Selasa, 04 Februari 2020

'Nihilis'

Renda-renda api di semenanjung pencakar langit.. ramai pelita, sepi mencekik
Pintu-pintu rapat tertutup, suara-suara terasa sunyi.. gulita mengurung bak katup
Sementara nihilis terseok dalam lubang kotoran.. menatap wajah, bercermin pada genangan comberan..
Ia tersenyum pada lukanya.. berharap nanah membalas senyumnya..
Darah meleleh membasahi celana dalamnya, Ia terdiam tak lagi tertawa.. sebab sakit kadung merasuk raga

Maka ingat tapak darah yang Ia tinggalkan di sana... agar tak lagi kutuk melaknat
Ia bukan binatang pengerat, Ia tak mudah dihantar penjerat
Jangan dihina... dicaci, dianggap sesat
Sebab dosa itu menular.. mewabah, liar tajam menyengat

Nihilis kini menangis... senyum manis dibalas apatis
Yang Ia tahu sekedar ujung jurang, maka siapa yang pantas dituduh bila Ia tamat tragis?
Di antara dinding-dinding cela...
Gorden-gorden jendela terbuka sebelah mata..
Tak ada yang berani menyentuh, kadang dianggap hama
Disingkirkan bak seonggok gulma..

Maka siapa yang patut dianggap sampah?

Ia lalu berbicara pada langit.. sebab hanya dia yang sudi menatapnya
Ia berujar pada tanah.. sebab hanya dia yang sudi beralas ramah
Ia lalu berbisik pada pohon... sebab hanya dia yang membalas desir bisiknya
Ia lalu menatap dua bola mata.. Ia kemudian dihantam sekeras-kerasnya

Maka siapa yang patut dianggap hama?

"Sudahi takdir" katanya..
"Sudahi masa" ujarnya..
"Sudahi apa yang ada" lirih Ia berkata..
"Sebab siapa yang patut dianggap gulma!" ia berteriak keras tanpa belas kasih belaka

Ia Nihilis di ujung tepi tempat pembuangan..
Dalam wajah-wajah amnesia, lambat laun dilupakan..
Dianggap hampa, sekedar limbah menjijikan..
Ia Nihilis terombang ambing di sisi bantaran..
Menatap riuh kebencian, bak dianggap pandemik, benih kematian
Ia Nihilis tanpa kepastian.. hidup sekedar kemauan,  impian, harapan.. kemudian mati kelaparan, mati disingkirkan.

AL, 10/12/2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close
Test Iklan