Kamis, 20 Juni 2019

Membangun Kembali Fundamen Politik Proletariat

Membangun Kembali Fundamen Politik Proletariat

Dari Haymarket 1886 menuju zaman yang nyata, zaman yang terjadi, baik sekarang ini maupun masa yang akan datang, sudah sangat jelas, nasib buruh lahir dari titik-titik perjuangan dan penuntutan hak yang masif dari kepalan tangan mereka sendiri. Buruh dibekali oleh sikap kemandirian menyikapi banyak kontradiksi atas perbedaan kelas yang seringkali memunculkan stigma-stigma terhadap pola kehidupan sosial mereka. Upaya-upaya untuk memperbaiki hak-hak kaum proletar melalui keputusan konferensi sosialis internasional pada 1 mei 1889 merupakan hasil dan janin yang lahir dari perlawanan 'martir' terhadap kebijakan borjuasi dan kejamnya masa awal budaya kapitalistik dunia pasca revolusi industri.
Lalu bagaimana wajah kaum buruh setelahnya? Bagaimana kita menyebut itu sebagai suatu keberhasilan jikalau dunia masih terpisahkan oleh dinding-dinding dan pembungkaman terhadap wajah dunia yang sebenarnya? Kongres dan pengorganisasian tidak lebih dari menciptakan aturan dan kebijakan yang diperantarai melalui tulisan dan catatan, sisanya adalah orasi dan perlawanan yang tidak habis-habisnya diakukan sebagai inang penuntutan dan reaksi atas berbagai macam isu baik dari kaum buruh sendiri maupun isu-isu yang mengancam kestabilan sosial kelas proletariat, khususnya yang menyangkut tindak-tanduk elit-elit kapitalisme borjuasi. Kita mungkin melihat banyak keberhasilan dan peningkatan kesejahteraan kaum buruh di berbagai wilayah, entah itu diungkapkan melalui kelas pekerja sendiri maupun sekedar klaim dari pihak otoritas tertinggi. Namun dalam tingkatan yang lebih detail dan dalam cakupan kaum buruh yang lebih tradisional, apakah hak-hak kemanusiaan yang lahir dari fundamentalis tersebut terpenuhi?
Tidak ada yang benar-benar nyata dan dengan mudah dipercayai kenyataanya di dalam peningkatan cara pandang dan pola pikir masyarakat modern, semua diupayakan untuk meraih superioritas dan persaingan, semua diupayakan sebagai ladang mencari nilai output yang besar, dan dalam cara-cara mereka, seringkali sistem untuk meraihnya adalah dengan melakukan penyelewengan terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi hak asasi maupun kehidupan kaum pekerja. Masih hangat di telinga akan kasus perbudakan pekerja dan pemberangusan HAM oleh kaum-kaum pemodal di Tanggerang beberapa waktu yang lalu, suatu tragedi yang mengingatkan kita bahwasanya kaum pekerja masih di dalam ambang batas resiko yang besar di dalam pekerjaanya. Masih nyaring di telinga maupun kita lihat dengan mata kepala sendiri banyaknya PHK sepihak tanpa sebab yang ditimpakan terhadap kaum buruh, lalu masih sering kita dengar banyaknya pekerja yang seakan dipaksa maupun terpaksa untuk terlibat di dalam kegiatan produksi barang-barang terlarang dan kriminil karena itikad pengepul hasil dan pemodal, pada akhirnya kaum buruh sendiri yang menerima konsekuensi lebih dari apa yang ia lakukan atas pertanggungjawaban pemodal. Sebuah bukti bahwasanya bahkan di jaman modern dewasa ini, seringkali nasib buruhpun seakan dijadikan alat untuk mencari keuntungan dan hasil meskipun melalui cara-cara yang melawan hukum dan jelas merugikan kaum buruh itu sendiri.
Sejarah mencatat, buruh sudah berjalan dari zaman dimana penindasan dan perbudakan adalah hal yang lumrah, adalah hal yang konkrit, adalah hal yang wajar, sehingga mereka belajar dari itu semua, bahwa memang benar penindasan itu harus segera dilumatkan, disingkirkan, diberangus supaya benih-benih perbudakan dan kesewenangan tidak lagi bernaung di atas wilayah dimanapun di muka bumi ini. Lalu apa perantara ide-ide yang sesuai demi terlaksananya cita-cita tersebut? Banyak cara untuk mereka menemukan jati diri dan memperjuangkan nasib mereka sebagai kaum proletar. Dan cara yang sering digunakan lebih kepada perjuangan melalui afiliasi dengan visi misi politik maupun terjun langsung kedalam dunia birokrasi.
Melihat dampaknya, keberhasilan kesejahteraan buruh mempengaruhi wajah dari banyak nilai, kesejahteraan kaum buruh adalah cerminan mobilitas roda ekonomi suatu negara, penerapan baik atau tidaknya kebijakan dan tentu saja, pemenuhan hak asasi yang memang sudah diwajibkan untuk dijalankan oleh pihak-pihak yang merasa meraup hasil dari tetesan keringat kaum buruh. Tetapi dalam menelaah nasib kaum buruh tidaklah serta merta sesederhana pernyataan diatas. Lebih dari itu, kesejahteraan kaum buruh mungkin terbalik 180 derajat dari kondisi tingkat kemakmuran suatu wilayah maupun berjalannya stabilitas ekonomi. Maka dari itu, di era birokrasi modern yang berjalan secara demokratis, perlu adanya wadah aspirasi dan pengawasan situasi maupun kondisi kaum buruh yang lebih luas, dan pula dalam artian yang mencakup tujuan-tujuan politis yang lebih mapan, wadah yang benar-benar menjadi tunggangan untuk buruh itu sendiri, sehingga tidak ada lagi lelucon lama dimana buruh sekedar menjadi sapi perah, atau hanya sekedar pemenuh kotak-kotak suara dari sandiwara elit politik dan borjuasi. Kekuatan buruh harus mulai dibentuk dan mengakar secara masif, tidak ada lagi afiliasi dengan janji-janji kampanye atau janji-janji segelintir elit politik maupun kerjasama bersifat transaksional yang hanya menciderai cita-cita kaum buruh untuk tetap menjunjung tinggi netralitas dan berdiri atas nama buruh.
Untuk itu, pergerakan buruh yang sesuai adalah dengan penciptaan politik alternatif yang benar-benar berpihak terhadap eksistensi kaum buruh. Dengan kelas proletar masuk kedalam ranah politik yang selama ini diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai transparansi dan demokrasi, maka diharapkan nasib dan peluang cita-cita kaum buruh akan lebih mudah tersampaikan dan diperjuangkan melalui kader-kader mereka di hadapan birokrasi.
Dengan penciptaan politik semacam itu, maka buruh juga sangat diharapkan mendapatkan wajah politisnya, dan pula keseimbangan terhadap posisi-posisi politik yang selama ini sudah akrab dikuasai oleh kelas-kelas elit borjuis.
Mengapa Dibutuhkan Partai Buruh? Partai Buruh bukanlah hal yang baru di Indonesia, partai buruh semenjak era demokrasi politik dalam negeri lepas dari tirani dan kekangan penguasa orde baru, kekuatan politik kaum buruh telah beberapa kali menciptakan pamor yang naik turun di bursa kuasa di musim-musim awal pemilihan secara langsung. Tentu bukan tanpa alasan ketika Partai Buruh tiba-tiba tenggelam dan tidak nampak lagi tajinya, ini tidak dapat diartikan sebagai kemerosotan sikap politik buruh dan bukan berarti pula sikap politis kaum proletar semakin redup setelahnya, namun ini dapat dijadikan modal dan pelajaran yang berarti bagi kaum buruh untuk menciptakan sikap politik dan kesadaran berpolitik yang lebih solid dan terarah sebagai bentuk kemandirian buruh menciptakan idealismenya demi kesejahteraan kaum buruh itu sendiri. Ada pondasi yang harus disusun untuk membangun itu semua, kesadaran kelas dan pergerakan massa.
Pembentukan partai buruh bukan semata-mata sebatas hanya untuk euforia saja, sekadar hanya untuk memanaskan kursi pencalonan saja, tentu itu tidak relevan dengan semangat perjuangan kaum buruh. Penciptaan politik kaum buruh dan pematangan idealisme kaum buruh tentu dihadirkan sebagai upaya yang lepas dari keterpihakan parpol-parpol terhadap kelas elit borjuis, dan seperti yang saya tulis sebelumnya, buruh tidak lagi dan selamanya tidak boleh hanya sebagai pemenuh kotak-kotak suara saja maupun sekedar jabat tangan pendamping kontrak visi misi di panggung-panggung kampanye parpol.
Dapat kita dipahami, dalam pembentukan kesadaran politik tentu bukan hal yang mudah, bukan hal yang terjadi dalam satu malam saja, proses yang dilalui sangatlah perlu kematangan dan sejatinya akan dilewati melalui sikap-sikap kontradiktif dalam penciptaanya. Namun itu bukan berarti kemustahilan, pergerakan massa dapat dibentuk dengan perlahan, melalui propaganda-propaganda terhadap seluruh organisasi proletar, tentu, semangat itu sudah lama mengalir dan dimiliki oleh segenap kaum buruh serta jajaran hirarkisnya, semangat itu yang membuat pemerintah pada akhirnya menetapkan 1 mei sebagai hari buruh, semangat itu pula yang menyatukan serikat kaum buruh untuk bersatu di bawah langit 1 mei, semangat itu pula yang membuat jutaan buruh berbondong-bondong menyampaikan aspirasinya di hadapan penguasa. Maka dari itu, bukan suatu yang mustahil untuk menciptakan pergerakan revolusioner fundamen, ketika solidaritas sudah mencapai klimaks, dan tatanan dalam diri kaum buruh itu sendiri sudah berjalan dan sejalan dalam satu pemikiran, idealisme sudah terbentuk sejak itu juga, prinsip-prinsip sudah ada dan kesadaran massa sudah mulai tumbuh seiring dengan berjalannya sistem-sistem kapitalistik yang semakin menggerus dan seakan memalingkan diri dari keberadaan entitas kaum buruh dan rakyat miskin. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Miriam Budiardjo, bahwa partai politik ialah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini untuk memperoleh kekuasaan – biasanya secara konstitusional – untuk melaksanakan program-programnya. (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi, 2009, hal 403-404).
Kita harus belajar dari pergerakan-pergerakan organisasi Partai Buruh di berbagai belahan dunia, bisa kita ambil contoh di banyak negara yang memiliki tingkat kualitas politik yang maju. Partai buruh Inggris tentu sudah sangat mahsyur terdengar dalam dinamika politik internasional, merekalah yang memaksa kekuasaan konservatif yang anti-kiri menelan pil pahit beberapa kali karena kehilangan banyak kursi parlemen serta memaksa dunia untuk melihat 7 kali hadirnya perdana menteri yang lahir dari rahim partai berideologi sosialisme demokratik tersebut. Di Australia, partai buruh sudah berhasil mengangkat perdana menteri selama perjalanan politik mereka, dan yang terbaru, tentu saja keberadaan Partai buruh Selandia Baru, keberhasilan mereka menguasai parlemen dan bahkan berhasil mengangkat perdana menteri termuda adalah akumulasi dari opini politik yang beragam dari kaum buruh serta sebuah bukti masih adanya dinamika politik yang berlandaskan idealisme milik kaum proletariat di masa modern dan pula dari pemikiran kaum intelektual muda.
Bisa kita pahami dan pelajari bersama bahwasanya kesuksesan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah kemajuan dan efektivitas yang sejalan bersama solidaritas idealisme kaum buruh dan pergerakan kelas. Dengan keberhasilan meraih kekuasaan, partai buruh dapat leluasa menciptakan kebijakan dan aturan yang sejalan dengan cita-cita masyarakat proletar.
Perjalanan dan perjuangan aspirasi buruh di dunia tanpa disadari maupun disadari telah banyak membawa angin perubahan dan keselarasan pemikiran dari kaum buruh itu sendiri, pengumpulan massa dan solidaritas tiada batas telah menciptakan relevansi dan sokongan mental bagi kesadaran kelas menuju era revolusi, dimana kapitalisme yang sering menempatkan diri diatas segitiga ekonomi lambat laun di masa yang akan datang akan mulai tumpul dan melepaskan cengekeramannya yang selama ini tajam mencekik masyarakat kecil dan jelata khususnya dari kalangan kaum buruh.
Keberhasilan buruh di berbagai wilayah dalam urusan birokrasi dapat dijadikan inspirasi terbesar dalam upaya menegakan kembali hak politik kaum buruh secara signifikan, keberhasilan yang patut ditiru dan dijadikan ilham bagi langkah-langkah politis kaum proletariat selanjutnya di masa yang akan datang.
Sudah saatnya idealisme proletariat kembali menunjukan eksistensinya di negeri ini, menempatkan birokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat secara harfiah. Tidak ada lagi janji-janji balik modal dan janji-janji yang sekedar nyaring di telinga orang kecil namun penerapannya sering melenceng dan mendustakan amanah yang sudah diberikan. Tidak ada lagi angin segar yang hanya menunjukan superioritas konservatif, menaruh suara hanya kepada masyarakat tertentu saja, hanya kepada kontrak partai saja, yang tanpa disadari akan mengikis keutuhan masyarakat dan memperbesar gap antara yang kaya dan yang miskin. Sebaliknya, partai buruh dapat diandalkan sebagai alat reformasi dan aspirasi masyarakat kecil khususnya kaum pekerja demi menunjukan elektabilitas yang sesuai dengan cita-cita masyarakat, menuju kestabilan sosial, pemerataan hak dan kewajiban sebagai warga negara.

AL, 18/8/2018

close
Test Iklan