Rabu, 25 Maret 2020

'Kepada Para Pena Pujangga (Pt.1)'

Yang merepresentasi retoris dalam balutan tinta, pada sebalut bait permainan frasa
Aku mengatakan; iya, itu kamu! Tanpa meminang sesuatu, hanya kalimat dan secangkir kopi susu
Mengalir di got-got dan tragedi esok jua...
Hari-hari yang sama, semenjak ia pergi; dan kamu duduk menyanggah pipi dengan goresan diksi-diksi

Kepada para pujangga...
Para tertawan yang menghardik awan-awan senja, supaya mereka memberikanmu asupan sumber tulisan; berharap dia singgah menilik baca
Aku mengatakan; iya, itu kamu! Tanpa bersanding kepada ini itu, hanya dingin tembok dan telanjang kaki menginjak krikil batu

Tapi kamu tetap hidup, sebab itu caramu
Meskipun dalam terali dan tirai-tirai besi
Aku lihat ada sinar ambisi... meskipun kamu tahu, terkadang ada sekelebat bayang memikul rasa yang sukar diajak kembali
Aku mengatakan; iya, itu kamu! Tanpa suara yang dulu hadir memenuhi bilik, hanya suara engsel pintu, derik dan kawanan jangkrik

Kemana langkah-langkahmu, hanya bolak-balik menghadap jendela dan sekat kayu
Memojok dan mengernyit, berbincang dengan pustaka kemudian mati dalam lumpur sendu
Menangis dan tertawa, beda rasa namun sama-sama bermandi air mata
Ada yang bahagia, ada yang menangis sejadinya
Ada yang demikian dalam satu masa

Aku sebut engkau manusia berlebih jiwa... terkadang tanpa kerangka, sebab terkulai lemas bila dihantam kata-kata
Tidurlah dan pejamkan mata
Kerana hari yang dilewati tak hilang begitu saja...
Setiap senja menjadi petang dan petang menjadi fajar; adalah awal mula
Teguhlah, dan usap bersih wajah
Sebab ada yang akan engkau temui setiap datang pagi; secarik nostalgia.

AL, 15/11/2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

close
Test Iklan