Minggu, 29 Oktober 2017

'Gembur'

Gerutu beradu merdu
Seratus pandu cacahkan gemintang
Dalam wibawa kucurkan semu
Pelipur pedih enggan datang

Para lembu berpadu meski sendu
Lambung keras beringas kering kerontang
Aksara kejora menantimu
Di ufuk teruntuk yang dirindu

Langu menggebu bangunkan kalbu
Genderang datang kerucut menantang
Jiwa tuntas, rontok dari kelu
Lantang bak melintang, garang terbentang

Tak kecut, binasa sosok pengecut
Carut marut konsekuensi absolut
Zaman tak terpagar, terpampang lebarnya
Jalan suara alirkan derasnya

Gembur sudah tanah
Dipeluk mimpi khayal mahkota nirwana
Dilelang oleh harga kasta
Dihamburkan puas jiwa retorika

Ahh.. pucuk benang masih kusut
Tilam kikuk buram takut
Sampai pada ujung kemelut
Tampak guratnya berkerut

Indera mana tak gulita
Buta mana yang tak nampak adanya
Curam mana kala paceklik melanda
Di tanah yang gembur lantainya.

AL, 25/10/2017

'Balada Garong'

Malam... sunyi hempas wicara
Gembong di lorong bertopeng garong
Langkah tapak perkosa ladang dosa
Kecamuk hati kini melompong

Pelihara tengiknya watak
Pertahankan penghidupan layak
Dua mata merayap pandangi riak
Limbung langkah lamban bergerak

Peluru dari selongsong bedil bodong
Diberondong ketika korban merongrong
Gasak habis hingga kosong
Pilu tangis tak sudi ditolong

Hari ini, lusa nanti, selagi kaki sudi berlari
Balada garong puaskan ambisi

Erang sakitnya.. Hanya mampu dipendam
Hati kecilnya tertimbun, lama diredam

Betinanya di bawah rumah
Gembalakan buah cinta
Hasil rampas kali ini..
Garong tak mau peduli
Saat denting waktu kian larut
Ia beranjak pergi
Tuju WTS, menghibur diri
Tenggak tuak rebahkan pundak sampai kaki

Tergiling terpontang-panting
Wajah terpampang di polres sewaktu meeting
Ya, kini tinggal hadap genting
Garong berlari terkencing digiring menuju puing-puing

Lari berlari hindari mati
Garong terlumat jaring polisi
Timah diarahkan ke langit, garong berkelit
Belukar semak Ia coba sembunyi
Timah meletus lubangi punggung hingga tembus
Jantung direbus, garong mampus
Tergeletak pasrah tubuh kurus

Betinanya mengadu..
Gembalakan pilu
Kini hanya ujung pintu yang dia tahu
Selimut malu, diombang ambing waktu
Dan adakalanya..
Betinanya tak sanggup
Sudahi hirup redup
Racuni diri bersama si gembala..
Yang belum tuntas jalani hidup.

Balada Garong..
Tinggalah bohong.

AL, 27/10/2017

'Aku Dan Sastra :2'

Seyogyanya aku tak bicara..
Kosong dan aku harapkan pencari makna
Disetiap coret apa yang ku cipta

Setiap rasa sekedar ditabur tanda-tanda
Kemudiku hanya tentang Aku
Ya.. aku..
Kendalikan makna, bubuhkan frasa.

AL, 29/10/2017

'Aku Dan Sastra :1'

Tariannya, tentang makna berputar dalam kepala
Secuil kata, seribu bahasa
Cernaku saat netra yang bicara
Saat telinga tuliskan suara
Aku dan sastra, berbicara dalam binar cahaya
Di ruang sempit, tengkuk meringkuk
Tatap candradimuka, padukan indah retorika

Telisik retoris ketika paru-paru kembang kempis
Frasa yang nampak percuma
Tanyaku terjawab pada akhirnya
Aku dan sastra, rasa cinta dalam kata

Melingkarkan ikat supaya melekat
Kalimat setiap diksi yang menjerat
Aku dan sastra seringkali bercerita
Cinta hingga duka
Dunia dan isinya..
Aku dan sastra..
Dengarlah diriku sesungguh apa adanya.

AL, 29/10/2017

'IV: ¡Ya Basta!'

Hitam, bertopeng hitam
Bintang merah berlatar kelam
Di atas bukit terjal mustahil diredam

Singa-singa di ufuk utara
Mengaum dalam hening
Berpesta dalam kening sederhana
Terlihat petani pandangi gandum kemuning

Hingarnya tak terasa
Namun getarnya merobek jiwa
"¡Ya basta!" Ujar mereka
Di semenanjung penuh problema

Relung-relung terisi teriakan Commandante
Mendung-mendung dengarkannya
Meski gedung-gedung tampak buta
Di sebuah bukit hidup punggawa asa
Berjiwa merah, bertanduk utopia..
Geloranya seiring kencang kibar bendera
Ditanah Maya.. genderang Zapatista.

AL, 29/10/2017

'III: Hasta La Vista, Fulgencio'

Pasung Batista, di tanah surga
La Havana saksi kisruh mata, api dan manusia
Kecamuknya menujam netra
Tentang murka binarnya mahkota singgasana
Dan lekatnya darah Moncáda..
Semilir kenang tentang mereka yang mati dalam perang
Martir-martir dalam puing gerilya remang
Tambah derita diberondong timah Granmai
Dari Sierra Maestra menuju hilir kota..
Hunus pribumi dan pencerutu Argentina

Maka tuntas jalan sudahi cerita
Bidak-bidak menaiki kepala raja
Jendela dilubangi timah
Tonggak-tonggak tirani perlahan patah
Di bakar angkara murka jelata lemah

Revolusimu.. gerilyamu..
Nadi bergelut dengan tajam ujung waktu
Dan panasnya ujung peluru
Berpadu beradu ribuan pandu

Larilah! Larilah menuju terusan itu..
Gentar jiwa tak sanggup mendulang senja
Fulgencio menggerutu
Kasta tak lagi punya makna
Revolusi benderang adanya
Di tanah bernamakan surga
Santiago de Cuba.. Sierra Maestra.. Havana..
Hasta La Vista.. Batista.

AL, 29/10/2017

'II: Bolshevik 19'

Ujung tombak menari tuduh hirarki
Mulakan heroik para penari revolusi
Terpejam mahkota dilucuti
Bidak-bidak jenuhkan suci yang mengaku abadi

Gerobak datang! Gerobak menantang!
Pria berjubah lantang di tanah lapang
Ulas kenang sekarang Ia menang
Zaman hilang ditelan remang

Rindang-rindang bayonet perang
Di telapak petani garang berwajah girang
Cerca tiang-tiang istana terbentang
Birokrat tak becus kini tinggal ladang gersang

Peluh! Darahnya di lantai..
Ramai membantai!
Dua sisi genggam benteng
Mentari tak sanggup melerai

Namun bendera kini terkibar, nampak lebar
Di pucuk istana bisu tak berujar
Bubar! Bubar! Lembayung temani barbar
Kibarlah kibar, di tanah orang-orang lapar
Kejarlah kejar, setan yang hanya mampu mengakar

Vlad.. Vlad.. Vlad..
Di Oktober milik Vlad
Orasi memanjang bak deras Lena
Bangunkan jiwa-jiwa membabi buta

Sembilan belas..
Tujuh belas..
Vlad tanpa belas kasih
Dalang mereka yang tersisih
Diatas tanah yang tak lagi bersih
Alasnya darah dan peluh letih.

AL, 29/10/2017

'I: 18 Brumaire'

Jejak tapak kaki di tanah semakin menjadi
Hirau curamnya tandakan celaka
Bagai naluri tak bertuan insan
Pelana kuda sekedar alas telapak tangan

Bekas tapal kudanya dalam membekas
Retak kering diterjang panas
Perduli apa Ia pada langit nan luas
Lantas kembali dia rampas wajah tertindas

Citanya memang ungkap empedu
Berkarat kerak memang sejak dahulu
Moyangnya haru dijajah pilu
Asanya congkel semua ragu

Untuk kembali dan tuntut durjana
Durjana yang julurkan lidah hisap semua

Drakula-drakula di gorong-gorong kota
Perisai kayu di leher sang kuda
Berzirah gerilya entaskan semua
Sesampainya puncak segala euforia

Tapal ini menjadi saksi
Walau akhirnya tertiup badai
Namun nafasnya berpadu bersama angin
Membisikan jiwa-jiwa dalam pendar lilin

Rasalah.. sejuknya pemberontakan
Nikmatilah hangat mentari di ujung mata kaki
Nikmati sampai di ujung ubun terpayung awan
Dengan tangisan melawan..
Menantang tabir elegi..
Meski guntur tampak enggan 'tuk pergi

Di bawah tapal ini dia bersaksi
Di bawah tapal ini dia semakin menjadi
Di bawah tapal ini lahir pengubah jati diri
Di pelana kuda dia terus berlari tak sudi berhenti.

AL, 29/10/2017

Kamis, 26 Oktober 2017

'18:02 WIB'

Membabi buta benamkan diri
Dalam logika yang sudah kadung mati
Di redup senja, ku sempat bertanya
Di mana Nyonya kini berada

Dipasrahkan keluh, dihipnotis rindu
Mendung malam bercampur dingin beku
Dedahan ranting, gesek berdenting
Di tanah kupandangi, ya... memang tak penting

Namun ceritaku, sebuah dilema
Di ujung dunia, di angkasa raya
Dalam hidup nyata, atau dalam bayang cinta
Tak bisa dilukiskan atau diujarkan
Tak sanggup diumbar atau dipaksa keluar
Biarkan pikirku berkelana..
Mencari apa yang ada...
Berkawan gelora, dalam pendar lampu kamar

Mungkin rumit ku ungkap kata..
Dan kini sebuah cerita cinta..

Juntai-juntai rintik gerimis
Turun manis bak kapas teriris
Sejenak hibur diri, meski dalam tragis
Nyonya, engkau dimana?
Ku cari di semak belukar, di beton terselimut akar
Nyonya, kembalilah tunjuk rupa
Biar kupandangi satu-satu mata
Agar ku tak menyesal akhirnya

Nyonya?
Ingatkah dikau meja kayu itu?
Tempat dimana ku hadap selalu dirimu
Ku mainkan jari yang tak panjang berkuku
Kulihat senyum pipi di wajahmu
Namun kini kau kelabu..
Kau penuh ragu..
Kembalilah Nyonya..
Surati diriku..

AL, 26/10/2017

'90 Menit'

Bola diterjang, menyerang lawan
Gocek menggiring depan gawang
Sebelas orang, ganti menendang
Umpan kanan kiri cari kawan

Ada penyerang sibuk berlari
Di ujung, dia kosong berdiri
Sadar bek lawan, hantam tak peduli
Terjang kuat patahkan kaki

Di kotak penalti, wasit meniup peluit
Penyerang menggelepar merintih sakit
Angkat diangkat sebelah tangan
Kartu merah jadi balasan

Datang dari belakang
Bogem mentah melayang
Kalut pemain termakan berang
Lapangan rumput bak arena perang

Tribun bergetar digilas penonton sangar
Turun lapangan saling hajar
Darah segar basah keluar
Ada yang terkapar namun tak gentar

90 menit bermain
Setengah main, saling merongrong
Akhir tanding, adu bagong

90 menit disini
Tak ada yang mengerti
Sebab bola itu bundar
Pemainnya kasar
Penontonnya tak sadar.

AL, 24/10/2017

Sabtu, 21 Oktober 2017

'Gelandangan'

Atap langit lantai tanah
Didepan ruko mencari alas lelap
Tak berselimut menggigil resah
Berkawan tikus di senyapnya gelap

Rambut gimbal tubuh dekil
Hidup diatas dunia yang nampak tak adil
Tersisihkan tanpa teman
Tatap jijik pengguna jalan

Tetes air matamu malam itu
Seakan berdialog dengan waktu
Teriakanmu memekakan telinga bak benalu
Menuntut takdir diantara belenggu

Tuhan tolong dengarlah
Ratapnya berjuta masalah
Terdiam sepi di bawah lampu merah
Termenung kosong berpayung gelisah

Mereka yang terkapar
Di sisa gentar yang terbongkar
Fajar ini ada lagi yang mati
Cerita lama terulang kembali

Penguasa dengarlah kini
Saat nuranimu sedang diuji
Hatimu sedang dicaci
Pikiranmu sedang dimaki
Setiap gerakmu selalu dinanti

Teduhkan mereka
Seakan kau adalah orang tuanya
Rangkul bahu mereka
Seakan kau menjawab setiap tanya.

AL, 21/10/2017

'Dan Mereka Yang Sanggup Berdiri'

Peluhnya menetes
Telapaknya penuh luka
Dengan sederhana
Jalani pedihnya masa
Walau tahu jiwa
Tak jadi alasan terjatuh dengan mudahnya

Di atap rotan
Berlantai tanah
Dinding kapur
Dapur penuh lumpur

Meski tubuh t'lah renta
Meski usia tak lagi sanggup bicara
Dan mereka yang sanggup berdiri
Dan mereka yang sudi tertawa
Di gubug penuh duka.

AL, 21/10/2017

'Syair Rakyat'

Mata-mata memandang penuh harap
Dari desa sampai padat kota yang pengap
Telinga-telinga mendengar seksama
Tujuan jiwa yang terus berkelana
Dari buruh sampai pemegang laba
Saksikan nyata realita dunia

Pucatnya dikalang air mata
Duka diganti tawa
Atau mungkin sebaliknya
Semakin terasa keras kerak bencana

Kusamnya asa hingga cerahnya masa
Roda-roda kehidupan enggan bersuara
Nikmati cerita dibawa dalang tanpa nama
Deru mesin dan asap jadi teman sebaya
Cerutu dan sofa di dalam istana
Jadi cerita pembawa berita
Di dalam televisi berwarna

Jikalau Dia hadir
Membawa baik masa penuh nadir
Menjadikan adilnya dongeng
Memotong jeruji kerangkeng

Jika Dia bertindak
Singkirkan banyak kerak
Dan sudi bergerak
Berbedalah masa kelak.

AL, 20/10/2017

'D.N.A'

Ujung belati pembawa mati
Diantara malam yang tiba-tiba sunyi
Bintang-bintang selalu menerangi
Cahayanya bagai tak perduli

Ujarnya sama
Teduh tak lagi ramai bicara
Kini semakin percuma
Sumpahnya tinggal nama

Riak awan jingga terhimpit langit
Lolongan serigala berpadu jerit
Tajam menembus kulit
Tegak terlampau sulit

Banyaknya kicau-kicau burung
Temani ikat kayu pasung
Terpampang jelas beku relung
Halilintar tajam hantam mendung

Hujan, hujan, hujan
Basahi tegaskan kesepian
Sebab luntur banyak kepercayaan
Kalungkan kebencian

Hingar bingar iringi serak kerongkongan
Didalam hati penuh pengingkaran
Buah dusta kini mulai terasa berperan
Gelapkan malam jagal kehidupan

Rembulan tak lagi miliki kesempatan
Esok-esok sekedar gurauan
Tangisan nyawa bak ladang kepuasan
Tertanam tajam menghujam insan

AL, 19/10/2017

'Jangan Datangkan Mendung Hari Ini'

Dengarkah jemuku tentang keraguan
Makian dekap erat kucoba bertahan
Ribuan kesedihan ungkapan penyesalan
Kumohon...
Jangan datangkan mendung hari ini
Jangan hitamkan langit dengan elegi

Bukankah lihat pun engkau pahami
Harus kurangkap bagian buku ini
Dengan bekas tangis dan alibi
Menambah tebal halaman yang kujalani

Kumohon usaikan malam
Hilangkan pedihnya ruam
Keluh kesah yang menikam
Bawa mereka tenggelam

Jangan datangkan mendung hari ini
Air mata tak sanggup lagi basahi
Jangan kau gelapkan khatulistiwa
Kuharap bijaksana.

AL, 20/10/2017

'Seringai Pak Tua'

Hey, Bapak Tua berwajah garang
Tapak tangan tanggung tulang belulang
Kokang-kokang asik menyerang
Tutup mayat yang diperkosa pedang

Bapak Tua girang dan senang
Meski tanahmu bersitegang
Senyum seringai tak berkurang
Rakyat tahan bimbang meski meradang

Peluru-peluru tajam melaju
Tumpahkan darah yang tak tahu menahu
Peluru-peluru liar menyasar
Mereka yang gentar tak sanggup berujar

Tatap matamu
Buat kami kelu
Tegap badanmu
Meski penuh benalu

Hey, Bapak Tua, gerangan tak bicara
Garismu kini masih tegas bersuara
Garis yang tak lihat darah-darah amarah
Yang dulu diperah oleh lihainya kerah

Kini meski telah tiada
Hilang raga namun sakit masih terasa
Tak mudah hilang adanya
Telaah nyawa jutaan manusia

Bapak Tua semoga tenang disana
Bersama mereka yang masih bertanya.

AL, 20/10/2017

'Rancu'

Propaganda..
Di jalan-jalan..
Di dunia..
Yang nyata maupun berlantai maya
Banyak janji dijajakan
Banyak angin surga ditawarkan

Jual percaya
Asal seirama
Dituntut adil
Utopia labil

Rakyat beradu
Semangat berdebat
Penguasa bersulang
Pengadu senang

Meski jelas terlihat luka menggeliat
Meski terpampang wujud khianat
Bukankah kita sudah bisa menerka
Siapa yang ingin tampil sebagai sang juara

Terimakasih..
Atas segala omong kosong
Terimakasih..
Tanah yang entah sampai kapan berbohong
Tidurlah malam nanti
Berharaplah rencana Tuhan
Tak sama seperti hari ini.

AL, 21/10/2017

'Himne'

Negeri kaya raya ribuan daya
Di pusar bumi khatulistiwa
Paruh tajam sang garuda
Dalam naungan bermacam sila
Pandang segan mata dunia
Lihatmu gagah tegakan nama

Tanah subur, lautnya makmur
Ribuan budaya padu melebur
Permata mewah megah terkubur
Tanah mahal dengan pasrah terbujur

Kerbau gemuk gemburkan sawah
Jaring-jaring ikan tangguhkan nafkah
Gedung pencakar langit
Sungutnya tegak menjerit
Di tanah beribu asa
Di tanah berjuta problematika

Untukmu yang sandingkan harapan
Untukmu peneduh kehidupan
Didalam batu-batu nisan
Untukmu diantara tangis kematian
Dianntara penindasan..
Karatnya keadilan..
Telapak kaki mereka di jalanan..
Diantara tangis penuh tuntutan..
Mari dengarkan
Dan upayakan
Agar tak sia-sia
Himne mereka..

Sudahi benci
Cuci hirarki
Karena kita tak mau mati
Berteman sedih elegi

Berkibarlah bendera..
Diatas tiang di tanah yang terus bersuara
Cengkeramlah Garuda
Tinggi mengangkasa
Menuju peraduan
Busungkan dada kita tunjukan.

AL, 21/10/2017

'Siapa Ungkit, Dia Bangkit'

Sekutu massal penunggang sial
Tak lagi hati mampu katakan moral
Dompet pailit, teriak menjerit
Siapa ungkit, dia bangkit
Gimbal kusut telapak sakit
Tunjuk tegas para elit
Yang masih keras melilit

Manipulasi cerita
Tentang suksesnya sila-sila
Katakan baik-baik saja
Puluhan juta masih sengsara
Huru-hara di jalan raya
Lempar batu di tengah kota
Spanduk terpampang nyata
Jelas menampar penguasa

Kawat berduri dimana-mana
Disfungsi kursi tiada guna
Keruk sumber daya
Buncit kantong celana
Bisu tuli tak tanggapi
Alasan kami mencaci
Tuntut janji
Akal sehat tak lagi punya arti

Turun telapak diatas jalan
Satu genggam dalam tujuan
Suarakan harapan bersampul makian
Tentang keji pengkhianatan
Mereka yang bersuara
Bertaring drakula

Siapa ungkit, Dia bangkit
Dompet pailit, teriak menjerit
Siapa bangkit, Dia dikentit
Wakil berkelit
Rakyat jatuh sakit.

AL,1/10/2017

Senin, 09 Oktober 2017

'Rintih'

Tebing menjulang
Tangga curam
Curamnya ku hantam
Mungkin seribu langkah
Mulailah ku terengah

Adakalanya ku mulai lelah
Meski baru setengah jalan
Adakalanya ku ingin mengakhiri
Namun ku tak ingin mati
Dengan acuhkan kesempatan

Haruslah ku berlari
Tak akan berhenti
Meski hampir terjatuh
Terjatuh berulang kali
Kerana utopia mimpi
Perlahan menyelimuti

Meski rintih kian keras
Tak datang dengan belas kasih
Sebab duniapun tak perduli
Keadilan tak lagi berarti
Bagaimanapun harus tetap berdiri
Dunia tak akan sudi
Mau tak mau harus hadapi
Bagaimana akhirku di sini.

AL, 6/10/2017

'Saung Alam'

Seruling bambu
Berpadu merdu
Pinus tinggi menjulang
Seakan menjadi pasak tiang
Tutupi terik diantara rindang
Saung alam selalu terkenang

Wibawa semesta
Tunjukan bijaksana
Bagai guru manusia
Agar tingkah penuh makna
Bagaimanapun kau melihatnya
Indahnya guyurkan raya

Maka mereka titipkannya
Agar tak engkau beri luka
Saung alam tak tuntut engkau
Hanya atap langit yang memantau
Tolong jaga mereka
Agar kelak tak jadi bencana

Saung alam di dunia
Entah sampai kapan
Tergerus atap beton manusia
Buas tanpa belas kasihan

Lindungi saja
Jangan lubangi asrinya
Sebab tak bisa dibanderol harga
Jaga mereka agar berdiri
Sebelum sunyinya jadi petaka
Sebelum saung alam mulai kejam bicara.

AL, 7/10/2017

'Janjimu Dari Ujung Dermaga'

Masih membekas ucapmu
Bergetar rasa hari itu
Kau kalungkan percaya di jiwa
Berisikan suci alunkan cinta
Tulus aku rasa
Saat ikhlas biarkanmu jauh dari mata

Tak lagi ragu
Cukupkan curiga
Kucoba pandangi mega-mega
Dan kurasakan hangatmu disana

Kuharap kau ingat
Janjimu yang masih kurasa erat
Meski terkadang berat
Kuyakin cintamu tak akan mudah tamat

Kau yang jauh
Yang mustahil ku sentuh
Janji ini penuh
Masih ku pegang dengan teguh
Hingga percaya ini tak akan luruh
Tak akan pernah lusuh

Kau yang disana
Semoga senyum dikau diatas dunia
Sebab cinta..
Masih ku anggap berharga
Setudaknya untuk saat ini
Atau mungkin disetiap masa.

AL, 7/10/2017

'Nila'

Membeku padu
Jiwa-jiwa mengaku tak mampu
Taman belenggu hari itu
Rasakan biru
Tutur kata cerminkan segalanya
Tentang cahaya nampak berbeda
Dibalik tilam hina
Singkirkan manja

Menerka luka selanjutnya
Terlelap tanpa nama
Riwayat manusia
Gemuruh kilat terlihat
Jadilah sebuah jerat
Tunggu rohani sekarat

Tangga rapuh
Sekoci nampak bersauh
Diatas dermaga penuh
Kuras peluh

Gulungan ombak yang berderu
Nyatakan pilu yang beradu
Surya mulai lenyap
Kembalikan senyap
Melodi lelap
Antar menuju peraduan nan gelap.

AL, 8/10/2017

'Kupu-Kupu Kertas Dibawah Rembulan'

Hingarnya petang
Di persimpangan jalan
Saat manusia telah usai berperan
Ratusan belia
Tatapan harap dibawah jembatan
Tadahkan tangan
Mainkan melodi kesedihan

Gulana mana yang tak nampak
Terlihat dari angkuh dan congkak
Gedung-gedung tinggi penuh gelak

Si kecil mengantuk
Kerja semalam suntuk
Kembali ke peraduan
Ditinggal induk hidup sendirian
Dalam gelapnya riuh perkotaan

Kupu-kupu kertas
Di bawah rembulan
Coba jelaskan banyak kebosanan
Jalani takdir yang diberi Tuhan

Kupu-kupu kertas
Di jendela kamar
Dalam tubuh yang bergetar
Namun tak ada raut nampak gentar

Kupu-kupu kertas
Di bawah rembulan
Hadapi kehidupan
Mencari sesuap makan.

AL, 8/10/2017

'A Minor'

Ujarkan cerita
Angkat petinya
Kokangkan senjata
Lubang topi-topi baja
Hilangkan nyawa
Gertakan sia-sia

Korbankan rusuk
Belati menusuk
Mucratnya darah
Puncak segala amarah
Sebab si betina
Luluh hatinya
Kerana bibit-bibitnya
Masih tak rela

Mawar dan melati
Di tanah pagi ini
Siratkan duka
Mereka yang sulit percaya
Hilangnya cinta
Ditinggal ksatria

Jari-jari mungil
Tubuh nan kecil
Sudah harus sedia
Ditinggal sebuah nama.

AL, 8/10/2017

Sabtu, 07 Oktober 2017

'Azas'

Ibu pertiwi terjatuh
Terbangun kembali terjatuh
Tersandung peluru
Peluru berdarah yang sudah membatu

Ibu Pertiwi bangkit
Dengan telapak kaki masih terasa sakit
Tak sanggup Ia berkelit
Diantara serigala yang siap menggigit

Hampir terkoyak panjimu
Yang memang sudah berdebu
Anakmu kini membisu
Dengan euforia palsu
Biarkanmu kembali beradu
Dengan kejamnya sang waktu

Maka berdiri engkau dengan gigih
Meski menusuk semakin pedih
Ibu pertiwi suratan takdir
Yang enggan gadai diri dalam nadir.

AL, 7/10/2017

Kamis, 05 Oktober 2017

'Sumpah'

Nyanyian tak mampu
Dari cabang-cabang belenggu
Bersuara masa lalu
Hinakan realita
Pedihkan kalbu

Tirani mulai tak perduli
Siksa yang dicipta sendiri
Kehidupan tak lagi sama
Sebab masa yang serupa
Menyiksa..
Sumpahku padamu
Menjaganya meski teramat malu

Kain lusuh ini
Dihadapkan pada takdir
Tentang kejamnya nadir
Penuh nanah penuh lendir
Lendir nafsu lintah darat
Yang bisa bernyanyi lantang
Juga terbang seperti lalat

Lirik yang ku hafal
Tentang sebuah wacana gagal
Hutang kekal
Dan manusia kebal
Berperan berandal
Suap-suap saling kenal

Sumpahku padamu..
Menghujam nalarku
Tentang percaya yang penuh ragu
Kepadamu penuh kelabu
Jangan salahkan aku
Hari ini kau pandangi cermin
Wajah penuh luka membiru.

AL, 4/10/2017

'Hafalan'

Senandung menggema..
Tentang dahsyatnya pribadi negara
Tentang pujian cantik dan eloknya
Keras bersuara sewaktu hormat bersama
Hafalkan lirik-lirik utopia

Hingga kita lupa
Luka tepat diwajah
Benamkan cantik dan eloknya
Dosa-dosa para pemuja
Yang biarkan bendera berkibar
Dengan kotor dan kusamnya

Utopia kini sekedar tulisan tak bermakna
Sekedar tubuh tak bernyawa
Dirobek dari kertas lusuh tak berwarna
Diinjak keserakahan dewa-dewa

Kini jadi sekedar hafalan
Tak menjadi pedoman
Sekedar hidup dalam nyanyian
Janjimu utopia
Tulisan utopia
Tak lagi nyata
Sekedar fana.

AL, 5/10/2017

'Senja Kini'

Semerbak senja mulai tercium
Memandikan padi yang semakin ranum
Belum habis kopi yang harum
Belum lekas tembakau menghujum

Angin dingin sejuk
Menembus tulang rusuk
Terlihat mentari dengan awan lekuk
Hipnotis tutur alam kian merasuk

Dengan gitar bersenandung
Di gubug tua jadi tudung
Bagai lepas dari jeruji kurung
Bersama tikus kotor yang mengandung

Sungai-sungai mengalir
Ku ambil kertas
Ku tulis syair
Tentang frasa satir
Meski hidup masih teramat getir
Diiringi dosa yang masih bergulir
Ku bersumpah tetap berdiri
Sekalipun hidup berupa martir

Kerbau mulai pergi
Bersama langkah petani
Tak beralas kaki
Meski di jalan yang terlewati
Pecahan khamr bagai menyelimuti

Di senja kini..
Ku masih menunggu arti
Tentang balada hari ini
Tentang pelajaran yang kunikmati
Meski akhirnya senja kini..
Banyak lagi lahir elegi
Dan banyak jua yang mati.

AL, 5/10/2010

close
Test Iklan