'Kampungku, Di Runtuhan Dinding'
Lembah sunyi, reruntuhan puing dibawah daging
Kampung di tonggak pondasi bekas dinding
Yang diatap tenda.. dialas terpal
Merambat dingin, ditembus panas..
Ditenteng airnya.. ditenggak keluarga
Disana ada kepala, yang harapkan langkah dari perihnya telapak berlumur nanah..
Jerit si kecil, di bekas sarangnya..
Yang sebelumnya dicekok cinta.. janji.. didustakan sesama..
Kini tinggal puing-puing bekas runtuhnya dalih penguasa..
Sementara mulut si pengumbar asa kian lantang sambut bursa kuasa
Fahri kecil merengek diayun-ayun Ibunda..
Supaya lelap tidurnya..
Supaya lapar tak terasa nyerinya..
Memang nyeri adanya, nyeri balita lemah di tanah bekas rahim peristiwa
Muslihat disusun rapi saat itu..
Rata sudah tanah tanpa nama, katanya..
Kata mereka yang hingga kini tutup mata..
Memang, kata-kata penguasa harus ditaati bersama..
Sebab yang berkuasa..
Kini duduk di atas sofa..
Namun yang kini tanggung porak-poranda
Bidaknya.. Kacungnya.. Seribu mimpi dilindas siksa
Kampungku, menjelma pucuk ranting
Tak lagi bermukim damai, mimpi penghuninya perlahan kering
Kampungku, di runtuhan dinding
Bekas dusta para maling
Diikat dalam pelik, ratusan sengsara ditunjuk nyata
Tanahku tiada..
Dikurung nestapa
Tanahku kini rata
Diperaduk sengketa.
AL, 11/1/2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar