujan habis ditelan
Fauna pincang mengincar buruan
...dan kompetisi sabung insan tinggalah sandiwara hiburan
Kwartir anasir
Padang rumput dipancang kikir

Saling berpagut...
Saling menyambut...
Saling bersahut...
Saling melucut...

Cantik jelita...
Tinggal keriput.

AL, 13/10/2019

'Nihilis'

Renda-renda api di semenanjung pencakar langit.. ramai pelita, sepi mencekik
Pintu-pintu rapat tertutup, suara-suara terasa sunyi.. gulita mengurung bak katup
Sementara nihilis terseok dalam lubang kotoran.. menatap wajah, bercermin pada genangan comberan..
Ia tersenyum pada lukanya.. berharap nanah membalas senyumnya..
Darah meleleh membasahi celana dalamnya, Ia terdiam tak lagi tertawa.. sebab sakit kadung merasuk raga

Maka ingat tapak darah yang Ia tinggalkan di sana... agar tak lagi kutuk melaknat
Ia bukan binatang pengerat, Ia tak mudah dihantar penjerat
Jangan dihina... dicaci, dianggap sesat
Sebab dosa itu menular.. mewabah, liar tajam menyengat

Nihilis kini menangis... senyum manis dibalas apatis
Yang Ia tahu sekedar ujung jurang, maka siapa yang pantas dituduh bila Ia tamat tragis?
Di antara dinding-dinding cela...
Gorden-gorden jendela terbuka sebelah mata..
Tak ada yang berani menyentuh, kadang dianggap hama
Disingkirkan bak seonggok gulma..

Maka siapa yang patut dianggap sampah?

Ia lalu berbicara pada langit.. sebab hanya dia yang sudi menatapnya
Ia berujar pada tanah.. sebab hanya dia yang sudi beralas ramah
Ia lalu berbisik pada pohon... sebab hanya dia yang membalas desir bisiknya
Ia lalu menatap dua bola mata.. Ia kemudian dihantam sekeras-kerasnya

Maka siapa yang patut dianggap hama?

"Sudahi takdir" katanya..
"Sudahi masa" ujarnya..
"Sudahi apa yang ada" lirih Ia berkata..
"Sebab siapa yang patut dianggap gulma!" ia berteriak keras tanpa belas kasih belaka

Ia Nihilis di ujung tepi tempat pembuangan..
Dalam wajah-wajah amnesia, lambat laun dilupakan..
Dianggap hampa, sekedar limbah menjijikan..
Ia Nihilis terombang ambing di sisi bantaran..
Menatap riuh kebencian, bak dianggap pandemik, benih kematian
Ia Nihilis tanpa kepastian.. hidup sekedar kemauan,  impian, harapan.. kemudian mati kelaparan, mati disingkirkan.

AL, 10/12/2018

'Di Mana Lagi Aku Berkaca'

Aku ikuti jejak semenjak dirundung injak
Aku berkaca kepada aliran comberan
Aku lihat cerminan, wajah buruk tak karuan

Seringkali waktu aku dihidangkan pilihan
Hidup dalam pergumulan
Meski busuk kemudian

Di mana lagi aku berkaca?
Aku tak kunjung temukan Hyang Pencipta
...
Sekalipun aku ditunjukan jalan di mana Ia berada, selalu mereka serentak menunjuk huru-hara
Menunjuk pergulatan sabung kebenaran
Menunjuk ini itu sebagai kemungkaran, sedang mungkar pribadi tak pernah ketahuan

Aku menerka setelahnya... menimpakan banyak curiga
Seberapa agungkah Ia? Patutkah semestinya?
Kalau dengan sengaja masih pula diterka hamba-hamba, diajak bersekongkol dan bermuka dua...
...diajak mengantongi senjata, diajak meluluh lantak apa yang Ia sendiri cipta.

AL, 10/7/2019

'Pneumatifobia'

Manusia itu seiras dan serupa
Memandang penjuru sisi dan mengisolasi diri
Dipasang ranjau ketakutan, yang bila diinjak maka akan meledak berbagai pemberitaan

Manusia itu memiliki berbuah-buah alutsista, yang dibuahi dari perawan bernama pemerintah dan upeti dari gelandangan tak berumah

Mereka tak takuti siapa-siapa yang ada, bahkan malaikatpun akan pasang badang bila dipanggil... itupun tergantung nominal harga

Mereka tak memiliki kecemasan berlebih akan nyata, bahkan sang Pencipta bisa diarahkan semau rapat anggota

Namun dibalik jumawanya dan sungguh tak terduga...
Ternyata aku salah kaprah dan salah menerka...
Ternyata oh ternyata, mereka juga ada rasa takutnya...
Mereka takut kepada ketiadaan
Kepada ruh orang mati
Kepada simbolisasi
Kepada penalaran
Kepada opini bila tak sejalan dengan kebakuan
Kepada demokrasi yang ia cipta sendiri
Kepada tikar diskusi
...meskipun itulah awal tanah ini berdiri

Mereka takut
Kepada segala kenyataan
Kepada pertanyaan dan pernyataan
Kepada ujaran sanggahan yang mereka balas dengan kalimat cacian
Kepada aksara-aksara tanpa persetujuan
Kepada hilang jati diri
...meskipun mereka yang menghilangkannya sendiri

Mereka takut
Kehilangan tanahnya
...meskipun seringkali mereka murah menjualnya
Mereka takut
Kehilangan saudaranya
...meskipun seringkali tanpa ramah tamah mereka menyapanya
Mereka takut
Kepada ironi
Kepada tetangganya sendiri
Kepada halaman-halaman buku akademisi
Kepada protes akan penuntutan solusi
Kepada hak penentuan nasib sendiri.

AL, 31/8/2019

'Nara'

Ditimang waktu..
Dalam palsu
Sekedar berirama
Namun tak berima
Nila-nila berbondong hampiri satu jiwa
Malam enggan nampakan akhirnya
Apa yang Ia harapkan
Dicampakan...
Maka binar-binar bintang yang terbentang
Berikan Ia petunjuk lantang
Biar pagi tak kunjung kembali
Ia sakit dalam juang

Maka Ia mencari surya..
Di atas tebing-tebing menjulang
Maka Ia cari cahaya
Di atas bara
Di kawah lava

Maka bisikan setiap waktu..
Kala Ia dicipta dalam relung belenggu
Tak padam... tak sekedar berpasung ragu
Petaka yang nampak datang beregu..
Di seberang itu..
Bersama sang sendu
Ia datangi dan bernyanyi merdu
Bukti diri selagi mampu
Meski luka mengering sekujur tubuh.

AL, 16/1/2019

'Kampungku, Di Runtuhan Dinding'

Lembah sunyi, reruntuhan puing dibawah daging
Kampung di tonggak pondasi bekas dinding
Yang diatap tenda.. dialas terpal
Merambat dingin, ditembus panas..
Ditenteng airnya.. ditenggak keluarga
Disana ada kepala, yang harapkan langkah dari perihnya telapak berlumur nanah..
Jerit si kecil, di bekas sarangnya..
Yang sebelumnya dicekok cinta.. janji.. didustakan sesama..
Kini tinggal puing-puing bekas runtuhnya dalih penguasa..
Sementara mulut si pengumbar asa kian lantang sambut bursa kuasa
Fahri kecil merengek diayun-ayun Ibunda..
Supaya lelap tidurnya..
Supaya lapar tak terasa nyerinya..
Memang nyeri adanya, nyeri balita lemah di tanah bekas rahim peristiwa

Muslihat disusun rapi saat itu..
Rata sudah tanah tanpa nama, katanya..
Kata mereka yang hingga kini tutup mata..
Memang, kata-kata penguasa harus ditaati bersama..
Sebab yang berkuasa..
Kini duduk di atas sofa..
Namun yang kini tanggung porak-poranda
Bidaknya.. Kacungnya.. Seribu mimpi dilindas siksa

Kampungku, menjelma pucuk ranting
Tak lagi bermukim damai, mimpi penghuninya perlahan kering
Kampungku, di runtuhan dinding
Bekas dusta para maling
Diikat dalam pelik, ratusan sengsara ditunjuk nyata
Tanahku tiada..
Dikurung nestapa
Tanahku kini rata
Diperaduk sengketa.

AL, 11/1/2018

'Anti-Tesis'

Ia satu jiwa dengan prasangka
Hidup berakar dari berlalunya masa
Satu atma sebaya, khayal belaka
Berujar diri lantas terbata

Ia embrio dari macam dusta
Yang diucap sekedar mengelabui sukma
Ia melangkah dengan telapak praduga
Dan lisan yang saban waktu disanggah sembarang kata

Tak sanggup upaya retorika
Ia tak bisa dibela...
Ia lahir dari titian abstrak dan fana
Sangsi mahluk tanpa suara
Sangsi terhadap hidup dipaksa legawa

Temboloknya penuh dilema; binar simalakama
Kini coba merangkak 'tuk arus sedia kala
Pula di comberan mengais-ngais aksara
Dan aspal-aspal basah yang mesti diinjak pula
Ia tak peduli, matipun bukan kehendaknya
Ia mesti hidup, meskipun dikodrat sengsara
Biar muncul banyak pertanda
Remukpun tak mengapa.

AL, 6/7/2019

'...nostrum'

Dekapan menjelajah sekujur rupa, pergi saban sakitnya ujung kaki hingga ujung kepala
Rasa tanpa rasa... mengakuisisi akal terbang berdiaspora
Mencakup khayangan tanpa bola mata; nir netra
Berputar dalam bayang... ejakulasi imaji menafsir langkah pikir, hilang diri lekas menjauhi elegi
Aku menenggak dan menghirup dalam-dalam
Supaya tiada suram

Di langit-langit aku tenggelam...
Menghamba kepada alam endemiknya atma, duduk bersila saling menyapa
Beranjangsana, bercengkerama dengan seteguk ayahuasca di meja-meja para Batara
Batara yang berupa aku, di lain roman mestika, yang ramah berdialektika

Pamit, kemudian aku suguhkan dahulu tentang banyak tanya...
...dan mereka menjawab;
"Perihalnya garis langit dan seisi jiwa, yang tak pernah engkau ketahui sebelumnya, sebab terlalu lama engkau terkekang nyata, yang sekedar ladang pengingkaran semata, dan kebodohan yang dipermainkan kata; medan egosentris pula gala agenda"
....
Maka ku berjanji, tanam dalam sanubari
Untuk bertandang lain masa
Setiap ruh ialah tabib sukma

Lembah alam bawah sadar
Gelanggang memamah ajar
Tanpa kelakar... hanya rima-rima asasi makna dan gelayut ereksinya yang mengakar di arteri-arteri cerita
Menginvasi algoritma denyut jantung dan hidup yang semenjana
Miliaran metafora, dan metamorfosa, supaya membentuk pribadi semestinya
Termenung sejadi-jadinya
Epilog hipnosis perlambang batin
Merengkuh warna-warna semesta
Mendekap setiap maya

Temui padu, rumus-rumus ambigu... pula enigma tabu, pula tatanan pandu, tataran ragu biar lekas sembuh... berjejal dalam pelataran palung kalbu, padepokannya segala euforia, candradimukanya sendu
...
Memijak titah laku dan lelakon...
Membaca balada dari palung hulu
Nostrum ialah renungan padu, ialah penghayatan, inokulasi tertuju.

AL, 18/7/2019

'Sebagai Bagian...'

Maka ingatlah aku sebagai sesuatu yang usang...
Sebagai sesuatu yang punah
Hingga kala waktu engkau bersaksi, adalah apa yang membuatmu beranjak menepi
Letakan itu sebagai pengingat, bahwa semenjak ilusi dan secarik sandiwara meresap ke dalam lain sisi;
Kau mengingatku sebagai bagian tanpa arti

Jika dawat-dawatmu habis, maka gunakanlah kalimatmu
Karena cukup hitam... karena cukup kelam
Sebab pernah sekali waktu aku balas, setiap rimanya jelas tajam menghantam
Gunakan aku sebagai delusi, bahwa waktu-waktu yang lalu sekadar syair tanpa melodi

Aku dungu, tak sadar diri
Imbesil dan tanpa janji
Tanpa tahta dan terbodohi...
Tertunjuk macam jari
Jelas bukan engkau, bukan, bukan idam yang kau tahui

Aku ingin memulainya berakhir
Ketimbang meletakan sabar hanya di atas kalimat tunggu tanpa hadir
Aku sadar aku terbodohi...
Diperjanjikan diri akan enigma dan paru-paru elegi

Lekaslah pergi;
Kejarlah apa yang kau anggap mimpi
Raihlah dan resapi
Karena setelah usai macam jelaga yang kau lewati
Aku di sana menatapmu tanpa henti
...
...diinjak takdir dan terbaring mati
...
...memalukan, bahwa nyatanya ada melankoli dari akal laki-laki.

AL, 14/1/2020

'Orang Esok'

Akulah sosok
Yang hidup menatap esok
Segala lirih suara
Ialah seruan asa
Lawatan cita, menasbih sukma

Meski terkadang...
Terkadang dirundung derita
Namun surya masih ada di ubun kepala
Dalam usap takdir aku percaya
Banyak terjaja tajuk rencana

Tiada alibi yang dibawa esok hari
Namun jalan yang dilewati
Ialah alasan yang diperoleh nanti

Maka aku tatap esok
Bukan sekedar menatap..
Namun berdialog
Dengan senyap
Dengan gelap
Dengan segenap rayap
Tentang arti harap
Tentang diri tiada mau terjerembap
Dalam gegap gemerlap

Maka esok adalah yang dinanti
Bukan tentang kemarin
Kemarin adalah ajar
Tentang takdir terjajar
Dan tentang langkah mengejar
Semburat pijar.

AL, 3/1/2019

'Mañana'

Dan aku mengambil lebih banyak senjata dan merangkai pandai kata-kata
Aku menginginkan lebih banyak tamak dan harta kaya
Dan aku memelihara lebih banyak prajurit, lebih banyak panglima
Aku akan membentangkan garis sebagai batas, aku akan menjadi tunawisma dan aku akan menjadi putera mahkota
Akankah kita seberangi bersama?
Bersama keturunan dan sebaya
Bersama tanah, air, udara dan cahaya?

Lumrah adanya jikalau tanahku menangis melihat apa yang aku perbuat
Namun yang demikian tak pernah menjadi suatu pengingat
Aku mengambil banyak senjata dan merangkai pandai kata-kata
Untuk melumpuhkan dan menyembuhkan
Dan berusaha menjadi kuasa di atas banyak kepala
Akankah kita seberangi bersama?

Saat penaklukan menjadi tujuan, dan di sana adalah sarangnya hakikat kehidupan
Akankah kita menjadi lengan?
Saat aku kelaparan, saat aku berada kenyang di atas meja makan
Persepsiku tentang dosa, persepsiku tentang surga
Akankah kita seberangi bersama?

Untuk merangkak diantara belantara
Dan bertemu dengan macam lelaku, temanku adalah ketidakmungkinan, dan sudut pandang

Bila kita saling meneriaki Tuhan dalam peperangan
Akankah kita menjadi satu dalam kepastian?

Dan aku harus mengambil lebih banyak senjata, lebih banyak prajurit dan lebih banyak panglima
Aku harus menyusun pidato dan propaganda
Aku harus menyisihkan belas kasihan
Aku harus menjaga harkat kehormatan
Aku harus bersaing dalam pembunuhan, aku harus menjadi martir dalam keyakinan
Aku harus banyak memenangkan pertarungan
...
Demi perdamaian, demi merdeka
Demi lain duga yang beribu jumlahnya
Bila itu yang musti menjadi budaya
Akankah kita seberangi bersama?

AL, 15/1/2020

'...anjungan Sena'

Bahtera telah muncul sebagai pertanggungjawaban... membawa para tetawan dan nurani ditenteng kejam tanpa padanan
Bahtera itu melalangbuana... beralir pada arus, antonim memamah sebagian
Sehingga Ia terombang-ambing, dan hanyut tanpa kepastian...
Gegar akal... kemudian monolog-monolog terpatri sebagai narasi kekal
Para sena menari dalam tarian pasca... sebagai langgam dan perbuatan cela tergantung sudut mata
Ada tuan dan sahaya...
Mereka beranjak tua
Ada yang diperagung dan diperbudak
Ada dominasi dan kulminasi
Ialah penggubah dan penimbang, kala lubang kotoran menjadi sesembahan, dan peribadatan menjadi sabung takaran
Ada yang lupa... menjadi legam dan buta, diarah kejora dan ditampak muka sehingga Ia merasa dibaptis semesta
Ilusi yang diikrar akan menjadi patokan, dan citra akan menjadi alat... bestari akan diajak main mata, sehingga orang-orang akan mengingat, bahwa lebih baik mereka melupa
...
Alam sandiwara akan dipenuh persona;
Sebagai topeng-topeng dan penjiwaan, sebagai kanvas supaya dibuat sesukanya
Sembunyi mereka, sembunyi dalam perspektif... menyerta diri memadu ketaksadaran, memadu sukma kolektif
Mereka memijak menjadi kawanan... saling menemani, sehingga langkah depan menjadi kebiasaan
Langkah ringan tak terbeban
Dan ekosistem dapat diputarbalikan
....
Maka bahtera-bahtera pertanggungjawaban adalah notulensi pergulatan pandang
Pertanggungjawaban atas bathil dan kebenaran
Yang seiring masa dapat semaunya diarahkan
Karena bila ada satu yang meragu mengenainya, maka para sena menganggap bahwa kebenaran adalah arena perdebatan
Sehingga mereka menasbihkan;
"...bukankah pula kebenaran adalah kepastian tanpa kepastian?; kepastian dewasa kini namun tidak pada hari depan."

AL, 28/10/2019

'1,618'

Raga ini...
Mengingatkanku bahwa aku tak sendiri
Menjadi abadi...
Bahwa patutnya sadari, segala sakit yang terjadi hanyalah secarik ilusi

Raga ini...
Sebagai detik-detik yang berbunyi
Menjadi serpihan...
Bahwa patutnya mengerti, segala terlukis takdir hanyalah hasil, setiap konklusi adalah andil

Raga ini...
Sebagai nafas dan wadah dari ruh
Menjadi guru
Bahwa patutnya pahami, segala yang hadir hanyalah tetamu, palsulah adanya apa saja yang tersentuh

Bila aku berteriak keras;
Menilai segala sebagai sesuatu
Sebab nujum bukan barang tentu
Namun bukanlah hina bila jiwa enggan dan menyenta
Sebab ku ingat sesuatu dengan nilai harga tak segala

Raga ini...
Adalah cahaya miliaran waktu tempo lalu
Ledak binar ruang waktu
Dan hantaran abu
Bintang-bintang jatuh
Bahwa patutnya dijaga tanpa ragu, hadapilah semu
Abadilah... abadilah sebagai pijar-pijar dan rambu
Bernaunglah kepada alam semesta
Maha Pencipta

Raga ini...
Mengingatkanku bahwa aku tak sendiri
Menjadi abadi...
Bahwa patutnya sadari, segala sakit yang terjadi hanyalah secarik ilusi.

AL, 15/1/2020

'Troika'

Aku ada di antara bagian... lingkaran demi lingkaran yang berbeda haluan
Aku berada di antara kuda-kuda yang memancang kepada kereta-kereta
Banyak diarahkan namun aku tetap menjadi tiada
Aku sekedar mahluk yang seakan berpura-pura

Aku meminta hitam, tolong ubah taman cita dengan pancang kayu sebagai aliran darah
Karena aku tak menemukan apa-apa
Aku menemukan diriku dipermalukan dan dijadikan santapan
Hanya itu layar yang tersingkap, dan aku tahu ini hanya lelucon belaka

Aku mempunyai mata yang tak diinginkan siapa-siapa
Dan mulut yang gagap wicara
Aku enggan seperti itu adanya
Hingga aku tahu mungkin adakala batas terlihat benar
Memberiku aba-aba
Bahwa itulah akhir sapa
Dunia...
Aku akan menjelma sesuatu
Bukan sebagai gulma
Aku akan menjadi penumpang
Kencana troika.

AL, 19/1/2020

'Reposisi'

Hayati rungu, pula hayati netra
Hayati ego dan akar prasangka
Jejaklah pada padangnya sudut pandang
Kenalilah dan ajak ia bertandang mesra, ajaklah bertaut pula senantiasa bercengkerama
Kendalilah dan camkan dalam-dalam
Hayati setiap yang hadir di pelupuk mata, timbanglah esensi euforia
...timbanglah pahit disforia
Timbanglah pada tanda koma... sebagai peralihan dan penalaran
Paradigma ialah pengadilan hak dan bathil
Bentuklah dan lantas cerminkan...
Sebelum lahirnya amar putusan
...
Disposisi seutas tali
Yang ditarik beragam sisi
Habis lalu hanyut dalam disparitas
Diri sadari ada mimpi-mimpi yang belum tuntas
Disparitas itu antara mau dan mampu
Perantara tagihan diri yang belum dibayar lunas

Patutnya disadari
Ada fondasi yang mesti dihargai;
Air susunya...
Kucuran keringat pula air mata
Lulabi setiap malam...
Do'a dan pengharapan...
Senyum dan rintihan
Fondasi itu sebagai landasan
Hingga kematian tinggal menunggu panggilan
....
Hayati rungu, pula hayati netra
Ialah rahim atas konklusi jiwa
Konklusi atas macam dinamika
Hingga ditepatinya janji putus usia.

AL, 19/9/2019

'Antaprota'

Beberapa merasa tak melunaskan kemauan
Beberapa memberi atas apa yang Ia punyai
Ucapkanlah mengharga dalam tindak pula ungkapan
Kerana cita seringkali tak datang akan apa yang engkau tengarai

Jangan kau tinggikan dada, jangan engkau hunuskan palingan kepala
;Kepada yang berdiri
Meski Ia tahu satu-satunya yang berpihak padanya hanya bayangan dirinya

Ia akan menyebut namamu
Ia akan menjadi mata koin
Maka lemparlah
Namun yang teringat; Ia adalah pilihan hidupnya
Bila Ia bukan mata air, Ia juga ular berbisa.

AL, 19/1/2020

'Histeria Para Sena'

Deret pion tertata rapi.. di dinding kaca berangka besi
Menatap entah kemana, namun satu yang pasti
Ia menatap lama di kerumunan kuda siap pakai, kuda-kuda poni
Dan setumpuk surat-surat prerogatif dari keputusan para petinggi
Hadapi hari-hari wisata di lembah ironi, menari dalam rentetan eksekusi, hingga anak-anak kelaparan pemikul pidana mati
Deret pion tiada henti dibuat tak bergeming... sebab wujud hanya apa yang ada
Tak cukup istimewa...
Sekedar nampak berani menerima serbuan maut yang diada-ada...
Sementara wine beserta mulut bergurau di atas meja dari negosiasi raja-raja
Maka semenjak dulu jutaan kepala hilang atau maju sekedar umpan mati pertama... umpan mati bersama

Ini perihal dominasi... gengsi dan semenjak itu dianggap harga mati
Mempertaruhkan harga diri, sebab harga hidup sudah dibawa pergi..
Sudah dibawa mengarungi sandiwara cerita pembantaian dari pagi ke pagi
Sudah kadung dibawa pendusta pencari laba, dalih-dalih dikarung rencana, dibungkus strategi...

Deret pion kini tertata tinggal beberapa..
Menipis kerana habis patah tinggal nama..
Pion merana...
Dianggap luka lama..
Hasil drama
Dibuat atas swadaya berandal digdaya..
Kebohongan bersama
Mempermainkan nyawa
Kini yang tersisa keringat-keringat dari topi baja
Riuh ketakutan disebar rata
Suara-suara tanya dari mulut ksatria
Histeria para sena...
Bergetar seluruh raga..

Sementara bajingan melolong di kolong meja, ada pula bajingan di istana baja
Anjing-anjing berparas perkasa.. sembunyi di balik lencana, dan piagam kerana menghabisi banyak nyawa
Tiada nampak di muka, telunjuk mereka pelopor bencana..
Sembunyi rupa di balik liang lahat anak-anak, wanita dan lansia
Sembunyi di balik mahkota
Di kerangkeng gerbang neraka

Pion dibuat menari menghadap Pencipta
Di gurun maupun di rawa-rawa
Panji-panji penaklukan dibuat meyakinkan
Koran-koran pagi dilumuri darah tetawan.

AL, 31/12/2018

'B.U.M.N'

Tuas-tuas kaca, retak rutinan; siklus kelas kakap dan teri di terali tahanan
Menurutmu adakah padang yang bersih?; bahkan ada lumut di lantai-lantai petinggi, dan daki di kerah-kerah putih

Ada yang berulang kali tersandung namun bukan batang kaki
Ada yang mencoba menjadi pencuri, turunan mendarah jatah kanan kiri
Hati-hati dan rapi, sebab manakah kesempatan tak diraih jika kau berada di sabana ruang kendali?
Tentu bila ada niatan, apalagi satu dalam pikiran, tindakan di luar nalar bisa jadi kenyataan

Bukan cerita usang, bila ada yang main perawan
Perawan yang bernama akuntabilitas dan kejujuran
Bosan bila kami katakan, bahwa persetan dengan kekayaan apabila perputaran hanya berada dalam lubang lingkaran
Persetan pula dengan kesejahteraan apabila kesejahteraan masih di ambang ladang perdebatan
Lantas apa yang diperdebatkan bila debat hanya berakhir tanpa putusan dan obrolan bagi jatah di atas meja makan
Sementara ada ratusan juta pasang telinga memasang badan hanya untuk dipaksa kelaparan

Bukan untuk manusia nurani
Juga bukan untuk manusia
Harusnya seperti itu
Namun kita memang lebih brengsek dari biasanya
Menurutmu adakah padang yang bersih?; bahkan ada noda di balik puja-puja, dan borok di balik kamera

Tersenyumlah kawan tersenyum, berikan suara tawa setelah berperan sebagai komplotan penghasil perkara
Para pemerkosa yang tak sadar diri diutamakan di mulut neraka
Ahh hal yang biasa sebab kita terbiasa
Menjadi makanan anjing dan buaya
"Ahh bila ini terjadi lagi, bentangkan saja spanduk dan kobarkan bicara"
Begitu saja berulang seterusnya

Ada yang tak mendengar, dan engkau bergerak percuma
Ada yang mati bukan raga hanya seonggok nurani
Ada yang berulang kali tersandung namun bukan batang kaki.

AL, 21/1/2020

'416-1819-0215'

Kait-kait persona shahih menatar
Ketakutan mewabah ilusi batiniah
Antonim nalar, ditelan bulat-bulat euforia
Alam sadar, dibatas degup pembuluh darah

Temukan Ia... bayangan diantara kubangan binar
Beralih visi, benamkan harfiah
Sinonim dari nubuat berlembar, singkir paranoia
Nir kabar, diatas altar kemudian berserah

Sikapi kelana reinkarnasi
Kemudian hari beralih muka
Lupakan luka sebab ialah khayal
Galilah, dalam kubangan derajat

Dilema dalam ngarai narasi
Soliter coba dihanyut penerka
Di sana jati diri... menyeret angan binal
Pahami isyarat jamah prasyarat.

AL, 1/8/2019

'Miasma'

Dia meraba...
Sekelebat ku ingat suatu kenang, memori aneh yang mustahil hilang

Dia memukul...
Dan riang bahagia menjelma negeri dongeng
Semenjak itu mentari tak pernah datang, badai tak temu usai... badaiku beruntut panjang

Dia memaki...
Apa yang Ia renggut dariku?
Tak pernah ku ketahui, namun langit di hadapanku... mereka semakin menghitam, mereka menanti di ujung jalan

Dia memandang... terus memandang
Tetapi kuingat kata Ibu, tubuh ini harusnya aku jaga, aku sayang...
Namun aku bingung, Ia mendabik telapaknya padaku saban malam

Dia memandang... terus memandang
Tetapi ku ingat kata Ibu, raga ini harusnya terlarang
Namun aku dilema, aku tak tahu mengapa... Ia menjamahku setiap sisi, sementara aku disuruhnya untuk tenang

Tak dapat mudah lekang... cerita yang kadung ditanam, aku memanennya terus menerus... hingga kini berujung temaram

Dia menyuruhku diam...
Atas segala cerita, dan segala kisah di gelapnya ruangan, namun aku tak mampu pahami... aku takut setiap kali ku ingat, acap kali Dia mengancamku mati

Aku tak melihat, tiada setan ataupun malaikat coba berbuat, aku tahu bahwa aku cukup terlambat, kini aku rasa mengerti...

Kelambu tertutup kembali, dan malam ini untuk puluhan kali, rembulan tertunduk tamat.

AL, 26/7/2019

'Deuce'

Jikalau kau tanya hari ini...
Maka dadu terlempar lagi

Jika kau tanya tentang yang terjadi
Maka mata ular kan sama lagi

Jika kau menanyakan tentang kemarin
Maka koin kan jatuh di antara dua sisi

Jika kebohongan kan terulang kembali
Maka kau pasti melihatku berdiri
Lengkap dengan dua kaki

Jika sandiwara kan kau temu lagi
Maka kau melihatku menatap langit analogi
Terus menerus terulang tanpa henti

Jika aku tak melakukannya
Maka aku akan melakukannya
Sama saja...

Jika itu tak ada beda...
Aku tak tanya mengapa, ini bantaran dilema
....

Jikalau kau tanya hari ini
Maka dadu kan terus terlempar lagi

Alibi akan terus terjadi...
Berulang kali, berulang hari.

AL, 28/7/2019

'Semenjak Lalu, Ku Lupa Namamu'

Oh... dikau
Hai apa kabar, lama tak jumpa
Ku ingat kau, tapi tidak dengan nama
Siapa?

Oh... iya
Hai jalang yang ku temui di trotoar Kota Lama
Ku ingat sekarang
Karena erangmu masih mencampuri pendengaranku
Menjadi cacing telinga

Hai kau
Apa kabar
Semoga baik-baik saja
...
Ku bilang semoga, karena memang aku berharap begitu saja
...
Hai aku
Apa kabar
Semoga pula sama baik-baik saja
...
Ku bilang begitu
Karena aku sudah tahu
Hasilmu positif, kemudian kau sumbangsihkan padaku

Semoga Tuhan mengampuni
Semoga Tuhan berbelas kasih

Hai sayangku, lonte di jalan buntu
Ku maafkan dikau
Kini ku berharap hikayat ini lekas berlalu.

AL, 27/7/2019

'Joan'

Relung termenung, Ia tatap dinding, Ia pandangi kurung
Bilawaktu Ia selalu menunggu, imajinya kian waktu rekat berdengung
Jazirah dan semenanjung, Ia datangi setelah lepas pasung
BerkatNya... jejaknya pasti terlihat, Ia menari diantara puing-puing, meski badai merundung
Rajai diri yang mesti dilakui, sebab nafsu ialah wabah, menjalar mengikuti

Hirup peristiwa ialah nyanyian sepanjang masa
Kenang usia ialah obat berserah pada yang Esa
Jikalau jerebu pula menghadang di hadapan mata
Ingatlah ibarat sahaya menghamba pada satu mahkota

Menyelami jeramnya hidup kadung Ia lewati...
Yang Ia tahu untuk kesekian kali
Melangkah Ia landaikan terjal dengan lafadz puja-puja
Dinding sekat ingatkannya, bahwa batasannya jelas masih ada
Namun tak redup ambisi, Ia langkahkan meski dengan alas caci maki
Joan De Arc hidupi nama, pada seorang wanita yang hidup meski dalam komplikasi mimpi
Daku menemukanmu tengah bersandar pada ingatan asa
Jejakmu masih nyata ibarat menyatu dengan aspal... jejakmu sepatu bara
...
Riang semesta menyambutmu pula, menyaksi apa-apa yang Ia cipta, dari khayal tuju sadar... hingga mencatat pada lembar-lembar memoar
Inang-inang algoritma asa, perlahan merasuk pada akhirnya, pertanda dan penebus segala lara, merambah elegi... mencipta bahagia diri

Zirah perangmu, wahai perempuan dari mekarnya teratai, sebagai pengingat diri supaya tak pupus, tertanam sebagai mahfuz
Kenalilah... kendalilah... tunduklah bersahaya kepada yang Esa, kejarlah-kejar mimpi sebelum berkerak, lekaslah lekas beranjak
Ibarat tinggi tanaman bambu, kala setiap bertumbuh badai pasti semakin kuat menerpa, teramat sering mendatangi, maka jangan engkau cepat meragui, jangan pula menyerah dengan sedu sedan menjadi-jadi

Perlakukanlah setiap petikan sebagai ajaran, yang terdapat di setiap sisi jalan, jalan terang maupun jalan gelap
Ujilah titah kepada amalan perilakumu, bersyukurlah setiap hadirnya waktu

Jika kelak yang kau nanti tiba, hai perempuan dari tanah khatulistiwa, yang lahir dari rahimnya neraka candradimuka, jangan pernah terlupa, meski engkau bertahta maharaj
Intan permata serta ranah dunia ialah suatu hipnosis, anestesi serta amnesia, tetaplah ingat satu, kepada siapa patut diri berserah... tiada lupa, jagalah diri... tanamkanlah arti, sebab kelak suatu saat nanti, setiap yang berdegup pasti kan kembali.

AL, 18/5/2019

'Realis Realisasi'

Ujaran maki
Terbesit benci
Warta tak pasti
Tiada bukti

Masa-masa itu membekas hati
Masa-masa itu membekas di ujung jari
Kala nama-nama dijunjung, agung tergandrung
Dualisme tantrum, saling menujum

Kini sudah abstrak adanya

Beda roman, beda cerita
Realis realisasi
Ini permainan semata
Berakhir di koalisi
Tanpa adicita, ini jabat kasta
Dalam meja rekonsiliasi

Kerana cerita ini, terbesit pikir mungkin di belakang lahir beribu murka...
Dari para penunggang kuda pelana
Yang dipantati bersama.

AL, 25/7/2019

'Neraka Orang-Orang Kota'

Neraka orang-orang kota, berada di lampu merah dan persimpangan jalan raya...
...di trotoar dan di wabah kemacetan merajalela
Neraka orang-orang kota, berada di lantai kantor yang berhimpitan berebut cahaya
...berada di jam makan siang dan makan dengan dompet pas-pasan
Neraka orang-orang kota, berada di meja kerja...
...di jatah lembur yang membuat mereka lupa punya keluarga, anak istri dan mertua

Neraka orang-orang kota... bukan nampak hiperbola, ini dari cerita para pengais pundi-pundi harta
Tidak serta merta menjadi orang kota adalah buruk rupa, atau semacam fauna
Jelas penghinaan! Orang-orang kota pula orang-orang mulia
Yang menafkahi diri serta lain manusia, yang memotong jatah bersandar di sofa dengan giat mendatangi palagan candradimuka
Orang-orang kota bukan hanya sekumpulan ras tanpa rasa
Ia berkutat penuh pada hidupnya, orang kota tak habis nurani pula cinta
Orang-orang kota adalah penyeimbang, pemandu langkah dunia
Yang bergerak semakin maju, mengais zaman-zaman yang kan tertuju
...
Maka orang-orang kota janganlah engkau lupa...
Nerakamu ialah mesin penggerak roda
Yang kau hidupi di dalamnya...
Kami hanya berdo'a
Kerana kami satu wujud sesama manusia
Bergeraklah, terus berkacalah, terus bermuhasabah
Agar tetap bersama, saling merangkul tangan supaya tak hilang imbangnya
Jangan kau pincang untuk melangkah...
Jangan pernah menyerah...
Jangan pernah buruk bertingkah
Apalagi serakah..
Karena nerakanya orang-orang kota
Adalah ladangnya memanen swarga.

AL, 18/7/2019

'Testosteron Di Bawah Oligarki'

Bila datang waktu... kemenangan yang dijanji waktu...
Luangkanlah pikir kawanku..
Sebab itu bukan kemenanganmu
Yang ada hanya kemenangan binatu...
Binatu penyatu jerat, jerat menantu tahta tabu...
Ini tak pernah terjanji, ini sekedar takdir yang datang seringkali...
Dianggap masa beda, ternyata selalu kembali...

Kau bertanya perihal kuasamu?
Maka jika suara-suara itu lirih memberitahu...
Tentang garis dan tawa-tawa di sebalik meja pleno
Yang disusun tanpa suaramu...
Yang disusun atas tendensi antar kubu
Testosteron di bawah oligarki
Yang melawan, ditakdir kriminalisasi... beruntung kalau tak sampai mati

Bukankah rumit?
Sekelumit kalut sudah kadung menjerit
Di lubang-lubang galian dan fosil-fosil seharga elit...
Tentu itu tak mudah, sialnya teramat sulit
Kala saudara sendiri dibiarkan kubur terjepit...
Dan sekawanan hyena kekenyangan dengan perut buncit...
Maka selamat datang di sini kawan...
Dengan penyakit turunan bertitel kekuasaan...
Yang menindas dan tertindaskan...
Di bawah oligarki mereka serahkan
Nafsu dan tabiat berdasar birahi
Dengan cara apapun demi meraup profit pribadi.

AL, 18/4/2019

'Petilasan'

Kebijaksanaan ialah pencarian, kebijaksanaan ialah alasan penciptaan
Menempatkan logika pada puncak dan membersihkan dasar sebagai akar
Hendaknya akan berbuah keselarasan, kesimpulan tercipta dari buah rencana
Hanya jika kau berharap baik maupun buruk, adalah niat dan restu dari raya

Berilah pikul kepada bahu-bahu ikhlas
Bukan beban dalam niatan supaya Ia runtas
Manusia ada mampunya, ada pula batasnya
Busung dadamu bukan tinggi selamanya

Ada yang ada, ada yang tiada
Keadaan ialah nampak indra
Namun biarlah tertanam mengenai gerbang akhiran;
Bukankah ketidakadaan ialah suatu kepastiaan?

Petilasan, tapak waktu yang berujung tentu
Adalah batu-batu timbangan, pada hari pengadilan
Ada yang patut ditinggikan
Pengendalian, menjadikan akal sebagai jiwa dan pusat tindakan
Ada yang patut diruntuhkan
Kesembronoan, menjadikan akal sebagai hewan buas peliharaan.

AL, 19/1/2020

'1%'

Jam demi jam... menit demi menit, sandiwara kejam atau sandiwara jerit
Romansa lara, romantisme pura-pura
Komersialisasi air mata
Komersialisasi air mani
Komersialisasi harga diri
Komersialisasi orang mati

Terletak bebas nominal pundi-pundi
Mengalir deras dari drama dan kesedihan, di atas kertas tagihan
Pula tersebar rata tetesan duka
Hasil menjual sengsara, merambah sekat yang dari dulu bertambah jumawa
Sungguh semaraknya agenda... sungguh semarak kongkalikongnya

Komersialisasi politis
Komersialisasi striptis
Komersialisasi puniendi
Komersialisasi poenali
Komersialisasi meja hijau
Komersialisasi kasus lampau
Komersialisasi alutsista
Komersialisasi perang saudara
Komersialisasi warta terkini
Komersialisasi akademisi
Komersialisasi pendeta
Komersialisasi ulama
Komersialisasi massa
Komersialisasi agama

Jam demi jam, menit demi menit... bila dunia tak berjalan kejam, kantungnya segelintir orang pasti ramai menjerit
Jam demi jam, detik demi detik... bila dunia tak berjalan suram, retorisnya segelintir orang pasti riuh berisik

Kita tak pernah aman
Aman kita adalah mata air penghasilan
Aman kita adalah barang dagangan.

AL, 25/7/2019

'Karousel'

...
Kemudian para cendekia saling menyabung ego sehingga muncul euforia
Tiada lagi hal bodoh tak terkira
;Selain orang yang satu kendara dalam pelana tanpa kuda
Karena sudah dijual tanpa harga
Atau dicekok perkara hingga sekarat tak bernyawa
...
Tiada alasan untuk apa dan mengapa
Selain mengais untung dan barang laba
Aku dengar molotov dilemparkan, dan timah dilepaskan
Satu-satunya yang tersisa hanya bingkai foto dari orang yang sudah jadi kerangka
Ibu pernah membisik;
"Kemudimu disetir tersangka nak, kemudimu diutak-atik kriminal"
Namun aku memilih diam
Sehingga aku merasa baik-baik saja
...
Aku enyah dari kompetisi sebab peluru salvo ternyata peluru terpidana mati
Maka aku tak heran mengapa banyak yang tergeletak, karena satu-satunya yang berarti hanya mereka yang mau diajak konspirasi
...mau diajak kompromi
...mau diajak melacur
...mau ditebusnya harga diri
...
Sehingga mereka tetap saling mengekor
Dan berlaku kotor
Sebab keuntungan itu berputar dan nafsu itu mengakar...
Sehingga mereka saling meneror
Dan saling memonitor
Sebab keuntungan tak selamanya satu nalar dan khianat bisa muncul tanpa dasar
...
Sehingga aku hembuskan nafasku sekali lagi...
Mungkin hela nafasku tak mampu bertahan lebih lama
Sebab karsinogen sudah jadi rencana
Dan arsenik ada di mana-mana
Terkhusus di dalam bilik orang yang banyak bicara

Maka diamlah saja(?)
Supaya aku tak mati dan hilang kemudian terlupa
Karena satu-satunya pihak yang mengingatku kelak;
Hanyalah orang tua, lansia dan angin lalu di naungan payung hitam depan istana.

AL, 10/9/2019

'Bicara Soal Ranah...'

Ranahku, ranahku
Ranahmu, ranahmu
Bila sudi ditunggu
Mungkin lain waktu menjadi temu

Bicara soal ranah mungkin derajatnya setengah
Setengah aku, setengah kamu
Berbeda dan tak sama arah
Itulah bumbu, berbhinneka namun padu
Jadi mengapa mempersoal dan meragu
Mungkin lain waktu kita menjadi satu.

AL, 24/1/2020

'Aku Rindu Menjadi Aku'

Aku mencari atas apa yang tak patut diketemui
Memaksa yang tak pernah merasa
Menerka atas apa yang tak pernah menerima
Mencintai atas apa yang tak sudi ditemani
Marah kepada barang fana

Seiring jalan; waktu menjadi lelucon dan hari menjadi komedi
Hanya ketika sudah teramat lama aku lewati, maka tempo terasa cepat terjadi
Membuang linang energi, menjarah isi otak tanpa isi

Dan aku meniduri halusinasi, kepada tingkah yang tak pandai aku lalui
Mengapa aku berusaha menjadi-jadi, kepada topeng dan sandiwara; sedangkan yang ku terima hanyalah seutas benci

Aku terlalu sibuk menjadi sesuatu
Berusaha menyamar seakan parade di depan adalah pawai rekaan
Aku terlalu berambisi menyapa ubah
Berpegang erat kepada ideologi yang nyatanya berkubang persepsi

Aku terlalu nyaman menjadi insan beribu pegangan
Aku terlalu hidup menjadi dalang atas naskah yang ulang kali digubah
Aku terlalu menari-nari, dalam latar padepokan yang dijuri macam alibi
Aku terlalu berangan-angan atas tujuan yang tak karuan

Aku terlalu jauh melangkah hingga aku kehilangan arah
Aku enggan dan lupa pulang ke rumah
Bertingkah seperti anak panah yang tumpul tanpa diasah
Aku terlalu memaksa untuk sesuatu tanpa ujung cerita
Dan berumpama seperti aku penerka segala
Aku terlalu sibuk berusaha menjadi ini itu
Sejujurnya aku rindu menjadi aku.

AL, 21/1/2020

'Prakala'

Atas benih yang tumbuh belum tuntas
Dari inang hingga tapal batas
Parasit saling kendali secarik kertas
Perjanjian tak pantas

Sarang-sarang kawanan runtuh
Parade singgasana berebut patuh
Pilar-pilar menjenjang enggan jatuh
Omnivora mengabdi, mengabadi utuh

Saling memburu
Medan belenggu ladang seteru
Tiada hal baru
Fana nikmat terlahir dari rahim haru

Panji-panji peperangan
Jasad saudara di pasar pelelangan
Mati di tanah digerogot peradangan
Monyet-monyet berkelakar di tempat pembuangan

Mereka bergumul mencipta pasukan
Beradu mereka mencipta teriakan
Menyuguh piring makan
Kenyang kalimah kutukan

Satu idealisme keji perlakuan
Hancur keping-keping tak karuan
Sabung keimanan bhinneka haluan
Pleno meja tuan tanpa pengakuan

Prakala melukiskan segala
Prahara berhulu dari awal mula
Rahim mala
Terusir paksa dari taman jauh bersela

Atas padang kanvas, serta batang kuas
Eden tak cukup luas
Mereka tak cukup puas
Untuk berlaku buas

Awal mula
Prakala.

AL, 24/8/2019

'Dan Laut Pasang Kemarin...'

Dermaga ini mengenalku, sebagai sosok yang seringkali datang sebagai penunggu
Sebagai saksi penantian; sebagai saksi bisu
Menanti insan menanti seseorang
Menanti insan di pintu gerbang, menanti insan pulang
Dari surut hingga laut kembali pasang

Aku belajar kepada camar-camar
Tentang hakikat bersabar
Aku bercengkerama kepada ombak-ombak
Tentang arti bertindak
Aku berguru kepada tirta biru
Tentang arti menunggu
Dan laut pasang kemarin... menjadi tanda
Aku masih mengharap pasang mata
Untuk menatapku hingga samudra tak lagi aku tatap luasnya.

AL, 13/10/2019

'Swa'

Dan dari inginku..
Aku tumbuhkan benih
Dan dari asaku
Aku rajut perih

Aku tak berlari kepada induk..
Sebab kepalaku tegak tak tertunduk
Aku tak sanggup merengek untuk dipeluk
Sebab aku tak mudah dibuat remuk

Surya! Dan purnama! Adalah kawanku...
Lapar dan dahaga, adalah karibku..
Tanah adalah saksi..
Dan langit adalah atap..

Ya! Jelmaku.. lahir dari loreng harimau
Mencakar risau, setajam ujung pisau
Aku! Tak khawatir terhadap gelegar petir
Sebab irama langkahku tajam, keras seraya penuh getir
Aku! Tak takut dihantam runtuhan batu
Sebab jalanku adalah waktu, akhir hayat bukan urusanku
Aku! Tak gubris kicau meracau..
Sebab hidupku bukan tentang masa lampau
Aku! Tetap melaju lepas belenggu
Sebab hidupku pula tanggunganku.

AL, 16/2/2018

'Salamku, Pada Manusia Jabat'

Jangan jadikan jabat tuan sebagai halang jabat tangan
Atau menaruh insan lain kepala setinggi dada
Janganlah, jangan... sebab itu barang tentu jadi petaka
Jangan taruh ucap sapa di punggung, jangan taruh salam terbuang muka
Janganlah congkak sebab udara yang kau hirup, karena nafasmu hanya sementara
Janganlah, jangan... sebab itu barang tentu jadi marabahaya
Setidaknya buka sedikit mata, ucap secuil hormat, sebab relasi adalah jalur umat, jangan disia-sia, jangan diputus tamat

Silaturahim; silakan yang penuh rahim
Rahmat mengkasim durjana biar terkumpul sila orang-orang karim
Mendamba guyub, mencinta kalimah-kalimah sua
Nuranimu barang berguna, pakailah sebagai pakaian bermanusia
Jangan palingkan wajah nak, wajahmu tak buruk rupa
Namun hati nak, hatimu jangan kau paksa sengsara
Biar redam segala pongah, biar redup sedih durja
Mari temui di malam-malam gempita...
Syair-syair perihal alam raya, dan semesta
Biar mereka ikut larut dalam cengkerama
Biar tali semakin kencang adanya

Salamku, pada manusia jabat, yang tak selamanya mutlak didapat
Kembalilah pulang... kepada hikayat tak fiksi
Tentang menjadi jati diri, tentang mencari arti
Bahwa ada yang menanti, menjadi sederhana, menjadi pasang-pasang mata
Bahwa sejati bukan sekedar mendapat permata atau meraup pundi-pundi
Ada yang patut kau sadari, manusia yang menjadi manusia
Manusia yang mengingat kulit ari.

AL, 1/1/2020

'Untuk Robert Newton Ford'

Topeng banyak yang berwajah
Wajah banyak yang dirajah
Senyum banyak palsu karena dunia banyak mau
Murung dapat diuntung, juga untung dapat dirundung

Ada yang mendatangimu, dan engkau mesti banyak tahu
Apa tuju, dan sebab mengapa berlalu
Apa dan siapa, apa isi dalam botol madu
Khawatirkan, khawatirkanlah selalu

Hanya karena...
Ia akan bertanya mengenai apa yang engkau punya
Sebagai ukuran setinggi apa Ia akan menaruh dada
Ia akan berupaya mengetahui mengenai kilauan rupa
Sebagai bagian timbang setinggi apa hormatnya di atas kepala

Ia akan mencoba menaruh batang kendali
Ia akan mencoba menaruhmu sebagai dadu judi
Ia akan menjadi zombie pada harga diri
Dan Ia akan mengkudeta tanpa dasar, mengambil alih tanpa sadar

...
Dunia tak terlalu kejam, hanya memang beberapa
Juga terkadang semuanya, semu yang banyak maunya
Juga terkadang semaunya, semu yang banyak bertanya
Berganti andil giatkan waspada, sebab disana banyak mengantri kereta domba dan kusir serigala
Banyak bersauh bergelimpang riuh
Banyak jelmaan kuda-kuda Troya

Menjadi suatu awam, sudah menjadi kebiasaan
Menjadi suatu wajar, hal yang biasa
Dunia memaksa manusia menjelma mahluk curiga
...
Ku titipkan salam...
Untuk Robert Newton Ford, semoga kau di neraka.

AL, 30/1/2020

'...dan Rene Louis Conrad'

Tumpukan catatan, ada catat yang tak disimpan... dibuang atau dicorat-coret, menjadi rekaan
...dan Rene Louis Conrad, menjadi penasbihan

Sebanyak apa bekas barakuda di jalanan
Ada tapal demarkasi yang menalar keadilan
Sebanyak apa tatar bayonet di muka pengadilan
Ada transaksi yang perlu disambut perlawanan

Banyak Samson coba digunduli, namun mereka tidak hilang kekuatan
...dan Rene Louis Conrad, menjadi  sisipan
Menjadi berita duka dari teater orang gila
...dan Rene Louis Conrad, adalah arsip pencemaran
Oleh mereka yang dikandang perlindungan, dengan lencana Bapak atau sanak kerajaan

AL, 1/2/2020

'Fatatsabbatû'

Bila aku hanya tertuju satu, hanya pada buku-buku;
Aku mati
Bila aku hanya tertuju satu, hanya pada kalimat-kalimatmu;
Aku mati

Bila aku menakar dengan baku;
Aku angkuh
Bila aku menakar tanpa nalar;
Aku pongah

Bila aku berkata cela menuduh, karena apa yang aku baca mengatakan sedemikian itu;
Aku bodoh
Bila aku berujar cela prasangka, karena apa yang aku kaji mengatakan jemawa praduganya;
Aku khayal dan aku utopia

Aku membaca dan mengkaji suatu olah kalimah yang disusun sedemikian rupa
Maka bilamana aku sekedar menerka setiap baitnya, dan mengangguk seperti kerangka tak punya jiwa
Maka panggil aku Judas
Yang berkhianat dan berbuat tak pantas
Kepada jiwa dan akal, kepada nurani
Kepada hati dan indera
Dan kepada sesama isi kepala

Bila aku hanya tertuju satu pada putusan terdahulu
Dan menimbang dengan ayat-ayat yang bisa saja direka palsu
Aku bodoh
Dan aku akan mewujud benalu
Aku bukan nara
Dan aku hidup dalam ego tanpa batas
Aku lantas menasbih diri dewa
Dan itu adalah pengkhianatan; akan cita memanusiakan manusia
Maka aku harus mendekat kepada nyata... mendekat kepada macam pola pikir dan paradigma
Kepada nasihat dan petuah, kepada norma dan irama
Kepada jalan yang cair tak beku, ramah tak baku, menyatu tak kaku, rangkul fatatsabbatû.

AL, 1/10/2019

close
Test Iklan