Sabtu, 14 April 2018

'Orang-Orang Ringkih'

Orang ringkih, berjalan semata kerana keroncongan mencaci maki
Mencari hidup dibawah telapak-telapak kaki
Menjilati takdir, sepahnya ditelan tiada henti

Orang ringkih, tiada elegi yang tak datang menghampiri..
Disela daun-daun berguguran pertanda kemarau..
Tak ia pedulikan, sebab hidupnya terlampau hanya kemarau

Orang ringkih, sangitnya daki dari sisi bajunya yang tak kunjung dicuci
Ia pinta sekedar hidup dan beratap layaknya manusia
Yang Ia dapat hanyalah pandang tajam sebelah mata..

Saat engkau tiba, hai Orang ringkih.. seret lutut hingga bekasnya memerah di atas aspal..
Saat engkau tiba, hai Orang ringkih.. iba terasa pandangimu, iba yang tak kunjung hilang, iba kesal pada takdir, meski gelak tak kunjung usai dari kerongkongan si marjinal

Orang-orang ringkih, tak mengutuk hidup.. sesalnya telah tertutup..
Orang-orang ringkih bertanya.. "Yang kupunya sekedar hidup, jangan sembunyi engkau susup, sebab syukur kami terus menerus meletup."

AL, 14/4/2018

Jumat, 19 Januari 2018

'Kampungku, Di Reruntuhan Dinding'

Lembah sunyi, reruntuhan puing dibawah daging
Kampung di tonggak pondasi bekas dinding
Yang diatap tenda.. dialas terpal
Merambat dingin, ditembus panas..
Ditenteng airnya.. ditenggak keluarga
Disana ada kepala, yang harapkan langkah dari perihnya telapak berlumur nanah..
Jerit si kecil, di bekas sarangnya..
Yang sebelumnya dicekok cinta.. janji.. didustakan sesama..
Kini tinggal puing-puing bekas runtuhnya dalih penguasa..
Sementara mulut si pengumbar asa kian lantang sambut bursa kuasa
Fahri kecil merengek diayun-ayun Ibunda..
Supaya lelap tidurnya..
Supaya lapar tak terasa nyerinya..
Memang nyeri adanya, nyeri balita lemah di tanah bekas rahim peristiwa

Muslihat disusun rapi saat itu..
Rata sudah tanah tanpa nama, katanya..
Kata mereka yang hingga kini tutup mata..
Memang, kata-kata penguasa harus ditaati bersama..
Sebab yang berkuasa..
Kini duduk di atas sofa..
Namun yang kini tanggung porak-poranda
Bidaknya.. Kacungnya.. Seribu mimpi dilindas siksa

Kampungku, menjelma pucuk ranting
Tak lagi bermukim damai, mimpi penghuninya perlahan kering
Kampungku, di runtuhan dinding
Bekas dusta para maling
Diikat dalam pelik, ratusan sengsara ditunjuk nyata
Tanahku tiada..
Tanahku kini rata..

AL, 11/1/2018

'Pantun Satu Kepala'

Jelaga tirta luapkan bencana
Tanah kering jadi samudera
Manusia hilang nalarnya
Berjuta wicara perang saudara

Ilalang kemuning tunggu mati
Mega menguning tanda senja
Siapa raga ujarkan dengki
Ia setan berwujud manusia

Dedahan ranting ujungnya kering
Lembayung langit jangan dipandang
Saling memaki teramat sering
Mudharat bejat ramai rindang

Kucing hitam di pinggir selokan
Tikus selokan lari terbirit
Ramai gontok sebab junjungan
Setan-setan tertawa menjerit

Mahkota jatuh diambil siapa?
Mahkota jatuh diambil penemu
Bursa kuasa dibagi kolega
Rakyat sekedar benalu

Orang mati lantas dikubur
Jadi kerangka tak ada guna
Jikalau penguasa mulai takabur
Mulutnya busuk tak pantas dicerna

Beras pulen, nasinya sedap
Tak sedap jikalau basi
Sudah tahu periuk tak berasap
Tetap saja dikibuli janji

Benih-benih ditanam petani
Runduk menguning dimakan tikus
Calon wakil dijunjung tinggi
Sudah jadi, rakyat tak diurus

Kecebong bercecer di lubang comberan
Comberan kering kecebong kelojotan
Mulut manis bicara bak kesetanan
Mulut ditagih cari-cari alasan

Buah kedondong dimakan sedap
Hati-hati sebab bijinya berduri
Periuk rakyat tak lagi berasap
Tikus kantor tak henti mencuri

Deru kereta terdengar telinga
Di stasiun berdesak penumpang
Sadarlah sadar wahai manusia
Dosa kuasa nyata terpampang.

AL, 14/1/2018

'Bahadur'

Mimbar mendabik dada
Sontak bendera digenggam
Dikibarkan menyalami jelata
Urusan calon menyalon, panggungnya dagelan
Dari tempo hari, bercampur tradisi
Bukan lagi tabu, bukan lagi keanehan
Sekedar budaya, ini soal kantong Tuan

Disini yang menanam janji
Disana cipta yang anarki
Anomali musim ini..
Musim animo menjadi-jadi
Padmasana..
Mendayu, merayu..
Sesumbar, asal pintar berkelakar
Jabatan dipajang..
Di depan liur serigala, melolong tak ada hentinya..
Serigala pajuh..
Taringnya setajam tanduk lembu..
Namun rapuh..
Mudah luluh..
Di hadapan kotak makan
Saling terjang tak kenal kasihan

Yang sesumbar, yang terbakar
Orang lapar, yang dihajar..
Saling sogok asal tak nampak
Kalaulah nampak, jadi raja elak

Mimpi pengantar kini didusta kasar
Dihasut orang pintar, atau orang paling benar
Kini mahsyur...
Tukang gali kubur hidupnya makmur..
Layani yang bertempur
Tipuan hasutan..
Yang termakan bujukan setan..
Dijanjikan tanah mujur..
Dikira nasi ternyata lumpur

Sebab musabab apa gerangan?
Sebab sedang ramai main tipuan
Sebab bermuka dua jadi andalan..
Kuasa hura-hura cari omplengan
Sudah jadi, bergiliran bayar setoran..
Rakyatnya polos tak bergeming
Rakyat jadi korban..

Sebab jatah kini diatur
Disebar rata selang air mancur
Ada rakyat mati junjung bahadur
Bela jagoannya sampai gugur.

AL, 14/1/2018

'Asmara Satu Rupa'

Semayamnya surya, bukan pertanda
Redupnya, perlahan pelik dirasa
Terkadang menyadur makna, dari dua bola mata
Entah, lidah mulai kelu ujar wicara..

Dari alirnya semburat purnama
Basahi insan, derma harapan
Hati berlumut, berpagut semu
Dirintihan suara, soprano..
Menawar Ia, laksana taruhkan wibawa..
Kisah insan, tanpa nama..
Cinta..
Terbisik dari gempita sasana asmara
Ya.. mungkin pula dari decit kayu bingkai foto
Ini cinta dari remah lamunan lama
Bukan balada John dan Yoko
Bukan Habibie dan Ainun..
Ya.. Tetapi daku majenun!
Akalku.. berhenti menenun
Ahhh!! Segelintir warasku berpaling muka
Kerana Ia, gulitaku sengsara..
Ahhh!! Kenapa?
Dari mata itu, aku dilempar angin
Mengayuh dalam dingin
Sementara, asap hitam beranjak memilin

Hendaknya rasa ini kadung dalam..
Beranjangsana, sanubari ikuti mata.. dan rasa
Bida-bida tercecer, dari warna yang ragam adanya
Namun aku bukan cendala..
Bukan menitih palsu saja..
Aku cinta..
Termakan candunya..
Candu dari engkau, yang entah kini semakin semu: dan bayangannya pula..
Adakalanya menari-nari dalam pikirku..
Kuadukan pada waktu..
Pada belantara..
Pada candra, yang perlahan butakan netra
Ya sudahlah, ini juga tak apa..
Tak apa buta..
Biar sesalku tak jadi selamanya..
Biar rupamu tak lagi tengok raga..
Entah, aku hanya cinta

Lagipula semua hanya cerita
Tak lagi sama..
Ya sudahlah!!
Tuntaskan saja!
Kerana mungkin takkan ada yang sebenarnya!
Aku cinta..
Aku pula yang dihina
Yang terpasung satu rupa!
Aku cinta..
Aku cinta..
Mungkin satu rupa, di jiwa..
Mungkin raga; mata, lidah, dan suaranya
Yang seonggok dagingpun sesalkan datangnya..
Kini aku tunduk habis jumawa
Hilang digdaya..
Dalam cerita..
Berangsur ikuti temaram senja.

AL, 7/1/2018

'Kala Cakrawala Gaungkan Asa'

Selamat pagi, siang, malam
Yang menari, mabuk.. yang tenggelam dalam pandang buram
Yang menanam, yang kelam, yang hidup di pinggiran malam
Ini kisah, kisah hasil jamah..
dijamah kecamuk pikir manusia-manusia resah

Ini tentang penyakit yang mewabah
Beranak pinak diantara orang lemah
Ideologi..
Niscaya percaya sekedar caci maki
Makan pagi hari ini
Dikenyangkan onani..

Aku banyak melihat di layar kaca
Yang hasil kredit..
Sakit teramat sakit, orang sakit ramai menjerit
"Nyawa ditodong harga" bait-bait para bandit
Meski derita tampak mata, tunggu mati sebab berbelit
Bangsal mahal kosong adanya, ditunggu orang-orang berduit
Juga dipesan untuk pendusta..
Yang kemarin saya lihat bersandiwara..
Kacung rakyat yang mengaku elit

Aku bosan melihatnya, merasuk jiwa hingga tak mampu bicara
Sore itu.. dimana-mana seribu problema..
Lansia kehilangan atapnya.. di siang bolong disita grandong
Banyak pengerat di comberan, siul berdecit cari makanan
Papan tulis kosong di bawah kolong, papan tulis mahal milik juragan
Saling sogok adu taruhan, yang lahir calon bajingan
Nampak pula yang mencoba berdiri, diatas semak belukar
Sementara pengkhianat perlahan datang, semak dibakar..

Seribu tanya menghardik logika
Kita adalah sang tuan berwujud budak..
Disana mahkota gila kuasa.. asal nominal tajam menggoda
Yang memilih sekedar kunyah ampas, genting bocor, tembok retak
Sang pemberi takhta kini dihina, dilempar dedak
Lalu yang sudah bernama, disuguh candu, ditenggak sampai tersedak

Dengarlah sayup-sayup manusia buta bicara..
Inilah yang dinamakan bermoral..
Berasas dan beriman
Sedang yang nampak indera..
Saling hancurkan wibawa, saling memperkosa..
Moncong siapa tunjuk kuasa..
Jatah bergeliat tajuknya sekedar raup nama..
Raup pujian..
Raup citra semata..

Sementara itu, disebar terus kebodohan
Saling tunjuk senjata, meski satu kepercayaan
Sungguh inilah yang menggerayang..
Inilah yang dinamakan bhinneka satu tujuan
Yang dicerca tawa gembel, di bawah lampu merah pinggir jalan..

Tawaku adalah kebingungan, tawa penghinaan atau kesedihan
Tanahku dihamburkan, dijajah saudara sekandung badan
Digali tak sopan, ditanam pasak diurug reruntuhan
Kemuning padi kini bukan kemuning pribumi
Kini agraria tak punya birahi unjuk gigi
Caping enyah perlahan, sabit berkarat, lama tak diayunkan..
Yang bertanam pula..
Bertanam makanan..
Lalu ditabur racun
Dipanen, lalu lahap dimakan..

Inilah..
Ya, ini.. ada rakyat miskin, ada rakyat kaya
Yang sama-sama nafsunya..

Aku tak bertanya sebab musabab, tak pula nampak heran
Sebab dosa turunan, menggunung terus digaungkan
Dibanggakan..
Dieluh-eluhkan..
Diharapkan datang..
Calon bajingan..
Saling bergembira adu kekuatan
Lalu disingkirkan.. dalam dendam kadung ditelan

Negeriku menyerbak mudharat..
Manusia kualat pikiran bejat
Negeriku menyerbak mimpi..
Manusia dari rahim asa..
Dari pikirnya yang berkhayal soal digadya
Meski akhirnya layu
Kalah dengan pengadu
Kalah dengan takhta pengantar elegi
Kalah dengan separatis yang mengaku banyak berarti

Kini aku lihat di surau, di gereja, di kuil, suara para jemaat
Dengar senandung pujian nan khidmat
Do'a-do'a terus terpanjat
Dari tadah korban para lalat
Berjuta tangis, berjuta pinta..
Agar harapan tak diselimuti khianat
Agar mimpi bisa berarti..
Tak berakhir nihil di peti mati..
Tak lagi diberi janji yang palsunya abadi.

AL, 16/1/2018

'Balada Jalang'

Kala dunia kacau balau
Di ayunan insan itu mengigau
Berpadu dengan burung kicau..
Kudengar suara, suara-suara wanita parau

Kutanya dia dalam ragu
Kutanya dalihnya yang ku rasa menggebu
Aku mencoba tanya sebab akibat
Aku tanya apa yang kuat menggeliat
Dia menjawab:
Inilah aku.. inilah aku..
Yang lahir sebatang kara
Yang muncul begitu saja..
Ya, aku kira yang tak diinginkan dunia
Inilah aku.. inilah aku..
Yang lahir tanpa induk..
Yang rahimnya di selokan samping gubug
Akulah yang lahir dari panasnya aspal jalanan
Akulah yang lahir dari deru knalpot angkutan
Akulah yang besar dari mulut-mulut hina
Akulah yang dikecup oleh pedihnya cerca
Ya, aku.. yang sakit.. yang dicumbu ratusan berandal..
Ya, aku.. bernyanyi dalam senandung trotoar

Inilah aku.. yang berjalan dengan bau busuk
Bau-bau luka yang mengering hasil hantam majikan
Akulah.. yang murni..
Yang dibekali oleh sakit alami..
Aku yang ditanam getir
Aku yang tak sanggup lagi berpikir
Aku yang sudah ditelan nadirnya takdir

Makan malamku.. sisa semalam
Makan siangku.. sisa orang-orang
Sedangkan dibelakang, yang menunggu diriku.. diriku yang dipajang
Akulah wanita tanpa nama..
Yang hadir, yang tiba-tiba ada..
Jikalau aku pinta..
Lebih baik aku tak pernah miliki jiwa
Miliki raga.. yang hanya sekedar pemuas birahi semata

Inilah aku.. aku yang satu..
Yang diperkosa waktu..
Yang menunggu..
Menunggu ajal dalam gerogotan candu
Inilah aku.. aku yang mengadu
Yang aku rasa cela di sekelilingku
Yang aku rasa, Tuhan pula membenciku
Inilah aku.. ratapan dalam palsu
Biar saja begini..
Biar saja orang-orang sibuk benahi diri
Sedang aku mati
Supaya tak kotori mimpi-mimpi

Inilah aku.. wanita yang orang bilang jalang
Yang katanya hidup dalam malam penuh erang..
Yang katanya diludahi oleh serigala hidung belang
Aku bukannya tak berang
Aku tak sanggup lagi menyerang
Aku dihimpit oleh gersang..
Gersang hidup..
Mimpiku perlahan menutup

Inilah aku.. yang berlari..
Inilah aku.. yang sampai disini
Dengan luka di telapak kaki
Dengan sakaratul maut yang setia menanti
Inilah aku.. disini aku meratapi
Dan berbicara.. apalagi yang aku nanti?

AL, 19/1/2018

Ladangnya Hilang

Daku lihat ratapnya langkah..
Kala genting akan datangnya kemuning hampa
Diperkosa..
Dimainkan dalam cerita
Sendu para penambang asa
Terdengar seantero, bagi yang bertelinga..

Dari fajar temu senja..
Tumbukan gabah tak lagi riuh suaranya
Nyanyian manusia tak lagi lantang adanya

Alam agraria cerita lama, lamunan dari siang celoteh petani
Rindukan semarak panen raya, dan pula runduk padi
Namun lain cerita ini masa..
Masa deras menelisik, merasuk hati yang dijejal mimpi
Mimpi para pengabdi, yang mengadu pada tragedi

Rahim kosong tak lagi bersuara lantang
Sebab bukan tanah sendiri..
Yang dulu dipuji..
Yang dulu mengabdi..
Sebab ladang-ladang bagai tak menang
Diperkosa ladang biji pendatang

Kini sekedar menanti janji..
Janji di pelupuk hati..
Agar tak percuma jati diri
Disela runduk padi..
Cerita juta petani
Di tanah yang banggakan nama negeri
Bumi pertiwi..

Jangan lagi bicara agraria..
Jikalau cahya tak nampak iringi asa pengais hari
Jangan memperkosa panen raya..
Sebab tawa para pengabdi, tawa sukma negeri.

AL, 17/1/2018

close
Test Iklan